"Hiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaattttt!!!"
Satu suara teriakan panjang dan keras datang dari arah luar pintu ruang pengobatan. Para pajurit yang berjaga sama menoleh ke arah datangnya suara teriakan tersebut.
Tetapi naas, bersamaan dengan tolehan kepala mereka, berrsamaan itu pula kepala mereka tertoleh kembali secara berlawanan, dibarengi dengan suara seperti tulang yang patah.
Krek! Krek! Krrek!.....krek!
Lalu disusul tubuh-tubuh para prajurit yang bergelimpangan dengan kepala terputar dalam kondisi patah.
Yun Se yang belum sadar atas apa yang terjadi pada beberapa prajurit yang ia pimpin merasakan sebuah tarikan cukup kuat pada rambutnya, membuat kepalanya tertarik. Otomatis, tubuhnya yang hampir menekan tubuh Rou Yi langsung ikut terbanting jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara cukup keras!
Buk!!!
Yun Se merasa nafasnya terhenti ketika punggungnya terbanting. Kemudian, begitu ia membuka matanya lebar-lebar, sesosok pemuda tengah berdiri menyeringai menatapnya dengan tatapan mata sangat marah.
"Kakak..." Suara Li Yun dan Rou Yi terdengar bersamaan begitu mengetahui yang datang adalah Suro.
Tabib Hu yang melihat Suro datang langsung menyunggingkan senyuman, begitu pula dengan Tan Bu.
Yun Se langsung menyeret buru-buru tubuhnya untuk mundur menjauh, tetapi Suro langsung menginjak kaki kanan Yun Se hingga terdengar suara tulang patah.
Krek!!!
Lenguhan panjang kesakitan keluar dari mulut menjijikkan Yun Se sambil menarik kakinya yang patah dan berusaha untuk menggapainya.
"Kamu tidak layak disebut manusia!" Suro memaki Yun Se dengan penuh emosi.
Yun Se merasa sangat ketakutan melihat pandangan mata Suro yang begitu tajam menatapnya. Ia seperti sedang melihat sesosok malaikat pencabut nyawa. Mulutnya bergetar mengucapkan kata ampun, tetapi tak dapat ia keluarkan. Air matanya langsung keluar.
"Kamu menangis? Hah!" Suro membentak lagi.
Setelah itu tangannya menarik tangan Yun Se, lalu kemudian mematahkannya. Sekali lagi, derak tulang patah terdengar dari mulutnya bersamaan lolongan panjang kesakitan yang tidak bisa dibayangkan.
Tidak berhenti sampai di situ, Suro langsung menendang selangkangan Yun Se dengan tendangan yang cukup keras membuat tubuh manusia itu terpental dan langsung pingsan seketika.
Suro memang sengaja tidak membunuhnya hanya menyiksa lelaki cabul yang nyaris merusak kehormatan Rou Yi, membiarkannya untuk tetap hidup dalam penderitaan.
Para prajurit yang tersisa terdiam terpaku menyaksikan pemandangan itu, mulut mereka seperti kaku tak bisa bersuara. Apalagi ketika Suro menatap berkeliling dengan tatapan marah yang seolah tidak bisa dikendalikan.
Mendadak, ingatannya muncul ketika untuk pertama kalinya ia membantai lima orang perampok yang telah membunuh keluarga pak Dawung. Pada saat itu ia mengatakan dengan amarah yang meluap-luap bahwa yang ia lakukan adalah pembunuhan yang pertama.
Kali ini, amarah itu muncul lagi ketika orang yang bernama Yun Se melakukan kejadian serupa pada keluarga Tabib Hu, termasuk Li Yun dan Tan Bu.
Telunjuknya diacungkan kesekeliling ruangan dimana para prajurit itu berada.
"Kalian mau bernasib seperti dia?"
Mereka serempak menggelengkan kepalanya, kemudian mereka menjatuhkan senjatanya masing-masing. Lalu dengan gerakan perlahan, mereka melangkah menuju ke luar ruangan dan melarikan diri.
Tetapi Suro menahan salah satu dari mereka, mukanya pucat ketakutan begitu melihat tampang Suro yang menatapnya dengan penuh amarah.
