Malam itu ditemani Rou Yi, Suro berkali-kali memeriksa kondisi Tan Bu, Yang Meng, Zhou Lin dan Li Yun. Wajahnya terlihat panik dan jauh dari ketenangan.
Kondisi Tan Bu perlahan mulai membaik, tetapi tidak dengan yang lainnya. Yang Meng dan Zhou Lin yang sudah sadar tetapi mengeluh merasa mual dan sesekali memuntahkan isi perutnya disertai suhu badan yang tinggi menandakan kondisinya yang kian memburuk. Sedangkan Li Yun meskipun suhu badannya juga panas, tetapi ia tidak mengalami mual dan muntah, hanya saja ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.
Tabib Hu sesekali datang untuk melihat kondisi mereka bersama tetua Huang Nan Yu yang tampak sudah lebih baik dari mereka.
"Ayah, ibu," Suro berkata duduk diantara pembaringan mereka, wajahnya terlihat lelah karena kurang istirahat sejak ia tiba di kediaman Tabib Hu."Apakah ada perubahan?"
Yang Meng menatap Suro lemah, begitu pun dengan Zhou Lin tetapi wajah mereka penuh dengan senyum. Seperti ada ketenangan dalam hati mereka.
"Anakku," Yang Meng berkata dengan susah payah. Suaranya sangat lemah dan hampir-hampir tak bisa keluar. Ia juga tak dapat menggerakkan kepalanya lebih jauh untuk menatap Suro. "Walau pun kami merasa tidak ada perubahan, tetapi entah kenapa hati ini cukup damai hanya melihatmu."
Suro menggenggam tangan Yang Meng yang terasa panas. Ia mencoba tersenyum pada lelaki itu dengan senyuman getir.
"Ah.... Aneh, aku tak merasakan sakit ini menyiksaku...." ia melanjutkan sambil melirik dengan sudut matanya ke arah Zhou Lin isterinya, "Benar begitu'kan sayang?"
Zhou Lin yang merasa disinggung oleh suaminya mengangguk dengan tersenyum.
"Iya, kau benar suamiku," jawabnya. Ia juga mengeluarkan kata-kata dengan susah payah, "Sepertinya beban didadaku hilang.... Aku rela meskipun aku mati saat ini juga."
Suro tiba-tiba meneteskan air matanya, kepalanya tertunduk. Lalu dengan tangannya yang lain, ia meraih tangan Zhou Lin dan menciumnya. Ia tahu bahwa ibunya sudah menyadari kalau luka yang dideritanya itu parah dan sulit disembuhkan.
"Ah, ibu... Mengapa berkata demikian?" tiba-tiba Li Yun yang berada dipembaringan sebelah ibunya menyahut.
Yang Meng terdengar tertawa kecil mendengar sahutan Li Yun, puterinya.
"Puteriku sayang," ia berkata,"Tidakkah kau ingat, nasehat-nasehat yang sering disampaikan oleh kakakmu? Nasehat yang disampaikan kakakmu waktu itu begitu membekas dalam batin ayah. Ayah yakin bahwa apa pun yang terjadi adalah apa yang sudah diridhoi tuhan...."
Li Yun terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Ia ingat nasehat itu disampaikan pada malam setelah mereka pulang dari kediaman Cho Jin Chu yang merupakan awal permasalahan ini terjadi. Awal mereka berurusan dengan tentara pemerintah, yakni Perwira Chou.
"Suamiku,..." Zhou Lin tiba-tiba berkata, "Hari ini aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa, betapa tidak, anakku yang kusayang ada disampingku. Aku berterima kasih padamu telah memberiku hadiah dengan seorang anak laki-laki yang kurindukan, dan bisa kuandalkan untuk menjaga puteri kita jika aku ditakdirkan mati."
Li Yun nampak tersentak mendengar ucapan sang ibu. Air matanya langsung tumpah, dadanya sebak menahan suara tangis. Ia berusaha bangkit walaupun rasa sakit dipunggungnya yang luar biasa.
Di sudut lain, suara tangisan juga terdengar. Rou Yi, gadis yang lembut itu sebenarnya tak mampu melihat pemandangan sedih yang terjadi dihadapannya, tetapi ia juga tak bisa pergi meninggalkan mereka, karena tugasnya adalah memberikan bantuan segera jika terjadi sesuatu.
Suro langsung menciumi tangan ibunya, lalu dibawanya menelusuri pipinya yang sudah basah dengan air mata.
