Bulan kedua, malam itu ketiga biksu muda seperti biasa menemaninya berlatih, menyaksikannya dari jarak yang tak mengganggu gerakan yang dilakukan oleh Suro.
Gerakan-gerakannya sudah jauh lebih halus dan sempurna buah dari ketekunannya berlatih setiap malam.
Setelah menyelesaikan jurusnya, Yung Se Kuan memintanya untuk bergabung. Mereka duduk dalam suasana santai bersila di atas tanah.
"Saudara Luo begitu bersemangat dalam berlatih, sampai-sampai tidak menyisakan waktu buat kita berbincang-bincang," Yung Se Kuan berkata sambil tersenyum.
Ucapan Yung Se Kuan membuat mereka tertawa akrab.
"Bagiku, bisa mempelajari bela diri Shao Lin itu suatu kesempatan yang tidak boleh disia-siakan." Katanya menanggapi, "Selagi masih disini, jika terdapat kesalahan masih ada orang yang bisa mengkoreksinya."
Mereka semua mengangguk setuju.
"Baiklah, malam ini kami semua sudah melihat gerakan dari jurus toya, yang kau pelajari sudah sempurna. Besok barangkali Biksu Senior akan memberikanmu pilihan untuk berlatih 72 seni beladiri shao lin. Latihannya cukup berat, tetapi kami yakin kau dapat melakukannya." Hang se Yu memberi masukan dan informasi.
"Hmm... Aku akan berusaha!"
"Sejak kita bertemu, kami belum pernah tahu sebenarnya yang kau miliki itu kungfu aliran apa?" Ching So Yung memulai. "Waktu pertama kali melihatmu bertarung melawan Ye Chuan, gerakanmu banyak yang tak terduga. Kadang mengalir, kadang putus, lalu tiba-tiba meledak dan mengejutkan."
Suro memperhatikan Ching So Yung ketika dia berkata, lalu tersenyum dan terlihat menarik nafas, suatu tanda bahwa yang akan ia sampaikan adalah informasi yang panjang.
"Di negeriku, nama beladiri ini disebut Silat. Sama seperti di sini, Silat juga memiliki aliran-aliran yang banyak, secara umum terbagi dua, aliran hitam dan aliran putih." Katanya, "Silatnya merupakan perpaduan fisik dan metafisik, bercampur dengan mantera-mantera yang disebut aji atau ajian dengan bantuan jin..."
Hung Se Yu menyahut sambil mengerutkan dahi seolah tak percaya, "Jin?"
"Ya!" Suro mengangguk, "Seorang pesilat dari aliran ini mempunyai ajian yang jika dirapalkannya akan menimbulkan efek sesuai jenis manteranya untuk memanggil jin. Jika bisa dicontohkan seperti Ye Chuan. Jika Ye Chuan adalah hasil dari pengolahan tenaga dalam yang efeknya membentuk lapisan pelindung disekujur tubuhnya, tetapi di negeriku, orang akan kebal terhadap senjata tajam dengan mengamalkan ajian yang memanggil jin untuk menolak apapun yang menyentuh tubuhnya. Atau bahkan mengirim benda masuk kedalam tubuh seseorang. Yang demikian ini umum disebut ilmu gaib."
Ching So Yung menggeleng-geleng, mendengarnya seperti tak percaya, lidahnya terdengar berdecak beberapa kali.
"Apakah itu memerlukan semacam latihan tertentu?" ia bertanya kemudian.
Suro mengangguk, "Iya! Dengan melakukan ritual khusus dan persembahan," lalu melanjutkan, "Nah, pembagian aliran ini adalah sebuah pengakuan. Jika digunakan untuk kejahatan, disebut aliran Hitam. Jika digunakan untuk kebaikan, disebut aliran putih. Tapi menurutku, jika dilihat dari asal ilmunya adalah meminta bantuan dengan mahluk gaib, tetap saja dinamakan ilmu hitam."
Hung Se Yun menyela, "Apakah kau mempelajari salah satunya?"
Ditanya begitu, Suro tersenyum lalu menggeleng.
"Karena agamaku adalah Islam, dan dalam Islam sangat dilarang meminta bantuan jin," Jawabnya.
"Lalu, Silat yang kau pelajari itu apa namanya?" kali ini Yung Se Kuan yang bertanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan merupakan ungkapan rasa penasaran dari ketiga orang biksu itu. Suro bisa memakluminya dikarenakan yang ia sampaikan barangkali tidak pernah mereka dengar sama sekali.
