Mereka tiba menjelang malam, beruntung mereka menemukan sebuah rumah kosong yang tampak sudah lama ditinggalkan penghuninya, karena barangkali posisinya yang jauh dari keramaian.
Suro harus memainkan instingnya untuk menyembunyikan dirinya dan orang-orang yang mereka bawa agar tidak ketahuan oleh prajurit atau pun mata-mata perwira Chou.
Li Yun berbaring dengan beralaskan jerami yang kemudian dilapisi selimut, sedangkan Rou Yi berada duduk disampingnya. Terlihat sekali ia masih dalam kondisi trauma setelah apa yang menimpanya.
Suro memeriksa kondisi Li Yun, dahinya berkerut, dan wajahnya menegang. Ia merasakan tubuh gadis itu panas, tetapi Yang Li Yun seperti menguatkan diri dan tersenyum padanya seolah mengisyaratkan kalau ia baik-baik saja.
"Tubuhmu demam," katanya memberitahu Li Yun.
Gadis itu mengangguk, "Aku masih kuat, kakak. Jalankan saja rencanamu."
Suro menggeleng, tampak dadanya terangkat naik lalu terdengar suara desahan khawatir akan kondisi adik angkatnya itu.
"Kakak sangat tahu kondisimu, tak mungkin kita melanjutkan perjalanan dengan kondisimu yang seperti ini,"
"Kalau begitu, lekaslah kakak buat obat untuk menyembuhkanku" katanya sembari tersenyum.
Suro membalasnya dengan tertawa kecil, "Tidurlah dulu untuk mengistirahatkan tubuhmu, nanti kakak akan membangunkanmu untuk minum obat lagi, ya."
Li Yun mengangguk, lalu memejamkan matanya.
Pandangan Suro kemudian beralih ke arah Rou Yi yang juga memandangnya, berusaha untuk tersenyum diantara kedukaannya.
"Bagaimana kondisimu adik Yi? Istirahatlah disamping Li Yun."
"Aku baik-baik saja, kakak. Aku masih teringat ayahku..." Suro memandang kasihan pada Rou Yi.
"Jangan bersedih, adik Yi. Ayahmu sudah tenang di alam sana," Suro berkata menghibur.
Rou Yi mengangguk dan tersenyum. Apa-apa yang pernah disampaikan oleh Suro berupa nasehat-nasehat selama ini membuatnya faham apa yang dikatakan oleh pemuda itu barusan.
"Terima kasih, kakak..." jawabnya.
"Baiklah," katanya sambil kembali berdiri, "Aku akan berjaga diluar. Kalian beristirahatlah."
Selesai berkata, pemuda itu melangkahkan kakinya ke luar pintu, lalu mengambil tempat yang nyaman untuk dia bisa duduk.
Kejadian yang baru saja dialaminya masih belum hilang dari ingatannya, dan tetap mengganjal dalam hati, seolah-olah masih mempermasalahkan keterlambatannya menolong keluarga Tabib Hu. Meskipun beberapa kali ia mencoba untuk menghibur diri dan mengingat-ingat pelajaran ayat dan hadis yang pernah disampaikan oleh Ki Ronggo untuk menepis rasa bersalahnya itu.
Namun, bagaimanapun juga, ia merasa lemah, dan terkadang sering berkeluh kesah sebagai manusia.
"Ya Allah," katanya berbisik, kepalanya mendongak ke langit, "Mengapa setiap keluarga yang hamba ikuti selalu mengalami kejadian tragis? Apakah hamba ini memang ditakdirkan membawa sial?"
Suro mulai berfikir tentang perjalanan hidupnya selama ini, dimulai dari padepokan tempatnya menuntut ilmu, keluarga pak Dawung, keluarga Yang Meng, dan terakhir keluarga Tabib Hu. Semuanya mati dalam keadaan terbunuh. Ia merasa, kejadian itu merupakan satu tanda-tanda kesialan menurutnya. Sampai-sampai terbesit dalam hati kalau dirinya merupakan biang dari semua peristiwa itu.
