Perjalanan Suro menunggang kuda sudah memasuki hari kedua.
Siang itu matahari bersinar sungguh terik, perjalanan menuju kuil Shao Lin dirasakannya sebagai sebuah perjalanan yang tak berujung. Ia harus melewati lembah yang tandus dan gersang.
Diantara dinding-dinding sebuah lembah, Suro mencari sebuah batu besar sebagai tempat berlindung dari sengatan matahari. Setelah mendapatkan sebuah tempat yang teduh dan menambatkan kudanya, ia lalu berdiri melaksanakan Shalat Dzuhur dan asar.
"Biarkan aku membereskan perbekalanku sendiri, tak perlu merepotkanmu," Suro berkata.
Semula, ia hendak menyiapkan segala perbekalan yang akan ia bawa, termasuk pakaian dan keperluan lainnya. Tetapi Rou Yi bersikeras agar dirinya saja yang menyiapkan, sehingga Suro terpaksa mengalah dan hanya bisa memandang Rou Yi yang nampak sibuk.
"Kau akan pergi jauh. Entah bisa bertemu lagi atau tidak, kelak kita akan terpisah sejauh ratusan mill. Maka izinkanlah untuk yang terakhir kali aku melayanimu," katanya sambil tersenyum.
Akhirnya Suro pun membiarkan gadis itu melakukan apa yang seharusnya dirinya lakukan.
Rou Yi memasukkan satu persatu perbekalan yang dibutuhkan Suro dalam sebuah bungkusan kain yang cukup besar. Beberapa pakaian yang biasa dikenakannya pun sudah terlipat rapi dalam bungkusan tersendiri yang langsung disejajarkan dengan bungkusan perbekalan makanan dan minuman.
Mata Rou Yi nampak mulai berkaca-kaca hingga tetes demi tetes air matanya pun jatuh mengalir membasahi pipinya.
"Kakak, aku berdo'a untukmu agar hidupmu aman dan damai..... Biarlah kau melupakan aku asalkan kau bisa selamat dan berbahagia," Rou Yi mengatakannya dengan terbata-bata, air matanya semakin deras.
Tangan Suro bergerak perlahan penuh keraguan menyapu air mata yang membasahi pipi Rou Yi, persis seperti yang pernah ia lakukan pada Li Yun.
"Bodoh!" katanya dengan kalimat membentak tapi dengan suara lirih, bibirnya menyungging senyum, "Bicara apa kau!"
Rou Yi cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Suro, tapi hatinya terasa berbunga-bunga. Digenggamnya tangan Suro yang menyapu air matanya dengan senyum sedih bercampur bahagia.
"Kakak Luo," ia juga berkata lirih disela isak tangisannya.
"Mengapa baru sekarang, kakak! Kau meninggalkan kenangan indah disaat akhir pertemuan kita" Batinnya, "Aku akan menunggumu, tak perduli kau membalas cintaku atau tidak!"
"Aku tak akan pernah melupakanmu, insyaallah jika Allah mengijinkan, aku pasti akan kembali!" Suro berkata dengan keyakinan sepenuh hati.
Rou Yi mengangguk dan tersenyum bahagia.
Tabib Hu cuma diam memandangi Rou Yi dari tempat duduknya. Ia tahu kalau puterinya itu sudah jatuh cinta kepada Suro. Ia sudah berusaha membujuk Suro demi puterinya agar tak meneruskan niatnya untuk pergi dari Lembah Gezi. Tetapi Suro tetap pada pendiriannya.
Mau tidak mau, ia harus melihat kesedihan sang buah hatinya melepas kepergian Suro.
"Kakak, jika kau merasa lelah, segeralah beristirahat dan jangan memaksakan diri. Perhatikan kesehatanmu."
"Iya, adik Yi tak perlu khawatir, aku tidak akan memaksakan diri," jawabnya.
Kata-kata dari Suro membuat gadis itu sedikit membuatnya merasa tenang, ia semakin erat menempelkan tangan Suro dipipinya.