"Nama perguruanku adalah Perguruan Cempaka Putih. Silat ini sebenarnya merupakan perpaduan beladiri setempat dengan beladiri dari Persia. Secara gerakan tidak berubah, tetapi secara isi dan ritual sudah dihilangkan dan diganti dengan ajaran dari agama Islam. Jika sebelumnya, ada terdapat rapalan mantera penguat, sejak guru besarku memeluk Islam, maka mantera dihilangkan dan diganti dengan do'a."
"Bukannya itu sama saja?" Yung Se Kuan bertanya lagi.
"Jelas tidak," bantahnya, "Jika mantera, kita meyakini mantera itu yang menimbulkan kekuatan. Tetapi jika do'a, kita meminta kekuatan pada yang memiliki kekuatan, orang Islam menyebut namanya Allah SWT."
Suro melihat ketiga biksu itu mengangguk, dan itu membuatnya tersenyum. Ia merasa mereka memahami apa yang dijelaskan oleh Suro.
"Bisakah kau tunjukkan pada kami salah satu jurus dari Cempaka Putih?" tanya Yung Se Kuan.
Suro memandang ketiganya sebentar, kemudian tersenyum lalu mengangguk, "Baiklah!"
Seperti biasanya sebelum memulai gerakan, ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu tiba-tiba kepalanya terangkat dengan tatapan mata lurus ke depan.
Sebuah kembangan tangan membuka mengawali sebuah jurus diikuti dengan langkah kaki membuka perlahan dan membentuk antara kuda-kuda tengah dan siku.
Slep!!!
Suara debaran dari kain pakaiannya yang berkibar terdengar, menyusul sikutan tangan kanan ke bawah bertujuan menangkis maupun menyerang, kemudian sikutan berubah menjadi kibasan berbarengan dengan kaki kanan mengangkat seolah ada serangan menyasar kakinya.
Dari kakinya yang terangkat tiba-tiba melesat sebuah tendangan yang sangat cepat layaknya kepala ular yang menyambar, berlanjut dengan sebuah tusukan jari-jari tangan.
Setiap gerak serangan yang dilakukan oleh Suro memunculkan hantaman angin yang bisa dirasakan oleh kulit ketiga biksu yang menyaksikannya, dan terkadang mereka sesekali berkedip ketika merasakan ada angin yang sampai kematanya.
Suro sendiri seperti baru menyadari disekian detik gerakannya, ia merasakan sesuatu yang baru pada jurus yang ia mainkan. Tenaganya bertambah kuat, baik tenaga dalam maupun tenaga luar. Ingatannya langsung terbayang pada para pelatih Tai Chinya, tetua Huang Nan Yu dan Tabib Hu, bahwa mempelajari sesuatu yang baru akan membuat kemampuannya bertambah. Seperti sebuah tanaman, jika diberi perlakuan dan nutrisi yang tepat akan membuat tanaman itu menjadi tumbuh subur.
Bela diri yang dipelajarinya selama ini ternyata meng Upgrade beladiri dasarnya, dari perak menjadi emas!
Diakhir, Suro menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil kembali mengatur nafasnya yang turun naik. Kemudian menoleh dan tersenyum sambil melangkah ke arah tiga biksu yang menyaksikannya.
"Wow!" nyaris suara kagum keluar bersamaan dari mulut ketiga biksu muda itu. Suro melihat mereka menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan yang takjub.
***
Siang hari..
Beberapa orang biksu muda terlempar ke dalam halaman. Tubuhnya terlihat babak belur dengan suara erang kesakitan keluar dari mulut mereka.
Sontak murid-murid lainnya berhamburan mendatangi kawan-kawannya yang tergeletak kesakitan, dan yang lain berbaris membentuk setengah lingkaran dengan mengacungkan toyanya ke arah pintu.
Tak lama, disertai suara tawa yang keras, satu sosok tubuh melenggang masuk dengan jumawa, lalu berhenti ditengah lingkaran kepungan.
Ye Chuan memandangi orang-orang yang ada disitu, matanya yang garang menatap satu-persatu seolah sedang mencari seseorang.
Ia tampak mendengus, begitu yang dicarinya tidak terlihat. Lalu terus melangkah maju hendak menerobos lingkaran kepungan.
Para biksu bersenjata toya yang mengepung Ye Chuan langsung melakukan serangan untuk menahan agar Ye Chuan tidak masuk lebih dalam, mengayunkan toyanya masing-masing dengan berbagai bentuk gerak serangan.
