Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 45 - Ye Chuan sedang Mempersiapkan Diri

Chapter 45 - Ye Chuan sedang Mempersiapkan Diri

Lembah Awan Perak di pagi hari.

Gua tempat dimana Ye Chuan pernah ditahan didalamnya selama 10 tahun oleh Perwira Chou kini menjadikan tempat itu sebagai kediamannya. Tak ada lagi penjaga yang bertugas menjaga gua, karena Perwira Chou sudah memberikan perintah agar tak perlu lagi mengawasi Ye Chuan sejak terjadinya kesepakatan membunuh Suro.

Di halaman mulut gua yang tersembunyi dan berada di dasar lembah Awan Perak sebenarnya banyak ditumbuhi semak dan pepohonan besar disaat ia berada didalamnya sebagai tahanan Perwira Chou. Kini, setelah Ye Chuan menguasainya sendiri, ia merobohkan pepohonan dan semak-semak hingga membuatnya terasa jauh lebih luas sebagai tempat ia berlatih.

Di depan mulut gua, Ye Chuan kembali berlatih keras. Tubuhnya kini sudah kembali pulih akibat terkena serangan Telapak Kupu-kupu setelah bertarung melawan Suro di biara Shou Lin, mengakibatkan organ bagian dalamnya mengalami luka dalam yang cukup parah.

Saat ini dalam pikirannya hanya satu, ia harus membunuh Suro yang ia tetapkan sebagai musuh terkuat. Baginya Suro adalah orang yang harus ia singkirkan agar ia menjadi pendekar nomor satu di dunia persilatan.

Sebenarnya, pada saat itu ia sudah berhasil mengalahkan Suro. Hanya saja ia kalah di taktik dan teknik gerakan. Jika dilihat dari segi ketinggian ilmu bela diri maupun kekuatan tenaga dalam, Suro masih jauh berada dibawahnya.

Oleh karena itulah, hasil pertarungan saat di biara Shao Lin waktu itu tak bisa ia lupakan dan ia rekam baik-baik dalam ingatannya untuk menciptakan sebuah teknik pertarungan menghadapi Suro bulan kedelapan hari kelima yang tinggal beberapa hari lagi.

Dalam petualangan didunia persilatan selama puluhan tahun, tak pernah ada satupun para ahli beladiri senior yang pernah membuatnya terluka parah seperti yang dialaminya ketika bertarung dengan Suro. Ia merasa dipecundangi dan dipermalukan. Ibaratnya, bagaimana mungkin anak baru lahir sudah membuatnya seperti itu. Pulang dalam keadaan terluka!

Berkali-kali ia mengulang jurus-jurus barunya, membuat serangan pukulan dan tendangan yang tidak umum dan tidak pernah diduga arah dan serangannya. Ia coba meniru teknik-teknik yang dimainkan oleh Suro, lalu mengembangkannya menjadi teknik baru dan teknik antisipasi.

Setiap gerak serang yang dilakukan secepat kilat dan bertenaga penuh menimbulkan suara geberan dan suitan. Seolah beradu dan bergesekan membelah udara. Hentakan-hentakan kakinya menciptakan lubang-lubang pada tanah, aura tenaga dalamnya pun seperti melebar dan meluas melingkupi seluruh tubuhnya.

Jika orang menyaksikan bagaimana ia berlatih, gerakannya terlihat bukan seperti gerakan manusia. Bajunya yang bisa dikatakan lebih mirip jubah akan menampakkan sesosok mahluk yang bergerak mirip dengan julukannya, Naga Api!

Kakinya yang berayun membentuk serangan tendangan mengibas bagaikan ekor naga, pukulannya yang kadang membentuk tinju dan kadang membentuk cakar bergerak cepat dan meledak-ledak bagaikan sambaran tangan dan lidah naga.

Kerasnya ia berlatih mengalahkan siapapun, hidupnya seperti untuk berlatih dan berlatih. Niatnya hanya satu, menjadi penguasa dunia persilatan. Selama ia mendengar ada orang yang berilmu tinggi, pasti akan ia datangi untuk menantangnya bertarung.

Di akhir latihan, ia langsung melompat dihadapan sebatang pohon besar yang lingkarannya sebesar pinggang tubuh orang dewasa. Diiringi teriakan yang panjang, ia memukulkan tinjunya ke arah batang pohon itu.

Braaak!