"Jika dalam kehidupan ini, aku tidak bisa menjadi bagian dari orang yang paling dekat, aku berharap itu bisa terwujud dikehidupanku mendatang."
Mendengar itu, Suro tersenyum. Meskipun ia tak percaya reinkarnasi, ia tak mau panjang lebar mengiyakannya.
"Jika kau berubah fikiran, segeralah kembali kemari. Rumah ini selalu terbuka untukmu!" Tabib Hu berkata seolah-olah berpesan pada anaknya.
Setelah menghabiskan makan siangnya yang sempat ia beli di kota, Suro memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menunggu sinar matahari sedikit lebih teduh.
Tiba-tiba, dari kejauhan ia mendengar suara derap kaki kuda yang semakin lama terdengar semakin dekat. Ia melihat dari asal suara, debu-debu beterbangan akibat kaki kuda yang menjejak tanah.
Tak lama, Suro melihat delapan orang penunggang kuda berpakaian merah-merah mulai mengurangi laju kudanya mendekati Suro yang tengah duduk beristirahat. Dari pakaian yang dikenakannya, mereka adalah orang-orang yang menguasai beladiri, ditambah lagi sebilah pedang tergantung pada pelana kudanya masing-masing. Mereka mengepung Suro dengan masih duduk diatas kudanya.
"Ditempat sepi seperti ini, ternyata ada juga orang yang berani melintas!" berkata salah seorang dari mereka.
Rata-rata para penunggang kuda itu berusia sekitar 30-40 tahun. Wajah-wajah mereka terlihat sangar dan kusam karena debu.
"Kamu mau kemana?" tanyanya kemudian.
"Aku mau ke kuil Shao Lin," Suro menjawab jujur.
Mereka semua saling pandang, lalu tertawa nyaring dengan tatapan kejam.
"Tidakkah kamu tahu, melintasi daerah ini sama saja mengantar nyawa, kecuali kau membawa apa yang kami mau!" katanya dengan mulut menyeringai menakuti Suro.
Pemuda itu tak menampakkan rasa takut, wajahnya masih terlihat datar dan santai memandangi mereka satu-persatu.
"Maaf, tuan-tuan ini siapa?" ia bertanya, berusaha sopan.
Lelaki yang berada di tengah mendahului turun dari atas kudanya, dan kemudian yang lainnya menyusul.
"Oh, pantas saja kau berani, rupanya tak tahu siapa kami?" katanya, "Kami adalah Kelompok Srigala Merah disini. Dan aku adalah pemimpinnya, Li So Tei!"
Suro perlahan berdiri dan membersihkan pakaiannya dari debu yang menempel. Ia mengikatkan kain hitam alas shalatnya di kepala.
Melihat gaya Suro yang santai tanpa rasa takut membuat orang yang bernama Li So Tei itu merasa diremehkan. Selama petualangannya, tak ada yang berani bertingkah laku seperti yang Suro lakukan.
"Shen Yue, Lao Su!" ia berseru menoleh pada dua orang yang disebut namanya dengan keras,"Langsung saja habisi orang asing ini!"
"Baik!" mereka menyahut bersamaan, lalu masing-masing mengeluarkan pedang dan mengayunkannya pada Suro.
Suro yang sudah menyadari bakal mengalami serangan menanggapinya dengan santai. Ia sudah bisa mengukur kekuatan dua orang dari kelompok Srigala Merah.
Tak mau membuang tenaga dan bermain-main, ia lakukan serangan pukulan kiri dan kanan tepat di rusuk kiri dan kanan Shen Yue dan Lao Su. Saking kuatnya, serangan itu membuat keduanya tersungkur dengan tubuh melengkung seperti udang sambil memegangi rusuk dibawah lengan kiri dan kanan mereka. Mereka tak mampu memegang pedangnya.
"Kurang ajar!" Li So Tei membentak marah. Ia mengayunkan kedua tangannya sebagai perintah untuk menyerang, "Maju semuanya!"