"Ibu...." ia tak bisa berkata. Badannya berguncang dengan kuat menahan gelombang isak tangis yang memenuhi rongga dadanya.
Yang Meng tersenyum sambil menatap langit-langit ruang pengobatan. Ketika ia mengangguk, lehernya terasa sakit yang langsung membuat bibirnya mengernyit.
"Aku juga demikian....." jawabnya.
Tiba-tiba ia terbatuk, dan dari mulut lelaki itu keluar darah segar yang memenuhi mulutnya dan membuat Suro terkejut. Ia hendak berdiri membersihkan darah dari mulut ayahnya, tetapi genggaman kedua orang tua angkatnya itu begitu erat.
Untunglah Rou Yi cukup sigap, buru-buru ia membantu Yang Meng dengan menegakkan sedikit punggung lelaki itu hingga darah yang memenuhi mulutnya bisa mengalir dari sela-sela bibirnya. Karena tak ada kain, maka gadis puteri tabib Hu itu tanpa ragu-ragu menyeka darah Yang Meng dengan ujung gaun lengannya hingga berubah menjadi merah.
Rou Yi menatap Suro sambil tersenyum, memberi isyarat kepada Suro kalau tidak ada lagi darah yang keluar. Tubuh Yang Meng kini bersandar dibahu Rou Yi.
Suro tersenyum membalas Rou Yi, ia menggerakkan bibirnya tanpa bersuara mengucapkan terima kasih. Suro merasa berhutang budi pada Rou Yi, yang entah bagaimana ia harus membalas kebaikan hati gadis itu.
"Anakku Luo...." tiba-tiba Yang Meng menggenggam erat tangan Suro yang lain."Setelah ayah dan ibu tiada, aku ingin kau merawat adikmu, Li Yun. Jagalah dia baik-baik...."
"Ayah..." Li Yun berkata lirih.
Suasana hening itu diisi dengan suara tangisan. Tak ada yang sanggup berkata-kata menenangkan keadaan. Ia tahu, apa yang terjadi pada hari ini memang sudah kehendak tuhan. Ia tak ingin semakin mendramatisir keadaan dengan melepas tangis kesedihan, tetapi apa daya, ia merasa lemah.
"Luo...Aku rindu bacaan-bacaan yang sering kau senandungkan setiap malam. Bisakah kau membacakannya untuk kami?"
Suro terperanjat mendengar ucapan ayah angkatnya, ini adalah hidayah yang tak bisa ditunda masuknya, maka ia pun langsung mengangguk sambil tersenyum.
"Sebelumnya, ananda akan mengucapkan ikrar. Harap Ayah, ibu dan adik Li Yun mengikuti apa yang aku ucapkan..." lalu tak sengaja pandangannya juga ke arah Rou Yi yang rupanya sedang menatapnya sejak tadi.
"Adik Yi, jika kau mau, kau juga bisa mengikuti apa yang kuucapkan," katanya. Ia sedikit ragu, tetapi Rou Yi pasti sudah faham tentang keyakinannya, karena seringkali Suro juga beberapa kali menyelipkan ucapan dan nasehat yang menjelaskan tentang keyakinannya. Jika Rou Yi menolak, maka ia pun tak memaksa.
Tanpa diduga, Rou Yi langsung mengangguk sambil tersenyum. Dan itu membuat Suro terharu.
"Adik Luo, aku juga akan ikut mengucapkan ikrar!" tiba-tiba Tan Bu yang sedari tadi diam mendengarkan sambil menangis akhirnya menyahut.
Suro melihat Tan Bu dengan pandangan takjub, senyumnya langsung mengembang. Jika demikian, apapun yang terjadi malam ini ia akan menerimanya dengan hati yang ikhlas dan lapang. Bibirnya lirih berucap syukur.
Setelah membacakan dua kalimat syahadat, Suro menyusulnya dengan Surah Al Fatihah dan Surah Ar Rahman.
Awal-awal membaca surah Ar Rahman, ia masih dapat menahan air matanya yang semula sudah mulai berhenti. Tetapi semakin membaca, air matanya tak dapat ia tahan kembali. Dalam ayat itu, Allah SWT seolah berkata seperti orang tua yang menjewer anaknya yang nakal. Jewerannya bukan karena kebencian tetapi karena kasih sayang.
