"Sepertinya memang aku harus kembali ke asal," Suro membatin, "Aku akan melawannya dengan beladiri yang paling kukuasai!"
Ia mulai menenangkan diri sejenak, kemudian merapatkan kedua kakinya, lalu dengan gaya khas Pencak Silat, ia mengangkat kaki sekaligus mengayunkan tangannya ke depan dengan tangan mengembang seperti kelopak bunga yang mekar. Sebuah gerakan membuka dan sikap pasang dari Silat Cempaka Putih.
Nafasnya diatur setenang mungkin, lalu menatap tajam ke arah Ye Chuan.
Lelaki itu tersenyum senang melihatnya sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Hmm.... Aku baru melihat gerakan anehmu itu, jangan-jangan itu gaya modifikasi dari Tai Chi!" kata-katanya terlihat mengejek.
Selesai mengatakan itu, Ye Chuan langsung kembali menyerang dengan serius. Cakarnya bergerak kesana-kemari yang siap mencabik-cabik dan merobek apa yang bisa diraihnya.
Dengan teknik-tekniknya, serangan Ye Chuan beberapa kali berhasil dimentahkan oleh Suro. Pemuda itu sesekali mampu membalas serangan dari Ye Chuan dengan tongkat pendeknya, bahkan beberapa kali pula mampu mendarat telak ditubuh si Naga Api itu.
Tapi sayangnya, serangan yang dilakukan Suro sepertinya tidak menimbulkan reaksi apa-apa pada Ye Chuan. Tubuhnya seperti kebal!
Ia melompat sekali lagi, mengayunkan tongkatnya dari atas.
Wuuttt!!
Praak!!!
Ye Chuan berhasil melindungi kepalanya dengan tangan dari serangan tongkat Suro. Karena kuatnya serangan itu, serat dari tongkat rotan Suro pecah dan patah.
Tak berhenti disitu, Ye Chuan berhasil menendang tubuh Suro. Dengan sekali tendang, tubuh Suro terhuyung ke belakang!
Ia memandangi tongkat rotan miik Ki Ronggo, gurunya. Tongkat yang sudah menemaninya berkelana itu kini terkulai yang memancing emosinya, lalu menghempaskan tongkatnya ke tanah dengan keras.
Suro kembali menyerang Ye Chuan, kali ini hanya menggunakan tangan kosong. Pukulan dan tendangannya sangat cepat menyasar bagian-bagian tubuh lawannya yang terbuka. Ye Chuan pun tak mau tinggal diam begitu saja. Ia menangkis dan menyerang dengan serangan gencar dan bertenaga.
Seandainya Suro tak menempa fisiknya, setiap bagian kaki maupun tangannya yang beradu dengan anggota tubuh Ye Chuan pastilah akan menimbulkan rasa sakit, saking kuatnya tubuh Ye Chuan akibat latihannya yang keras selama bertahun-tahun.
Ye Chuan bergerak seperti seekor naga, tubuhnya gesit memutari tubuh Suro sambil melancarkan serangan-serangan yang dahsyat. Disisi lain, Suro nampak tak berkutik seperti sebatang pohon yang diam, lalu dilingkari ular yang mematuknya dari berbagai arah, pohon itu bergoyang lembut yang dahan dan rantingnya seperti menari-nari tertiup angin.
Beberapa kali tubuhnya menjadi sasaran empuk serangan Ye Chuan, baik pukulan, cakaran maupun tendangan.
Wajahnya yang sudah nampak memar, ditambah dengan goresan cakaran dan tendangan Ye Chuan sudah membuat tanda hampir disekujur tubuhnya. Warna merah darah pun sudah menghias pakaian yang ia kenakan.
Sejauh ini, nampak sekali kalau kekuatan tenaga luar dan dalam dari Ye Chuan Si Naga Api sangat tangguh membuat Suro semakin keteteran dan kehilangan banyak tenaga. Sambil bertarung, ia terus berfikir untuk menyusupkan teknik serangannya agar bisa merubuhkan Ye Chuan.
Rupanya, Ye Chuan sudah mempelajari jurus-jurus ampuh Suro, terutama pukulan Kupu-kupunya yang membuat tubuhnya terluka dalam pasca pertarungan di kuil Shao Lin. Bahkan beberapa kali ia sengaja masuk perangkap Suro, lalu kemudian berhasil ia antisipasi hingga jurus maut Suro mentah beberapa kali pula.
Suro nampak semakin putus asa!
Buk!!