Kepalan tinjunya langsung menembus sisi lainnya dari batang pohon itu, disusul kemudian setelah menarik tangannya keluar dari lubang yang tercipta, ia melakukan tendangan yang sangat keras.

Braak!!

Batang pohon langsung patah dan rebah ke tanah menimbulkan suara gemuruh yang cukup keras.

Tubuh lelaki tua itu berdiri jumawa dihadapan sasarannya yang telah tumbang. Wajahnya yang sangar tersenyum menyeringai dengan rasa puas.

***

Sebuah tempat, disebuah bangunan mewah yang mirip dengan markas tentara, tak jauh dari lembah Gezi.

Dalam ruangan itu, Perwira Chou duduk sambil menikmati arak di bangku tengah bak seorang raja. Selain arak, disamping kursi yang ia duduki terdapat sebuah meja yang diatasnya tersedia berbagai macam buah dan sayuran serta ayam panggang yang lezat.

Sambil sesekali menikmati makanan di atas meja, perwira Chou menyelinginya dengan meminum arak.

Di hadapannya yang berada disebelah kiri, Yun Se yang dikenal sebagai Pedang Ular duduk memperhatikan lelaki itu, menunggu Perwira Chou menyelesaikan aktivitasnya kemudian berbicara. Tampak ditangan lelaki itu, selembar kertas yang memuat gambar orang bertopeng sedang ia persiapkan untuk ditunjukkan.

"Apa kau yakin kalau orang yang ada dalam gambar itu dia sudah mati kau bunuh?" tanya perwira Chou setelah meneguk secawan araknya lalu meletakkannya kembali di atas meja.

"Benar, tuan Chou," jawabnya menunduk sambil menangkupkan kepalan tangannya didepan dada."Kami sempat bertarung sengit, lalu aku berhasil menusukkan pisau terbang beracun milikku dibahunya. Malam itu, banyak orang-orang yang melihat pertarungan kami."

Perwira Chou tak mau percaya begitu saja mendengarkan ucapan orang dihadapannya, ia harus betul-betul memastikan bahwa Yun Se tidak berkata bohong hanya untuk mendapatkan hadiah.

"Kau tak punya bukti. Yang kau sampaikan hanya omong kosong yang tak bisa meyakinkanku!" ia berkata demikian sambil memiringkan mulutnya. Kelihatan sekali kalau ia bermaksud merendahkan Yun Se.

Yun Se tak mampu menjawab, ia memang tak memiliki bukti apapun yang mampu meyakinkan lelaki dihadapannya. Wajahnya terlihat gugup.

"Sungguh, aku telah membunuhnya!" Yun Se bersikeras. Sebenarnya ia sendiri merasa ragu, apakah pisau terbang yang dibubuhi racun tujuh ular itu benar-benar sudah membunuh manusia bertopeng itu.

"Kau tahu apa hukumannya jika berani membohongimu?" Perwira Chou berkata menakut-nakuti Yun Se.

"A-aku tahu," jawabnya, kata-katanya mulai terdengar ketakutan, "Oleh sebab itu aku tak berani membohongimu. Jika benar orang bertopeng ini masih hidup, tentunya ia akan sering beraksi diluaran!"

Perwira Chou nampak berfikir, sebenarnya apa yang dikatakan Yun Se bisa masuk diakalnya. Tapi, sebagian pikirannya yang lain menolak dengan tegas. Ia masih menunggu kabar dari Ye Chuan, apakah si Naga Api itu sudah bertemu dengan lelaki bertopeng itu ataukah belum. Sedangkan keberadaan Ye Chuan atau si Naga Api sendiri pun ia tidak tahu.

Tapi ia sangat berharap, kemunculan Ye Chuan dapat membantunya menyelesaikan permasalahannya dengan Suro.

Perwira Chou mendengus marah sambil menggebrak meja, membuat Yun Se terkejut hingga wajahnya yang sudah pucat semakin bertambah.

"Kau pikir, buat apa dia beraksi diluar? Mau pamer? Dasar bodoh!" ia mendamprat keras, Yun Se langsung menundukkan kepalanya.

Tiba-tiba Perwira Chou berdiri sambil berteriak keras.

"Pengawal!!!" Tak lama dua orang prajurit yang dipanggil langsung datang terburu-buru, berlutut dan memberi hormat. "Bawa keluar dan penggal orang ini!!"