"Sekalian bawa anjing ini! Aku tak mau dia mati di sini!" Suro berkata dan memberi isyarat dengan wajahnya ke arah tubuh Yun Se yang pingsan.
Setelah mereka semua pergi, Suro langsung mendatangi Li Yun dan mengangkatnya dipembaringan. Lalu dengan cepat ia memeriksa luka Li Yun, kemudian memberinya serbuk penghenti pendarahan yang didapatnya dilaci obat.
"Kakak, tolong tabib Hu dulu!" Li Yun berucap setelah ia berada diatas pembaringan.
Tan Bu yang sudah mulai bisa bergerak bebas mendekati Suro, "Biar aku yang menutup lukanya."
Suro mengangguk. Ia sangat bersyukur kalau Tan Bu dalam keadaan baik-baik saja dan bisa membantunya mengurus Li Yun yang terluka.
Sebelum mendatangi tabib Hu yang masih tergeletak, ia menuju ke arah Rou Yi yang nampak gemetaran dan trauma. Lagi pula, gadis itu tak mungkin turun dari pembaringan dengan pakaiannya yang sudah robek disana-sini.
Suro dapat melihat jelas bentuk tubuh Rou Yi yang terbuka, sehingga ia berhenti sesaat, menatap gadis itu yang tak berani beradu pandang. Ia melihat tangan Rou Yi sibuk berusaha menutup bagian tubuhnya yang terbuka dengan sisa-sisa sobekan kain.
Li Yun yang memperhatikan Suro langsung berkata, "Kakak, di sudut itu ada tumpukan pakaian milikku. Tolong berikan pada Rou Yi!"
Suro ingat, kalau pakaian Li Yun ada dalam ruangan itu, pada sebuah lemari yang terletak terletak disudut kamar. Lalu buru-buru ia mengambilnya dan langsung menyerahkan pada Rou Yi dengan pandangan diarahkannya ke tubuh Tabib Hu.
Pemuda itu langsung membalikkan tubuh tabib Hu yang masih tergeletak ditanah. Begitu ia akan mengangkatnya ke pembaringan, ia merasakan tangan lelaki tua itu menahannya, sambil menggelengkan kepala. Ia tak ingin dipindahkan.
"Luo..." katanya lemah, "Waktuku sudah tidak banyak lagi.... racun ini sudah menyebar keseluruh tubuhku..."
Rou Yi yang sudah mengenakan pakaian Li Yun langsung menubruk ayahnya yang berada dalam pelukan Suro.
"Ayaaaah..." Rou Yi menangis, lalu memegang tangan ayahnya yang nampak kepayahan. "Bertahanlah ayaah..."
Tabib Hu memandang Rou Yi, anak gadis satu-satunya itu sambil tersenyum. Matanya juga basah oleh air mata.
"Oh, anakku sayang... Jangan bersedih...Setiap orang pasti akan menghadapi seperti yang ayah alami," katanya sambil menghapus air mata Rou Yi.
Suaranya timbul tenggelam dalam kepayahan, tetapi kata-katanya masih bisa didengar oleh orang-orang yang ada diruangan itu. Tak ada yang tidak menangis melihat keadaan tabib Hu.
"Tidak ayah.... jangan sekarang... Aku masih butuh ayah..." Rou Yi berkata terisak, "Jika kau pergi, bagaimana aku nanti..."
Tabib Hu menjawabnya dengan tersenyum, lalu ia menatap ke arah Suro, dilihatnya pemuda itu juga menangis.
Dengan tangan lainnya, ia meraih tangan Suro dan menggenggamnya begitu erat. Bibirnya yang masih menyungging senyum, bergetar seperti sedang menahan rasa sakit disekujur tubuhnya. Racun Tujuh Ular termasuk racun yang sangat ganas, berkarakter panas, dan Suro pernah merasakannya.
"Waktuku sudah tidak lama lagi, sebelum terlambat, aku ingin mengikuti apa yang kau dan anakku yakini... bisakah?" ia mengatakannya pada Suro.