Satu hentakan telapak tangan menghantam dada Suro. Untunglah ia sempat menyilangkan kedua tangannya. Namun tak ayal, keras dan kuatnya tendangan Ye Chuan melemparkannya cukup jauh dan terseret ditanah hingga beberapa tombak. Pakaian belakangnya sudah compang-camping terbuka akibat bergesekan dengan tanah.
Ye Chuan tertawa keras, melihat lawannya bangun dengan susah payah.
"Aku tak bisa mengalahkannya jika begini terus," batinnya. Nafasnya sudah tak beraturan, mukanya juga sudah memerah.
"Bagaimana anak kecil?" Ye Chuan berkata diantara derai tawanya, "Aku tak mungkin mengampuni dan membiarkanmu hidup. Aku tak akan menawarkanmu kata 'menyerah!', karena pilihannya cuma satu, mati dalam pertarungan!"
Suro menghentakkan nafasnya dengan keras untuk mengumpulkan kembali semangatnya. Lalu bernafas sealami mungkin.
"Ketika menghadapi musuh, tenangkan diri dan jangan ada beban.... Tak perduli menang atau kalah, tenanglah. Ketenangan akan mengalirkan tenaga untuk bisa merobohkan lawan!" tiba-tiba ia teringat Ki Ronggo memberi arahan sewaktu mereka berlatih tanding sesama santri.
Sambil berusaha menegakkan tubuhnya, ia terus mengingat-ingat kata-kata gurunya. Pakaiannya sudah basah dengan keringat.
Ini pertarungan hidup dan mati. Ye Chuan adalah orang jahat, membunuh orang jahat demi menciptakan kedamaian adalah termasuk jihad.
Semangatnya mulai timbul, nafasnya pun sudah mulai stabil, meski staminanya sudah menurun drastis, ia sudah siap bertarung kembali dengan kepasrahan.
Kakinya membuka, tangannya mengembang, tubuhnya merendah.
"Maju sini!" tantangnya.
Ye Chuan meludah, sorot matanya yang tajam menatap mata Suro, berusaha mempengaruhi mental pemuda itu.
Tapi kali ini, tatapan mata Suro sangat teduh. Wajahnya santai tanpa beban, gerakannya ringan dan pasrah ketika membuka kembangan silatnya.
"Jurus Cempaka Putih tingkat tujuh adalah kepasrahan. Pasrah dalam artian berserah diri dalam gerakan. Terserah pada Allah apa yang dikehendaki-NYA," ingatannya muncul seolah Ki Ronggo sedang menyaksikan pertarungannya itu.
"Ini adalah hari kematianmu, bersiaplah!" Ye Chuan mengancam Suro dengan suaranya yang keras dan berat.
Suro hanya berdiri menanti. Jika memang terjadi, maka saat ini, ia sudah mempersiapkan kematiannya sendiri.
Lelaki itu dengan cepat menerjang Suro, serangannya makin cepat dan bertubi-tubi. Berbanding terbalik dengan Ye Chuan, kali ini gerakan Suro makin lembut dan terkesan santai. Pukulan dan tendangan berhasil ia sarangkan, meskipun masih tidak berdampak pada Ye Chuan, tapi ia seolah tak perduli.
Baginya, biarlah nanti tenaga dari serangannya akan mengalir dengan sendirinya dan masuk ke dalam tubuh Ye Chuan.
Ye Chuan melayangkan pukulan, Suro menghindar, bersamaan dengan kakinya yang menghentak bumi hingga berbunyi seperti ledakan.
Dar!
Buk!
Bersamaan dengan suara hentakan, pukulan Telapak Kupu-kupu menempel di bawah ketiaknya. Tetapi hal yang tak diduga oleh Suro, tenaga Ye Chuan seakan membalik kembali dan memusnahkan aliran tenaga dalam dari telapak Kupu-kupu.
Seketika itu juga, ia berusaha agar kegagalan pukulan Telapak Kupu-kupu tidak membuat gerakan jurus Cempaka Putih tingkat ketujuh buyar.
Ye Chuan sempat tersenyum mengejek karena pukulan Suro tak berhasil menembak organ bagian dalamnya dan itu membuat Ye Chuan begitu senang, artinya latihan yang ia lakukan berhasil memusnahkan serangan pukulan yang membuatnya ia terluka pada waktu itu.
Suro terus meladeni serangan Ye Chuan, sesekali ia juga berhasil menyarangkan beberapa serangan.