Disela-sela tangisannya, ia bisa mendengar suara tangisan orang-orang yang berada dalam ruangan itu. Hingga sampai beberapa ayat berlalu, suara tangisan dari Yang Meng dan Zhou Lin akhirnya tak lagi terdengar.
Ia menghentikan ayat yang dibacanya, ketika ia merasakan gengaman tangan Yang Meng dan Zhou Lin merenggang, lalu buru-buru memandang keduanya secara bergantian. Pandangan mata keduanya agak menutup dengan mulut setengah tersenyum.
Rou Yi meletakkan jarinya dibawah hidung Yang Meng untuk merasakan udara yang dikeluarkan dari hidung Yang Meng, tak lama kemudian wajahnya berubah pucat memandang Suro.
"Kakak Luo...." Rou Yi tak sanggup berkata.
Suro sudah tahu kalimat yang akan dikeluarkan Rou Yi, ia juga sudah memeriksa keadaan ibu angkatnya yang sudah wafat dalam waktu yang berdekatan dengan Yang Meng.
Li Yun langsung menangis histeris hingga tubuhnya berguncang-guncang berusaha menggapai tubuh ibunya.
Suro langsung diam tertegun, tubuhnya mendadak lemas, lirih kemudian ia mengucapkan kalimat yang meneguhkan hatinya.
"Ayah.... Ibu.....!" Li Yun berteriak memanggil kedua orang tuanya.
Suro langsung mendatangi tubuh Li Yun begitu melihat tubuh gadis itu bergerak semakin kencang dan nyaris terjatuh dari pembaringannya. Dipeluknya tubuh Li Yun dengan erat untuk menahannya agar tidak terjatuh.
Setelah Li Yun bisa menguasai diri dan menyadari keadaan, ia membenamkan mukanya didada Suro yang masih memeluknya.
"Kakak....." ia berucap setelah tenang dalam pelukan Suro. "Aku ingin menyusul ibu, kak...." katanya sambil menangis.
Pemuda itu membelai rambut Li Yun dengan lembut sambil membisikkan sesuatu, "Ayah dan ibu sudah menitipkanmu padaku ....."
***
Beberapa hari setelah pemakaman orang tua angkat Suro.
Tabib Hu sedang berbincang dengan Suro mengenai kondisi Yang Li Yun di ruang tamu kediaman tabib Hu. Bersama mereka turut juga tetua Huang Nan Yu. Sementara Rou Yi sedang merawat Li Yun di ruang pengobatan.
Kondisi Yang Li Yun semakin hari memang semakin membaik, hanya saja untuk pembenahan tulang belakang, Tabib Hu tak mempunyai keahlian tentang itu.
"Luo berencana akan membawa adik Li Yun ke biara Shao Lin, karena guru So Lai adalah ahli yang berkenaan dengan tulang, semoga saja permasalahan adik Li Yun bisa teratasi," Suro berkata kepada Tabib Hu.
Lelaki tua itu mengangguk.
"Yang aku khawatirkan adalah perjalanannya yang sangat jauh. Ditakutkan, kondisinya malah makin memburuk. Begitu sampai disana, kondisinya malah makin sulit untuk diobati," Tabib Hu berpendapat.
Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara karena masing-masing sedang memikirkan solusi untuk mengobati Yang Li Yun.
Paling tidak perjalanan kesana dengan kondisi seperti yang dialami Yang Li Yun membutuhkan waktu 4 sampai 5 hari. Suatu perjalanan yang panjang dan melelahkan.
"Adik Luo," tiba-tiba Tan Bu bersuara, membuat yang lain menoleh. "Apakah bisa jika guru So Lai yang diminta datang kemari?"
Suro menarik nafas sejenak, lalu menghembuskannya. Ia tak langsung menjawab. Tampak tersirat keraguan diwajahnya.
"Sebenarnya itu juga ada dalam fikiranku. Luo merasa tidak sopan meminta tetua yang datang kemari. Tetapi cuma itu cara yang aman buat adik Li Yun. Hmmmm...." Suro berkata sambil memegang dagunya.
Ia berharap cara itu bisa dilakukan, mengingat kondisinya bisa dikatakan darurat.
"Kalau begitu, biar aku saja yang pergi kesana dan meminta tolong biksu So Lai untuk datang kemari bersamaku," ucap Tan Bu menawarkan diri.