Bibir Suro langsung bertakbir, dalam tangisannya, mata pemuda itu berbinar mendengar kata-kata tabib Hu, lalu dengan cepat ia pun mengangguk, dan langsung membimbing Tabib Hu dengan kalimat perlahan.
Selesainya, lelaki itu kembali menatap Suro dengan tatapan memohon. Ia nampak ingin mengutarakan sesuatu.
"Luo, ....aku punya satu permintaan, ... bisakah kau mengabulkannya untukku?" akhirnya tabib Hu berkata, wajahnya terlihat semakin parah menahan sakit dengan cahaya matanya yang juga kian meredup.
Suro tak ingin berfikir lagi, oleh karena itu ia langsung mengangguk sambil tersenyum. Yang ia rasakan, saat ini ia harus membuat orang tua dihadapannya itu bisa meninggal dengan tenang.
"Insyaallah, Luo akan berusaha," jawabnya.
Jawaban Suro membuat tabib Hu tersenyum, lalu ia memandang Rou Yi sejenak yang masih menangis, lalu kembali menatap Suro dengan tatapan sayu.
"Aku tahu, bahwa....Kau mencintai Yang Li Yun, dan kelak kau....kau juga a-akan menikahinya...." ia berkata dengan suara agak dipaksakan. "Aku hanya ingin.... kau...mau mengurus...mengurus Rou Yi, Bawalah puteriku...kemanapun kau pergi....Aku ... tak memintamu..untuk menikahi...puteriku, tapi aku...aku hanya memintamu untuk...melindunginya.... puteriku sangat... mencintaimu. Tolong, rawat dia, ... dan jangan... sakiti dia.... Bersediakah?"
Rou Yi menggeleng-gelengkan kepalanya, air matanya mengalir semakin deras, "Tidak ayah... aku hanya ingin tinggal bersamamu! Jangan tinggalkan aku ayah!"
Tatapan mata tabib Hu belum beralih ke arah lain, seolah ia masih menunggu sebuah jawaban yang keluar dari bibir Suro. Ia merasa akan mati penasaran jika tidak ada yang menjamin kehidupan Rou Yi, puteri tercintanya.
Sejenak, pemuda itu nampak kebingunan untuk menjawab. Tetapi waktu lelaki itu didunia bisa saja berakhir sebelum ia menjawab permintaan tabib Hu. Maka, dengan perlahan Suro menganggukkan kepalanya.
"Jangan khawatir, tabib. Kau sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Aku akan menjaga Rou Yi dengan baik," jawabnya sambil menahan sebak didadanya.
Mendengar itu, tabib Hu menarik nafas berat. Ia merasa bebannya sudah hilang, dan tak perlu lagi memikirkan nasib puterinya setelah ia mati.
Lalu lelaki itu memandang Rou Yi dengan senyumannya yang tersisa. "Puteriku... aku menyayangimu...."
"Kakak, tolong ayah, kakak!" Rou Yi mengguncang tubuh Suro beberapa kali. Tapi Suro hanya menangis.
"Puteriku... aku bahagia sekarang.... biarkan aku mati dengan tenang..."
Tangisan Rou Yi semakin keras, ia mencium tangan ayahnya dan menggenggamnya dengan erat berharap ia bisa menahan nyawa ayahnya dari kematian.
Tak lama, tabib Hu terbatuk dan menumpahkan darah segar dari mulutnya, disusul kemudian Suro merasakan genggaman tangan tabib Hu mengendur, Rou Yi yang juga merasakan langsung mengguncang tubuh ayahnya yang sudah wafat berkali-kali. Lalu tangisannya makin kencang.
Suro mengusap wajah tabib Hu, hingga matanya menutup. Perasaannya campur aduk, antara sedih dan bahagia karena diakhir hayatnya, ia berhasil menuntun Tabib Hu menuju kematiannya yang indah.
"Ayaaaah! Ayaah!...Tidak ayaah.... Jangan tinggalkan aku!" Rou Yi berteriak-teriak seperti orang gila. Sebenarnya ia tahu ayahnya sudah mati, tetapi rasa sedih akibat kehilangan membuatnya mencoba berbuat sesuatu meskipun dengan menangis.