Tiba-tiba, Ye Chuan diantara gerakan-gerakan dahsyatnya nampak sesekali mengernyitkan dahinya. Ia merasakan beberapa bagian tubuhnya terasa berdenyut, semakin lama semakin terasa sakit.
Ia berusaha acuhkan hal itu dengan tetap melakukan serangan-serangan mematikan. Keheranan mulai ia rasakan, pukulan maupun tendangannya semakin melemah dan justru serangan-serangan dari Suro yang mulai banyak menekannya.
Di awali dengan teriakan keras, tubuhnya melenting dan melakukan tendangan memutar yang ditanggapi oleh Suro dengan menjauhkan kepalanya dari serangan kaki Ye Chuan.
Kedua tangannya dengan cepat melakukan gerakan melingkar, menarik ke depan dada, lalu menyorongkan kedua telapak tangannya ke tubuh Ye Chuan persis saat kedua kaki si Naga Api itu mendarat menginjak bumi usai menendang.
"Telapak Bunga Mekar!" Suro memekik dalam hati.
Buk!!!
Buk!!!
Suara telapak tangan menghantam tubuh Ye Chuan terdengar menyusul tak lama kemudian suara tubuh Ye Chuan jatuh menghantam tanah begitu keras.
Usai melihat tubuh Ye Chuan, ia membalikkan posisi tubuhnya dengan berdiri tegak, mengatur nafasnya kembali yang nampak tak teratur.
Ye Chuan menatap marah ke arahnya, mulutnya terkatup erat, dan tersengar suara mendesis keras.
Ia berusaha bangkit, tetapi berkali-kali jatuh. Tangannya bergetar menunjuk ke arah Suro, mulutnya berusaha mengeluarkan kalimat, tetapi yang terdengar hanyalah desisan panjang.
Tiba-tiba, dari kedua matanya mengalir darah, disusul dari dua lubang hidungnya, tak lama kemudian dari mulutnya ia memuntahkan darah segar. Tak berhenti di situ, tubuhnya yang miring hanya bertumpu dengan sikut, dari telinganya pun menetes darah, yang makin lama makin deras mengucur seperti air seni.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkhhhhhh!!!!" Ye Chuan langsung jatuh terlentang sambil berteriak kesakitan. Kedua tangannya mengepal, kedua kakinya terbuka lebar dan akhirnya seluruh tubuhnya mengejang dan bergetar hebat. Ye Chuan sedang menghadapi sakaratul maut.
Suro tak menyangka kalau efek dari pukulan Telapak Bunga Mekar begitu dahsyat. Ia sampai merinding melihatnya terjadi pada Ye Chuan si Naga Api.
Beberapa saat kemudian, tubuh lelaki itu tak lagi bergerak, mulutnya dipenuhi dengan darah, begitu pula dengan lubang inderanya. Matanya menatap ke atas mendelik seperti hendak melompat dari tempatnya. Ia tewas secara mengenaskan.
Suro langsung terduduk di tanah lalu tersungkur mencium bumi, seolah melepaskan lelahnya yang amat sangat. Ia menarik nafas panjang dan mulutnya bergerak-gerak tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat syukur.
Ia tersenyum sambil memejamkan matanya sejenak di atas tanah.
***
Suara ribut membubarkan orang-orang yang sedang berobat di kediaman Tabib Hu.
Yun Se terlihat angkuh masuk ke dalam ruang praktek Tabib Hu yang kini berdiri tegak dihadapannya.
Tabib itu memandang dengan pandangan biasa sebagaimana layaknya pandangan orang bijak dilingkaran murid-muridnya.
Di belakang Yun Se, beberapa puluh prajurit kerajaan sebagian berada diruangan itu sambil menghunuskan pedangnya.
"Ada apa kalian datang kemari tanpa adab!" Tabib Hu berkata datar.
Yun Se tertawa menyeringai, sambil menatap tabib Hu dari ujung kaki sampai kepala. Matanya menyipit, lalu memandang ke segala arah isi ruangan.
"Dimana orang bertopeng yang kau sembunyikan?" tanyanya tanpa memperdulikan pertanyaan tabib Hu.
Merasa dirinya tidak dihargai, tabib Hu tak menjawab, malah memalingkan tubuhnya dan meletakkan kedua tangannya dibalik punggung. Kepalanya mendongak.
"Kurang ajar!" Yun Se memaki orang tua itu, lalu mencabut pedangnya dan mengacungkannya ke arah Tabib Hu. "Kamu berani melawan aparat, ya!"