Kini lima orang Srigala Merah langsung melompat menyerbu dengan pedang terhunus, mengayun kesana-kemari. Sekali lagi, Suro menghindar dan menyerang satu persatu dengan sangat cepat. Sekali menghindar, satu serangan masuk dengan telak, baik pukulan maupun tendangan. Hingga tak butuh waktu lama, kelima orang penyerangnya jatuh tersungkur dengan jerit keluhan kesakitan.
Melihat pemandangan itu, Li So Tei makin emosi. Akhirnya tanpa berkata lagi, ia melakukan serangan tangan kosong.
Gerakan yang sangat cepat ke arah ulu hati cukup membuat Suro kaget. Ia tak menyangka jika lawannya itu tahu-tahu sudah melayangkan tinjunya yang sangat keras. Tubuhnya seperti meluncur diatas air, lalu Ia langsung mengalihkan kaki dan tubuhnya ke samping, hingga tinju Li So Tei lewat dihadapannya. Jika terlambat menghindar, sudah pasti ia bisa langsung pingsan.
"Gerakan apa itu!" ia membatin. "Cepat sekali!"
Li So Tei tampak menyeringai kembali. Lalu mengayunkan tangannya yang lain dari bawah ke atas dengan gerakan seperti menyungkit. Suro membuat tangkisan dengan menyilangkan kedua tangannya untuk memblokir serangan dari Li So Tei, tetapi tiba-tiba ia mendapati tangan lainnya meninju ke arah wajah.
Sedikit ia miringkan wajah, dan kepalan tangan Li So Tei lewat didepan hidungnya. Tubuh Suro membungkuk sedikit, menggeser kakinya setengah lingkaran dan melakukan hantaman dengan bahunya.
Gagal!
Li So Tei malah menjejakkan kakinya dibadan Suro hingga ia terhuyung mundur.
"Kung funya lebih tinggi dari perwira Chou!" katanya dalam hati.
Dari posisinya berdiri, ia kemudian memasang kuda-kuda kembali. Dalam hati ia harus segera menyelesaikan pertarungan.
Baru saja ia membatin, Li So Tei sudah meluncur dengan sikutnya menyasar ke arah ulu hati. Lagi-lagi ia menghindar ke samping, dan serangan lutut Li So Tei sudah menghantam punggungnya hingga ia merasakan nafasnya seperti berhenti seketika.
Serangan Li So Tei itu tanpa jeda, seperti teknik tidak memberikan waktu bagi lawan untuk bernafas. Sekali gerak, beberapa serangan harus masuk secara beruntun seperti tetesan air hujan yang jatuh dari langit.
Dalam pertarungan ini, Suro mulai menganalisa serangan-serangan dari Li So Tei. Hanya saja waktu untuk berfikir ada pada saat ia diserang, dan itu cukup membuat konsentrasinya berantakan. Ia membutuhkan jeda dengan beberapa kali lompatan menjauh.
Tampak sekali pemuda itu pontang-panting dalam melakukan serangan dan bertahan. Li So Tei sangat menguasai pertarungan jarak dekat, tubuhnya tak dibiarkan menjauh dari jarak serang. Ia membayangkan jika lawannya itu menggunakan pedang, pasti tubuhnya sudah berlumuran darah dan terpotong-potong.
Lama-lama, emosinya meluap, serangan-serangannya jadi sangat kacau. Beberapa kali pukulan dan tendangannya mengenai tempat kosong, bahkan beberapa kali pula tubuhnya menjadi sasaran empuk dari Li So Tei.
Melihat kondisi Suro demikian kacau, Li So Tei menyerang dengan bertambah gencar sambil sesekali tertawa mengejek membuatnya kehilangan konsentrasi.
Pertarungan itu cukup menguras tenaganya. Nafasnya juga sudah terengah-engah, satu pun serangannya tak ada yang mengenai sasaran. Jika begini terus, ia bisa kalah!
Dalam keadaan lemas, satu pukulan dari Li So Tei berhasil ia tepis, lalu dengan gerak refleks memutar tangannya membentuk lingkaran, ia merasakan serangan pukulan Li So Tei masuk dalam penguasaannya hingga lawannya itu seperti memukul kapas, lalu...
Buk!!!!