Hatinya seketika merasa gundah dan sedih jika memang dialah yang menjadi segala permasalahan yang menimpa semua orang yang didekatnya. Mengingat itu, air matanya langsung menetes.
Bayangan Ki Ronggo seolah mewujud dihadapannya. Seketika itu juga, ia seperti kembali ke masa lalu, dimana ia dan para santri sedang duduk mendengarkan wejangan-wejangan dari Ki Ronggo.
"...Mudah-mudahan Allah yang Maha Menguasai segala-galanya selalu membukakan hati kita agar bisa melihat hikmah dibalik setiap kejadian apapun yang terjadi. Yakinlah tidak ada satu kejadian pun yang sia-sia, tidak ada suatu kejadian pun yang tanpa makna, sangat rugi kalau kita menghadapi hidup ini sampai tidak mendapat pelajaran dari apa yang sedang kita jalani. Hidup ini adalah samudera hikmah tiada terputus. Seharusnya apapun yang kita hadapi, efektif bisa menambah ilmu, wawasan, khususnya lagi bisa menambah kematangan, kedewasaan, kearifan diri kita sehingga kalau kita mati besok lusa atau kapan saja, maka warisan terbesar kita adalah kehormatan pribadi kita, bukan hanya harta semata. Rindukanlah dan selalu berharap agar saat kepulangan kita nanti, saat kematian kita adalah saat yang paling indah...."
Tiba-tiba, ia langsung tersentak dari lamunannya, lalu buru-buru menjatuhkan diri dan bersujud dilantai yang berdebu. Air matanya tak bisa ditahan lagi, berikut suara tangisannya yang terdengar dan sesenggukan.
"Ya Allah, Ya tuhanku. Tiada tuhan selain Engkau. Sungguh, aku ini adalah mahlukMU, dan aku adalah hambaMU, aku patuh pada ketentuanMU. Aku berlindung dari kesalahan-kesalahan dan kelemahanku. Maka, ampunilah aku. Jika engkau tidak mengampuniku, maka kemana lagi aku akan meminta ampun? Sungguh, aku adalah orang yang mendzalimi diri sendiri..."
Ia mengulang-ulang kalimat permohonan ampunan kepada tuhannya, karena rasa bersalah telah berburuk sangka pada yang menciptakan dirinya. Seharusnya, ia bisa mengambil hikmah dari kejadian-kejadian yang ia alami selama ini.
Cukup lama ia tersungkur, air matanya tak mau berhenti mengalir, seolah-olah menunggu tanda-tanda isyarat tuhannya telah mengabulkan permohonan ampunnya. Sekeras apapun ia menahan suara sesenggukannya, tetap saja ia tak mampu.
Disaat-saat demikian, dalam keadaan sujud tersungkur, perasaannya begitu tenang dan damai. Ia seperti menemukan tempat untuk berkeluh kesah, menumpahkan segala beban yang ia rasakan.
"Kakak...."
Satu suara yang cukup asing ditelinganya membuatnya berhenti beristigfar. Berusaha mennghentikan tangisan penyesalan atas kekhilafannya. Perlahan ia mengangkat tubuhnya dan mengusap air mata dengan lengannya.
Ia kemudian memandang Rou Yi sambil tersenyum, berusaha bersikap tidak menunjukkan kegundahan hatinya.
"Oh, adik Yi..." sapanya, "duduklah disini."
Rou Yi langsung mengambil tempat disebelah Suro untuk duduk. Menarik nafas dan menghembuskannya agak panjang.
"Li Yun sudah tidur?" tanyanya pada Rou Yi yang dianggap dengan anggukan. "Mengapa kau tidak beristirahat dan menenangkan fikiran?"
Rou Yi terdiam, ia tak menyahut. Wajahnya masih nampak begitu sedih.
"Sulit memejamkan mata, ya?" Suro bertanya menebak.
"Iya," angguknya pelan, "Bayangan ayah belum bisa hilang. Kepalaku terasa penuh..."
Pemuda itu tersenyum sejenak sambil memandang ke depan.
"Nanti, kalian harus mulai belajar sholat, ya...." katanya.
Rou Yi kembali mengangguk. Suasana hening.