"Sebenarnya Luo merasa tidak sopan meminta kakak Tan Bu yang pergi...." Suro berkata, tetapi Tan Bu mengangkat tangannya kedepan membuat Suro memutus kalimatnya.
"Apa yang kau fikirkan, dik," sanggahnya, "Nona Muda Yang bisa dibilang bagian dari kelurgaku juga. Maka urusannya juga urusanku."
Suro nampak berfikir sesaat, sepertinya ia memang tak ada pilihan lain untuk menyetujui usulan Tan Bu. Ia jelas tak mungkin meninggalkan Li Yun dalam kondisi seperti itu.
Tiba-tiba Huang Nan Yu menyambung.
"Aku akan menemani Tan Bu," sahutnya.
"Tidak tetua Nan Yu!" Suro langsung menolak permintaan wanita itu, "Sepertinya cukup kakak Tan Bu saja yang pergi. Aku akan menulis surat untuk biksu kepala."
Keikutsertaan Tetua Huang Nan Yu sebenarnya adalah suatu yang sangat menguntungkan mengingat perjalanan yang sangat berbahaya. Tetapi usia yang sudah lanjut bakal menyusahkan dia sendiri.
Tan Bu tersenyum, "Para biksu senior dan beberapa biksu muda pasti mengenaliku, karena beberapa kali mereka pernah menginap di kediaman tuan Yang."
Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya karena baru terfikir bahwa orang-orang Shao Lin yang pernah menginap dikediaman keluarga Yang, pasti mengenal Tan Bu dengan baik.
"Kalau begitu, baiklah. Tetapi Luo tetap akan menulis surat untuk biksu kepala memintakan izin membawa guru So Lai kemari."
Tiba-tiba satu suara mengagetkan mereka yang tengah berdiskusi.
"Mohon maaf, pendekar Luo. Aku akan menemani tuan Tan Bu menuju biara Shao Lin," satu suara yang terdengar adalah suara dari Lu Xiou Fu.
***
"Suhu badanmu nampaknya sudah normal, tinggal mengobati tulang punggungmu yang patah," Rou Yi berkata sambil duduk disamping Li Yun.
Ia tersenyum memandang Li Yun yang terlihat masih belum pulih kondisi kejiwaannya setelah kematian ayah dan ibunya.
Li Yun membalas ucapan Rou Yi dengan berusaha untuk tersenyum. Wajahnya yang semula pucat sudah nampak memerah. Kecantikannya yang alami sudah mulai terlihat kembali, meskipun masih terbalut aura kesedihan.
"Nona Rou Yi jangan bohong padaku," ucap Li Yun, "Aku sekarang sudah lumpuh."
Li Yun berkata seperti sudah putus asa. Ia menyadari dirinya sekarang akan menjadi beban orang lain. Tak mungkin ia berada ditempat itu selamanya menjadi beban. Harapannya hanya pada Suro.
Tapi sampai kapan? Kondisinya yang sekarang apakah Suro mau menerimanya? Ia menjadi bimbang.
Rou Yi tersenyum, suaranya yang terdengar lembut berusaha menenangkan Li Yun yang tampak putus asa.
"Percayalah pada kakakmu," sahutnya, "Ia akan membawamu ke biara Shao Lin. Sebab di sana ia pernah bertemu dengan biksu kepala balai pengobatan yang ahli menangani permasalahan tulang."
Mendengar kalimat Rou Yi, membuat Li Yun menatap ke arah gadis yang merawatnya. Secercah harapan menyeruak muncul dari wajahnya yang cantik.
"Benarkah?" tanyanya.
Rou Yi mengangguk.
"Walaupun aku tidak mengenal kakak Luo secara mendalam sepertimu, aku percaya dia akan melakukan apapun demi kesembuhanmu. Aku percaya kakak Luo seperti engkau mempercayainya," katanya sambil memegang tangan Li Yun.
Kata-kata Rou Yi yang memberi semangat padanya dirasakan menimbulkan energi tersendiri yang membuat keyakinannya untuk pulih kembali juga semakin besar.
"Nona Rou Yi sangat baik, semoga Allah memberimu kebahagaian," Li Yun berkata yang bisa dikatakan itu adalah sebuah do'a untuk Rou Yi.
Rou Yi kembali mengangguk sambil menampakkan senyumannya. Dalam hatinya ia juga berharap hal yang sama terjadi pada Li Yun. Ia tak tega dan merasa kasihan pada gadis yang berada dalam perawatannya itu.