Ye Chuan tak bergeming. Tampaknya ia sengaja memasang badannya untuk digebuk puluhan toya.
Suara gebukan toya terdengar beberapa kali mendarat ke tubuhnya yang tinggi tegap, kepala, leher, badan sampai kaki. Tetapi ia tak goyah, malahan toya-toya yang dipukulkan ketubuhnya memantul kembali ke arah penyerangnya masing-masing.
Tiba-tiba, ia membuat gerakan cepat dengan berbagai macam pukulan dan tendangan menghantam satu-persatu para biksu yang menyerangnya kembali.
Hanya sekali serangan, tubuh mereka langsung rubuh dengan erangan kesakitan.
"Mana biksu terkuat disini!" ia berseru lantang, suaranya yang keras terdengar menggema.
Semuanya kosong tak ada jawaban, hanya erangan dari tubuh-tubuh tergeletak kesakitan ditanah yang terdengar. Kemudian ia memasuki gerbang kedua dan berdiri ditengah halamannya, tatkala melihat beberapa biksu senior berlarian mendatangi ke arahnya. Termasuk kepala biara, Lie Kei An dan biksu Lie Kei Yin.
"Ada apa tuan membuat ribut disini!" kepala biksu Kei An bertanya.
Ketika melihat orang yang datang membuat keributan itu Ye Chuan, biksu Kei Aan menampakkan wajah terkejut. Sebab, ia mengenal lelaki itu adalah Ye Chuan si Naga Api yang telah membuat heboh dunia persilatan sepuluh tahun yang lalu.
Ye Chuan, demi melihat kehadiran Biksu Kei An dan Biksu Kei Yin mendengus keras, kentara sekali ia menyepelekan kedua biksu senior itu dengan tatapan mata dan senyumnya yang angkuh.
"Aku adalah Ye Chuan!" katanya sambil menepuk dada, "Anda pasti sudah pernah dengar atau kita pernah bertemu denganku. Di usiamu yang setua ini pasti masih ingat peristiwa sepuluh tahun belakang tentang aku!"
Biksu Kei An maupun Kei Yin tak terpancing emosi, malah beberapa biksu senior lain yang berada disamping kiri dan kanannya yang tak tahan mendengar ucapan Ye Chuan yang tidak sopan.
"Pergilah dari tempat ini kalau mau selamat!" salah satu dari mereka berkata dengan marah.
"Ini bukan tempat perkelahian!" yang lain menyahut.
Ye Chuan tambah tertawa seolah mengejek, tubuhnya ikut terguncang. Lalu matanya menatap ke arah para biksu senior yang berkata mengusirnya.
"Coba kalian maju semua! Hadapi aku!" tantangnya dengan membuka kedua tangan, telapak tangannya masing-masing membentuk cakar.
Salah satu biksu senior langsung melompat kehadapan Ye Chuan sambil memukulkan tangannya.
Ye Chuan memasang dadanya untuk dipukul, sehingga pukulan itu telak. Tetapi yang terjadi, Ye Chuan dengan sedikit membusungkan dada membuat kejutan tak terduga. Tubuh biksu itu terlempar cukup jauh dan berakhir di atas tanah. Sesaat kemudian, ia memegangi dadanya yang tiba-tiba merasa sakit lalu memuntahkan darah segar.
Melihat kawannya terluka, biksu yang lain hendak melompat menyerang, tetapi tangan Biksu Kei Yin menahannya, dan menggantikannya menyerang Ye Chuan. Biksu Kei Yin menyadari kalau lawannya ini bukanlah lawan dari biksu-biksu dibawahnya.
Dengan sekuat tenaga, biksu Kei Yin melakukan tendangan ke tubuh Ye Chuan hingga tubuh Ye Chuan terhuyung ke belakang. Nyaris saja ia terjatuh jika ia tidak membuka kakinya membentuk kuda-kuda yang kokoh.
Biksu Kepala Pelatih itu menampakkan wajah terkejut. Ia tadi sudah melakukan sebuah serangan dengan kekuatan penuh, tetapi Ye Chuan terlihat santai dengan raut muka yang tak berubah. Malah tersenyum dingin.
Ye Chuan langsung maju dengan mengayunkan tangannya kesana-kemari, telapak tangannya yang membentuk cakar berusaha menyambar sasaran. Tetapi biksu Kei Yin dengan kepandaian ilmu kungfunya berhasil menghindar, dan balas melakukan pukulan maupun serangan.