Suro kehabisan kata-kata untuk menghilangkan kebisuan. Ia tak tahu bagaimana cara menghibur Rou Yi. Waktu berjalan sangat lama menunggu keduanya saling bicara.
"Kakak," tiba-tiba Rou Yi berkata, "Aku tak mau menjadi beban perjalananmu. Aku bisa mandiri dengan membuka tempat pengobatan sebagai tabib...."
Suro menoleh ke arah Rou Yi. Ia tahu maksud gadis itu.
"Jangan bodoh," katanya sambil tersenyum, "Apa kau tak dengar apa permintaan terakhir ayahmu pada kakak?"
Rou Yi menunduk. Suro bisa mendengar suara gadis itu mencoba menahan tangis. Dan Suro membiarkannya beberapa saat hingga gadis itu stabil kembali.
"Kakak, aku tak ingin....." Rou Yi menghentikan kalimatnya.
Sebenarnya, ia akan mengatakan kalau ia tak ingin keberadaan dirinya akan mengganggu hubungan Li Yun dengan Suro. Tapi, ia tak sanggup mengatakannya. Ucapan itu terasa mencekik begitu sampai dilehernya.
Kemudian ia mengangkat kepala dan menoleh ke arah Suro yang tersenyum padanya. Tiba-tiba hatinya merasa tenteram. Pandangan mata pemuda itu seperti permata indah yang berkilauan menerangi kalbunya.
"Yang jelas, untuk saat ini, aku harus memenuhi janjiku pada tabib Hu untuk menjaga dan membawamu kemanapun aku pergi. Mungkin suatu saat nanti, bila kau sudah aman, barulah kau kuijinkan untuk pergi dariku. Tapi..." ia menghentikan kalimatnya sejenak.
Rou Yi memperhatikan ucapan Suro, dan menunggu kalimat yang akan keluar dari bibir pemuda itu.
Suro seperti terlihat ragu mengatakan lebih lanjut kalimatnya, maka ia mengakhirinya dengan suara desahan yang cukup panjang lalu kembali menundukkan kepala.
"Tapi?..." Rou Yi ingin tahu.
"Tapi, aku merasa kalau suatu saat itu tidak akan ada..." jawab Suro sambil menatap Rou Yi.
Gadis itu menatap heran ke arah Suro. Ia tak mengerti apa maksud perkataan pemuda itu.
Tiba-tiba, mereka mendengar suara Li Yun yang seperti mengigau. Buru-buru mereka berdua masuk ke dalam, dan mendapati gadis itu sedang tertidur dalam keadaan gelisah.
Suro memeriksa keadaan Li Yun, dan mendapati tubuhnya mengalami demam tinggi. Ia langsung mengambil air dalam sumur yang ada dihalaman rumah kosong itu dengan timba. Mempersiapkan kain, membasahinya lalu mengompres dahi gadis itu.
Sementara, Rou Yi mengambil cawan berisi air ramuan obat yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan memberikannya pada Suro.
Li Yun perlahan membuka matanya dengan lemah, bibirnya yang awalnya kemerahan kini nampak pucat. Ia mencoba tersenyum pada Suro.
Suro membalas senyum gadis itu dan mengusap keringat yang membasahi wajahnya, lalu membantunya menyuapi cairan dalam cawan sedikit demi sedikit.
***
Malam kedua dirumah kosong. Keadaan Yang Li Yun sudah semakin membaik dari hari sebelumnya, tetapi Suro memutuskan untuk bertahan sampai kondisi adik angkatnya itu benar-benar pulih. Jika tetap memaksakan, ia khawatir, kondisi adiknya akan lebih parah dan tentu akan sangat sullit untuk diobati.
"Adik Luo," Tan Bu berkata, mereka berdua sedang mengelilingi perapian, masing-masing memegang ikan yang dibeli oleh Tan Bu yang akan mereka panggang, "Kemana tempat yang akan kita tuju."
Suro berfikir sejenak sambil tangannya membolak-balikkan ikannya di atas perapian.
"Tadinya aku berfikir mencari tempat yang aman. Tetapi, aku tidak tahu dimana itu," jawabnya, "Selama masih berada dinegeri ini, rasanya tidak ada tempat yang benar-benar aman untuk kita bersembunyi terus-terusan."