Tabib Hu tak menjawab. Ia terus berdiam tanpa merubah posisi tubuhnya.
"Ah! Buang-buang waktu!" ia langsung mengayunkan kedua tangannya memberi isyarat pada prajurit yang ada dibelakangnya, "Habisi orang tua itu!"
Serentak, mereka langsung menyerbu tabib Hu sambil mengayunkan senjata tajam yang ada di tangan mereka.
Tabib Hu bergerak dan berkelit seperti ikan dengan teknik Tai Chi yang dimilikinya, dan menghantam roboh beberapa orang prajurit dengan sekali pukul. Namun, puluhan prajurit lainnya menyusul masuk menggantikan prajurit lainnya yang sudah terkapar.
Yun Se merasa tak sabar, lalu ia menebaskan pedang ditangannya ke arah Tabib Hu.
Tabib Hu rupanya tak menyangka, kalau Yun Se tiba-tiba ikut menyerang. Beberapa serangan berhasil ia elakkan, hingga satu sabetan mengiris kain sekaligus kulit dan dagingnya.
Lelaki paruh baya itu mengernyitkan dahinya, begitu tahu bahwa pedang yang dimiliki Yun Se telah dibubuhi racun. Apalagi ketika ia melihat luka irisan pedang pada kulitnya menghitam, dan menimbulkan rasa perih.
Ia balik menyerang Yun Se, namun niatnya itu terhalang oleh serangan-serangan prajurit yang dipimpinnya.
Dari tempatnya berdiri, Yun Se tersenyum dengan pandangan liciknya. Lalu ia melangkah masuk lebih dalam.
Namun, begitu ia akan masuk, tiba-tiba Tan Bu muncul dan langsung memukul mata kanannya dengan telak. Tubuh Yun Se langsung tersurut mundur sambil berteriak dan memaki dengan bahasa yang kasar. Ia memandang ke arah Tan Bu sambil mengejap-ngejapkan bagian matanya yang terpukul. Ia beruntung, pukulan Tan Bu tak memecahkan bola matanya.
"Bangsat!" ia memaki Tan Bu sambil menusukkan pedangnya.
Tan Bu langsung mencabut pedangnya dan menepis tusukan pedang Yun Se yang beracun. Suara berdenting terdengar ketika dua buah benda besi beradu.
Yun Se berusaha menjatuhkan lawannya dengan teknik pedangnya yang menusuk-nusuk seperti ular. Namun, tak segampang itu ia mampu untuk menjatuhkan Tan Bu. Perlawanan dari Tan Bu sungguh sengit diluar perkiraan dari Yun Se.
Sambil melakukan serangan, ia berteriak pada prajurit yang lain agar membantunya.
"Serang dia!" perintahnya.
Begitu mendengar seruan dari Yun Se, sebagian prajurit lainnya langsung mengepung Tan Bu dan menyerangnya dari berbagai arah. Tan Bu nampak kerepotan, dan menghilangkan perhatiannya dari Yun Se yang berhasil masuk ke ruangan lain.
Di dalam ruangan, Rou Yi nampak pucat begitu melihat seringai Yun Se yang baru masuk. Buru-buru, Yang Li Yun menarik tangan Rou Yi agar bersembunyi di belakang kursi rodanya.
Melihat di dalam ruangan itu terdapat dua orang gadis cantik, Mata Yun Se terbelalak, ia membasahi bibirnya dengan lidahnya yang menjulur menjijikkan.
"Oh, ada dua daging lezat disini," katanya dengan pandangan penuh nafsu.
Li Yun langsung meludah, lalu mengancam, "Berani mendekat, nyawamu hilang!"
Jelas saja Yun Se tertawa keras, bagaimana mungkin orang cacat bisa mengalahkannya. Ia langsung menaikkan sudut bibirnya, menampilkan tampang menjijikkan pada dua gadis itu.
"Untuk melawanmu, aku tak perlu memakai pedang!" kata-kata Yun Se terdengar menjijikkan.
Ia lalu melangkah semakin dekat dan menjulurkan kepalanya ke arah Li Yun. Diluar dugaannya, tangan Li Yun melayang menampar pipi Yun Se.
Plak!
Telak, tamparan Li Yun memancing kemarahan Yun Se. Ia lalu membalas dengan melakukan sebuah tamparan, tetapi Li Yun menepisnya dan memutarnya kembali ke dada Yun Se.
Buk!
Yun Se tersurut mundur terkena pukulan telapak tangan Li Yun. Wajahnya semakin merah menahan marah. Bagaimana bisa ia dikerjai oleh seorang gadis cacat di kursi roda?