Ia memerintah sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Yun Se, lalu ia membalikkan badan membelakangi mereka.

Yun Se si pedang ular langsung terlihat panik, lalu buru-buru berdiri dari kursinya dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pengawal. Ia melakukan gerakan menyembah Perwira Chou berkali-kali, suaranya terdengar bergetar ketakutan.

"Ampun tuan, ampun!" ia berkata hampir menangis, "Tolong ampuni aku. Jika tuan bersedia, aku akan mencari informasi keberadaan orang bertopeng itu! Aku akan mencari bukti-bukti keberadaannya hidup atau pun mati!"

Perwira Chou membalikkan tubuhnya dan tersenyum sinis. Tatapan matanya memandang tajam dan bengis.

"Apanya si Pendekar Pedang Ular?!!" ia menyebut Yun Se dengan nada menghina, "Namanya saja yang sangar, tapi jiwanya cacing! Huh!"

Yun Se tak berani membantah, ia hanya terus menundukkan tubuhya beberapa kali dengan gerakan menyembah. Hal itu membuat Perwira Chou memandangnya begitu jijik.

"Tolong ampuni aku, tuan Chou.... Berilah aku kesempatan sekali lagi," pintanya sambil menangis memohon ampun.

Dengan marah, lelaki itu langsung melangkah mendatangi Yun Se, lalu dia menjejakkan kakinya ke tubuh Yun Se yang sedang bersujud.

Buk!

Tubuh Yun Se terlempar hampir mengenai dua orang prajurit pengawal yang berada dibelakangnya jika mereka tidak segera memecahkan formasi, menggelinding seperti bola beberapa kali.

"Sana pergi!" usirnya, lalu mengacungkan jari telunjuknya, "Aku beri kau waktu tiga hari! Jika tidak dapat berita, maka aku akan mencarimu dan langsung memenggal kepalamu ditempat!"

Ia sedikit lega karena merasa mendapat keringanan, Yun Se buru-buru bangkit dari posisi jatuhnya, lalu bersujud beberapa kali dihadapan Perwira Chou.

"Terima kasih, tuan Chou... terima kasih!" katanya ketakutan, lalu ia buru-buru melangkah mundur dari hadapan lelaki itu.

***

Sore hari di Lembah Gezi...

"Li Yun..."

Rou Yi masuk ke dalam ruang pengobatan sambil memanggil nama Li Yun. Saat ini mereka sepakat untuk langsung menyebut nama tanpa tambahan 'nona' didepannya.

Gadis itu melihat Yang Li Yun yang sedang membaca sebuah buku pengobatan di kursi rodanya. Tampak sekali kalau ia merasa jenuh, lalu melakukan apapun untuk mengusir kejenuhannya.

Setelah beberapa hari tulang belakangnya diobati oleh biksu So Lai, sekarang ia bisa menegakkan punggungnya, hanya saja untuk mengangkat kaki masih terasa berat, dan tampaknya masih membutuhkan waktu yang lama.

Mendengar Yin Rou Yi memanggil namanya, ia memutar kursi yang ia gunakan, lalu tersenyum ceria menyambut kedatangan Rou Yi. Kedua gadis itu sekarang nampak lebih akrab dan tak terlihat canggung atau sungkan lagi. Mereka sudah seperti saudara kandung.

Rou Yi yang sebelum kedatangan Yang Li Yun merasa sangat kesepian, kini hari-harinya terasa lebih ceria dan menyenangkan. Ia berpikir, aura Li Yun telah menular padanya.

"Oh, Rou Yi sudah datang..."

Rou Yi langsung duduk di kursi, lalu membuka sebuah bungkusan berisi beberapa lembar gaun pakaian berwarna lembut bertekstur halus.

"Coba sini," katanya sambil menempelkan salah satu gaun yang ia bawa ke tubuh Li Yun.

Li Yun memandang dirinya sendiri ketika gaun itu ditempelkan padanya. Ia tampak tersenyum senang.

"Cantik sekali...." Rou Yi memuji Li Yun sambil mencoba memandangnya dari berbagai sisi. "Ini ada beberapa buah gaun, kakak Luo yang membelikannya untuk kita."

Rou Yi kemudian menunjukkan beberapa gaun lainnya yang mempunyai warna berbeda.

"Oh ya?" Li Yun bertanya serius.

Gadis yang ditanya mengangguk dan tersenyum.