Kematian tabib Hu membuatnya merasa sangat kehilangan. Maklum, selama beberapa tahun, setelah kematian ibunya, hanya ayahnya sajalah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga ia tumbuh dewasa. Dan kini, ayahnya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.
"Sudahlah,....sudah..." Suro berusaha menenangkan keadaan Rou Yi. Lalu buru-buru ia meraih tubuh gadis itu dan memeluknya dengan erat.
"Kakak.... aku mau ayahku... kakak...." Rou Yi berkata diantara deru tangisannya. Air matanya kini membasahi pakaian Suro.
Suro membelai lembut kepala gadis itu, "Yang telah mati tak mungkin kembali. Ikhlaskanlah, semoga Allah SWT melimpahkan rahmatNya untuk ayahmu..."
Setelah membenarkan tubuh tabib Hu, Suro berdiri kemudian melangkah mendekati Yang Li Yun yang juga menangis, tetapi bibirnya tetap menyungging senyuman pada Suro.
"Kakak..." sambutnya dengan suara lemah.
Suro duduk kembali memeriksa keadaan adik angkatnya itu. Lalu bernafas lega.
Luka tusukan yang diderita Yang Li Yun tidak mengenai organ vitalnya. Tetapi ia juga tak boleh mengabaikannya karena bisa terjadi peradangan jika tidak tepat diobati dan bisa menjalar ke organ terdekatnya.
Li Yun meraih tangan Suro, lalu menciumnya dengan lembut dan menempelkannya dipipinya yang basah oleh air mata.
"Maafkan kakak, ya..." Suro berucap, sisa tangisannya masih nampak.
"Buat apa?" Li Yun bertanya dengan matanya yang tergenang dengan air mata.
Suro menghela nafas. Ia yakin Li Yun juga sudah mendengar permintaan tabib Hu diakhir hayatnya, dan gadis itu juga mendengar bahwa ia juga sudah berjanji untuk menepatinya. Tapi, melihat raut wajah Li Yun, tak menampakkan sesuatu tanggapan yang lain selain senyuman.
Melihat Suro terdiam tak menjawab pertanyaanya, gadis itu langsung menyahut, "Aku senang kakak kembali. Itu artinya, kakak berhasil memenangkan pertarungan. Sisanya aku tak perduli..."
Suro hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Yang Li Yun.
***
Setelah menguburkan jasad Tabib Hu, berjejer dengan kuburan keluarga angkatnya, Yang Meng dan Zhou Lin, mereka berkumpul di ruang pengobatan.
Yin Rou Yi terlihat masih belum bisa menerima kenyataan, kalau ayahnya sudah meninggal. Meskipun ia duduk dikursi di samping pembaringan Yang Li Yun, tatapannya masih kosong, tak ada suara yang keluar dari bibirnya yang agak pucat melainkan sisa-sisa suara isak tangisnya.
Suro dan Tan Bu duduk saling berhadapan.
"Apa langkah kita selanjutnya, adik Luo?" suara Tan Bu memecah suasana duka.
Suro menarik nafas dan menghembuskannya cukup panjang. Ia menoleh sebentar ke arah Li Yun dan Rou Yi, lalu kembali memandang Tan Bu.
"Yang jelas, secepatnya kita harus meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tapi...." Pemuda itu diam sejenak.
"Aku tahu, adik sedang memikirkan kondisi nona muda Yang," Tan Bu menyahut dan meneruskan apa yang ada dalam fikiran Suro.
Pemuda itu mengangguk, "Kondisinya saat ini dengan luka yang baru, tak memungkinkan untuk membawanya. Kita memerlukan sebuah kereta kuda seperti yang dimiliki ayah."
"Kau benar, untuk membuatnya pun tak mungkin selesai dalam sehari."
"Aku akan membelinya di kota. Tetapi, tak mungkin kita meninggalkannya di sini sementara kita mencari. Mau tidak mau sekalian mereka langsung kita bawa ke suatu tempat yang aman."
"Baiklah kalau begitu, aku akan mempersiapkan semuanya!" sahut Tan Bu.
Selesainya, mereka berdiri. Suro membiarkan Rou Yi untuk menenangkan diri, sementara ia harus menyiapkan segala perbekalan yang mereka butuhkan.