Sekali lompat, ia sudah berada di depan Li Yun sambil melayangkan pukulan cukup keras. Kali ini posisinya di kursi roda membuatnya tak leluasa, tepisannya tak berhasil menghalangi laju pukulan Li Yun hingga mengenai wajahnya.
Rou Yi menjerit keras, sementara Li Yun langsung meludah. Ludahnya bercampur darah.
Tiba-tiba, beberapa orang prajurit masuk. Melihat itu, Yun Se langsung menarik tangan Rou Yi yang berlindung di belakang kursi roda Li Yun.
Li Yun langsung menarik tangan Rou Yi yang lain. Namun, ia tak mampu karena begitu kuatnya Yun Se menarik Rou Yi hingga tubuhnya juga ikut tertarik dan tersungkur dari kursi rodanya.
"Li Yuuun!" Rou Yi berteriak sambil menangis melihat gadis itu tersungkur. Pegangannya pada tangan Rou Yi terlepas.
"Rou Yi!!" Li Yun berusaha meraih apapun dari bagian tubuhnya, Begitu ia berhasil meraih gaun Rou Yi, seorang prajurit menusukkan pedangnya ke punggung Li Yun.
Crash!!
Li Yun hanya sempat sedikit berkelit, tetapi pedang salah seorang prajurit itu sudah keburu menusuk punggungnya.
Secara refleks, dengan rasa kesakitan, ia meninju menggunakan punggung tangan kanannya sambil berbalik.
Prajurit itu langsung terpental dan jatuh ke tanah.
"Hai!" Yun Se berteriak keras, "Jangan lukai gadis itu. Aku menginginkannya!"
Para prajurit langsung tak bergerak, dan membiarkan Li Yun begitu saja. Teriakan Yun Se terlambat saat itu.
"Li Yuuun!! Li Yuun!" Rou Yi menangis sejadi-jadinya melihat Li Yun terluka.
"Ro-Rou Yi!" Li Yun pun menangis. Ia melihat gelagat buruk dari Yun Se yang nampak tersenyum menyeringai.
Yun Se tersenyum melihat drama dari kedua gadis itu menangis.
Ia lalu mendorong tubuh Rou Yi di atas pembaringan, menekannya dengan satu tangan pada bahu Rou Yi, lalu tangan lainnya merobek paksa pakaian Rou Yi.
Tiba-tiba, Tan Bu masuk dalam kondisi luka parah. Tubuhnya diinjak oleh salah seorang prajurit, membuatnya cuma bisa menatap korban dari keganasan Yun Se sambil menangis.
Tak lama, Tabib Hu menyusul masuk menerobos kerumunan prajurit. Lalu berhasil memegang bahu Yun Se. Yun Se menoleh pada orang tua itu dengan tatapan mata sinis. Ia merasakan pegangan Tabib Hu tak bertenaga. Racun Tujuh Ular sudah mulai bereaksi. Dengan sekali sentak, tubuh lelaki itu langsung terpental. Beberapa orang prajurit sudah bersiap dan langsung mencekal kedua tangan dan kakinya hingga ia tidak bisa bergerak.
"Ayaaaah!" Rou Yi menangis histeris melihat kondisi Tabib Hu yang merupakan ayahnya itu dalam keadaan lemas dan tak berdaya.
Orang tua itu menangis melihat Rou Yi, tak sanggup melihat keadaan puterinya diperlakukan seperti itu.
"Rou Yi..." tabib Hu berteriak lemah.
"Rou Yi..." Suara Li Yun terdengar serak.
Li Yun menangis, ia berusaha menyeret tubuhnya menggapai kaki Yun Se. Sementara lantai dimana tubuhnya tergeletak sudah basah oleh darah yang mengalir dari pinggangnya.
Yun Se tertawa keras, memandang tubuh Rou Yi yang tak berdaya dengan penuh nafsu. Apalagi ketika ia berhasil merobek gaun gadis itu dibagian bawahnya, sehingga sesuatu yang merupakan harta berharga milik Rou Yi terlihat jelas di mata Yun Se.
"Tidaaak!! Bangsat kau!!"Anjing!!!" Li Yun berteriak memaki Yun Se hingga suarannya nyaris hilang.
Tetapi lelaki itu seperti tuli, nafsunya membutakan keadaan di sekelilingnya sehingga makian yang dilontarkan oleh Li Yun pun dianggapnya seperti angin saja.