"Ini ada 4 buah gaun. Kata kakak Luo, terserah mana yang kau suka dan sisanya untukku."

"Kau suka yang mana?" Li Yun bertanya lagi.

"Semuanya aku suka, sebab aku yang memilihnya. Sekarang, kau pilihlah yang kau suka...." Rou Yi memberikan pilihan kepada Li Yun.

Li Yun tampak bingung. Ia memilih-milih diantara 4 buah gaun yang disodorkan kepadanya. Tapi akhirnya ia tersenyum, lalu menyerahkannya kembali kepada Rou Yi.

"Nih, pilihkan untukku. Aku yakin pilihanmu pasti yang terbaik." Ia sedikit memuji sambil menatap mata Rou Yi dengan tatapan berbinar-binar.

Ia lalu menerima gaun-gaun itu dari tangan Li Yun. Berkali-kali ia menetapkan pilihan, tapi kemudian ia batalkan kembali. Rou Yi langsung bingung dibuatnya.

"Kau bingung juga, ya?" Li Yun bertanya dengan senyum jahat menggoda Rou Yi.

Raut wajah Rou Yi langsung berubah, ia sudah faham senyum itu, tetapi ia tidak tahu rencana apa yang ada dalam kepala Yang Li Yun.

"Kakaaak!!!..." Li Yun tiba-tiba berteriak.

Yin Rou Yi begitu kaget, lalu buru-buru melempar gaun yang ada ditangannya lalu membekap mulut gadis itu agar tak berteriak lagi memanggil Suro yang berada diruangan lain.

Dari balik tangan Rou Yi yang membekap mulutnya, Li Yun tersenyum, dan itu bisa dirasakan oleh Rou Yi. Tapi ia tak mau begitu saja melonggarkan bekapannya.

Setelah beberapa lama, Suro tak terlihat muncul membuat Rou Yi menghela nafas lega. Ia pun menurunkan tangannya perlahan-lahan dan berjaga-jaga, jika Li Yun akan berteriak kembali. Jarak tangannya belum jauh dari mulut Li Yun.

Senyum Li Yun terlihat nakal memandang Rou Yi yang terlihat panik. Mata Rou Yi yang biasanya teduh langsung mendelik membalas tatapan mata Li Yun dengan ganas.

"Jangan panggil kakak Luo!" katanya memperingatkan Li Yun, "Aku memilih yang ini... dan yang ini!"

Akhirnya ia melakukan pillihan tanpa berpikir lagi, takut kalau-kalau Yang Li Yun akan berbuat sesuatu yang aneh-aneh dan membuatnya malu.

Li Yun menerima gaun sisa hasil pillihan Rou Yi sambil tersenyum, lalu memandangnya berkali-kali secara bergantian.

"Jangan bilang kau tak suka, ya," ancam Rou Yi ketika melihat Li Yun menampakkan gelagat aneh seperti akan menjalankan sebuah rencana lain, "Kau sudah menyerahkannya kepadaku untuk memilih!"

Li Yun tertawa cekikikan, yang tak lama kemudian diikuti oleh Rou Yi.

Tiba-tiba Suro muncul dari balik pintu yang tidak dilihat oleh Rou Yi karena posisinya sedang menghadap ke arah Li Yun, sedangkan Li Yun yang memang menghadap pintu melihat kedatangan Suro, maka, dengan santai dan terkesan tidak buru-buru agar tak membuat Rou Yi curiga langsung menyerahkan kembali gaun yang ia pegang.

"Aku bingung," katanya sambil berusaha menahan senyum, lalu tiba-tiba berseru, "Ah, itu kakak Luo!"

Ia langsung menunjuk ke arah Suro, membuat Rou Yi terkejut hingga nyaris terlonjak dari kursinya dan berbalik untuk kemudian kembali menatap sangar Li Yun yang tersenyum kepadanya.

"Hmm.... Gadis licik!" ia berbisik mengumpat Yang Li Yun dengan mata mendelik. Li Yun menjulurkan lidah mengejek Rou Yi.

"Hi.Hi.Hi," sekali lagi Li Yun tertawa cekikikan.

"Apakah tadi ada yang memanggilku?" tanya Suro.

Rou Yi langsung berkata, "Tidak!" tetapi Li Yun berkata, "Iya!"

Mereka mengucapkannya bersamaan, hingga membuat Suro bingung dan menggaruk-garuk kepala sambil melangkah mendekati keduanya.