"Maksudmu, apakah kau akan membawa mereka kembali kenegerimu?" Tan Bu berkata menebak maksud ucapan Suro.
Pemuda itu mengangguk. Untuk saat ini, ia harus memikirkan keselamatan orang-orang yang bersamanya. Terutama memulihkan kondisi Li Yun terlebih dahulu.
"Apakah adik tidak terfikir untuk membalas dendam?" Tan Bu bertanya lagi.
Suro menatap ke arah Tan Bu, lalu tersenyum. Ia menarik nafas dan membuangnya dengan hembusan panjang.
"Semula, aku memang berfikir begitu. Jika aku sendiri, mungkin aku bisa pergi mencari Perwira Chou dan bertarung dengannya. Tetapi, aku mempunyai tanggungan seperti kakak Tan, adik Li dan adik Yi. Jika aku selamat dan berhasil membalas dendam, maka itu tak masalah. Tetapi bagaimana jika aku mati? Tak ada yang mellindungi kalian. Maka, kufikir, semuanya kukembalikan dan kuserahkan pada Allah SWT, biarlah aku fokus pada amanat ayah dan ibu serta tabib Hu," jawabnya.
Tan Bu mengangguk, memahami apa yang difikirkan Suro. Jika ia yang menjadi Suro, mungkin ia tak bisa berfikir seperti itu. Suro lebih memikirkan keadaan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
"Kakak..." Suro mendengar suara Li Yun dari arah belakangnya.
Gadis itu sudah berada di kursi roda yang didorong oleh Rou Yi, berjalan keluar halaman menuju keperapian.
"Kenapa adik keluar? Bukankah lebih baik beristirahat di dalam?" Suro berkata agak keras, tapi kemudian melemah, begitu sadar kalau adik angkatnya itu keras kepala.
Ia menatap ke arah Rou Yi yang berada dibelakangnya, dan gadis itu menunduk karena merasa bersalah mengikuti kemauan Li Yun untuk keluar.
Li Yun yang melihat Suro seperti menyalahkan Rou Yi, langsung berbicara. "Jangan salahkan Rou Yi. Aku yang memintanya. Tahukah kakak, aku juga ingin menggerakkan badanku."
"Maafkan aku..." Rou Yi menyahut sambil menundukkan kepalanya.
"Kakak, jangan sampai kau membuat Rou Yi menangis. Jika tidak, aku tidak akan berbicara denganmu!" Li Yun mengancam Suro.
Mendengar pembelaan Li Yun pada Rou Yi membuat Suro tersenyum melihat gadis itu, ia menyadari kalau ia tadi agak emosi, tujuannya sebenarnya baik melarang Li Yun keluar dari ruangan, agar gadis itu bisa beristirahat.
Tan Bu yang mendengar percakapan mereka tertawa kecil. Ia membayangkan kalau dua gadis itu adalah isteri Suro. Sebuah keluarga yang komplit. Yang satu banyak bicara, yang lainnya pendiam dan pemalu.
Tiba-tiba lelaki itu berdiri, diawali dengan senyuman, ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Jelas saja kelakuan Tan Bu membuat Suro bertanya-tanya.
Bukankah dulu ia sudah mengatakan agar bersikap seperti biasa pada Tan Bu. Ia membatin.
"Apa yang kakak lakukan?" katanya bingung sambil menggaruk kepalanya.
"Hahaha...hahaha.." Tan Bu menjadi tertawa, lalu dengan posisi seperti itu, ia menundukkan tubuhnya dalam-dalam, "Salam hormat tuan Luo, nyonya Li Yun dan nyonya Rou Yi! Kali ini izinkan kakakmu ini meneruskan tugasnya melayani keluarga Yang yang baru!"
Suro terperanjat dan nyaris seekor ikan yang tertancap pada batang kayu yang ia pegang terlepas dari genggamannya.
Sementara, Yang Li Yun tersenyum salah tingkah dan Yin Rou Yi tertunduk malu tak berani menampakkan ekspresi wajahnya yang memerah.