Di saat pertarungan itu terjadi, Hang Se Yu, Yung Se Kuan dan Ching So Yung muncul bersamaan dari arah yang berbeda dan berdiri disamping Biksu Kepala.
"Itu Ye Chuan!" Ching So Yung berkata geram.
Tangan tergenggam gemetar dengan mulut terkatup menahan emosi.
"Dimana Luo Bai Wu?" biksu Kepala bertanya pada mereka.
"Dia bersama guru So Lai ke atas bukit mencari tanaman obat!" menjawab Hung Se Kuan.
Biksu Kepala mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari pertarungan.
"Ye Chuan sangat tangguh, aku khawatir guru Kei Yin lama-lama bakal kewalahan!" berkata Yung Se Kuan.
Lalu tanpa meminta izin, dia langsung melompat masuk ke dalam arena pertarungan membantu biksu Kei Yin, tak lama kemudian Hung Se Kuan dan Ching So Yung menyusul.
Pertarungan empat lawan satu!
Ye Chuan mengerahkan kemampuannya dengan melakukan serangan yang semakin gencar dan berbahaya. Senyum sinisnya membuat mereka emosi.
Biksu-biksu yang menyerang Ye Chuan sepertinya sedang menghadapi pohon besi, beberapa serangan pukulan dan tendangan yang mereka lancarkan hanya mampu membuat tubuh Ye Chuan bergoyang. Justru ia mampu meredam serangan-serangan para biksu dengan beberapa tepisan yang terlihat ringan, namun bagi yang bersentuhan akan merasakan tepisan Ye Chuan itu seperti pentungan baja yang menghantam tangan dan kaki mereka!
Ketika serangan bersamaan dilakukan, Ye Chuan langsung berteriak keras bagaikan naga. Suaranya terasa menggetarkan, tiba-tiba tubuhnya seperti diliputi gelembung udara yang membalikkan tenaga lawan dan sontak melemparkan tubuh para biksu itu ke berbagai arah.
Mereka berjatuhan bersamaan dengan menimbulkan suara benturan tubuh dengan tanah. Sama-sama memegangi dadanya yang terasa sesak dan nyeri, darah pun langsung keluar menyembur dari mulut mereka.
"Celaka!" biksu kepala menjerit tertahan.
Para biksu muda dan senior berhamburan, sebagian menyelamatkan Biksu pelatih utama, Yung Se Kuan, Hung Se Yu dan Ching So Yu, sebagian lagi menyerbu ke arah Ye Chuan secara membabi buta.
Mendapat serangan keroyokan seperti itu, Ye Chuan bukannya mundur ketakutan, ia malah tertawa keras. Tubuhnya berputar-putar menanggapi serangan yang diarahkan padanya dengan menggerakkan anggota badannya untuk menyerang balik.
Ia seperti seekor naga yang sedang bermain, melompat kesana-kemari sambil meliukkan tubuh. Kakinya menyerang bagaikan sabetan ekor naga, menghantam dan melontar tubuh-tubuh biksu itu bagaikan bermain bola.
Satu teriakan yang cukup kuat disertai kibasan tenaga dalam akhirnya membuat para penyerangnya terlempar bersamaan, menyudahi pertarungan yang tampak tak seimbang.
Ye Chuan kembali tertawa melihat tubuh-tubuh para biksu bergelimpangan dengan kondisi muntah darah membuat Biksu Kepala Kei An mau tak mau menjadi panik.
Ketika ia hendak melompat ke arah Ye Chuan, satu bayangan tubuh lain membuat niatnya untuk menyerang terhenti. Suro tiba-tiba saja sudah melakukan satu serangan tendangan melayang dan telak menghantam tubuh Ye Chuan.
Ye Chuan yang berjuluk Si Naga Api seketika menjadi kaget mendapat serangan demikian dengan posisinya yang lengah dan tidak siap. Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan terseret menggeser tanah.
Tak lama tubuhnya langsung melenting bangkit berdiri, seperti terbang ia membuat dorongan dengan telapak tangan membentuk cakar ke arah Suro. Suro pun memajukan langkahnya menyongsong serangan Ye Chuan seolah menantang untuk beradu pukulan, namun secara tak terduga, pemuda itu malah menggeser kakinya sehingga serangan Ye Chuan menemui tempat kosong. Teknik Tai Chi dipergunakan oleh Suro, dengan sikunya ia menghantam telak kepala Ye Chuan yang membuat Ye Chuan terhuyung dalam keadaan pening beberapa saat!