Suro berhasil menghantam badan Li So Tei dengan memanfaatkan tenaga dari Li So Tei sendiri, hingga membuat tubuhnya terlempar beberapa tombak jatuh ke tanah!.
"Oh, ya," tiba-tiba ia teringat sesuatu justru disaat tenaganya hampir habis, "Tai Chi!"
Melihat tubuh lawannya berhasil ia jatuhkan, semangatnya mulai muncul kembali, bibirnya menyungging senyum diiringi dengan gerakan tangan yang lembut berputar sebagai sikap pasang dari Tai Chi!
Li So Tei segera bangun dari jatuhnya, lalu memandang dengan tatapan tajam penuh emosi.
"Huh!" ia mendengus keras, "Kau menguasai kungfu Tai Chi rupanya!"
Suro membalasnya dengan senyum, kesempatan itu ia pergunakan untuk mengatur nafas sambil menunggu serangan.
Lelaki itu maju tanpa basa-basi lagi dengan serangan yang sangat cepat. Suro baru menyadari justru pada saat kondisinya sudah kehabisan tenaga. Tak perlu menghadapi lawan yang keras dengan keras, tetapi keras dengan lembut. Memanfaatkan tenaga dari serangan lawan untuk menjatuhkan.
Kali ini keadaan mulai berbalik, Suro sudah mampu mengendalikan pertarungan walaupun dengan sisa-sisa tenaganya.
Ketika sebuah pukulan meluncur cepat, Suro merunduk dan menarik kaki lawannya yang memiliki tenaga paling lemah.
Buk!!
Tubuh Li So Tei terbanting kembali ke tanah, mengakibatkan debu-debu berhamburan. Belum selesai, ia jatuhkan tubuhnya beserta sikutnya ke tubuh Li So Tei. Tapi sayang, sikutnya menghantam tempat kosong karena Li So Tei berhasil berguling menghindar.
Suro kembali mengejar lawannya yang baru berdiri dengan menjatuhkan tangannya di tanah, kedua kakinya membuka di udara lalu menggunting tubuh Li So Tei, dengan sekuat tenaga ia putar tubuhnya. Sekali lagi tubuh Li So Tei terbanting. Tanpa membuang kesempatan, Suro menyerang dari atas ke bawah dengan sebuah sikutan.
Buk!!
Sikutan telak mengenai dada lawan, tetapi karena kehabisan tenaga serangan itu tak begitu kuat, justru Li So Tei mampu melakukan serangan balasan yang membuat Suro harus melepaskan jepitan kakinya.
Merasa bebas, Li So Tei langsung berlari ke arah kudanya untuk mengambil pedang. Suro tak mau ambil resiko, dengan gerakan cepat ia meraih salah satu pedang milik anak buah Li So Tei yang tergeletak di tanah, kemudian mengarahkan ujung pedang dan melemparkannya ke arah Li So Tei yang baru berhasil menyentuh pedangnya.
Clap!!!
Pedang yang dilempar Suro berhasil menembus punggung Li So Tei hingga dadanya.
Suara lenguhan panjang terdengar dari mulut Li So Tei, tubuhnya berputar perlahan menghadap Suro, tangannya menunjuk Suro dengan marah. Dari sudut bibirnya mengalir darah, matanya masih memandang sangar, tapi tubuhnya tak mampu untuk bergerak maju. Sesaat kemudian ia jatuh tersungkur dengan pedang menembus tubuhnya yang sudah tidak bernyawa.
Gerombolan Srigala Merah yang masih hidup demi mengetahui tubuh pemimpinnya sudah tidak bernyawa langsung beringsut mundur dalam keadaan ketakutan begitu Suro menatapnya satu-persatu. Takut kalau mereka akan bernasib sama seperti yang di alami Li So Tei.
Suro menarik nafas panjang. Detak jantungnya masih terasa cepat dan belum stabil. Ia merasa sangat lelah.
"Kalian lihat!" katanya menunjuk mayat Li So Tei, "Pemimpin kalian sudah mati. Sekarang pilihan ada di tangan kalian, mau bertobat atau melanjutkan aksi kalian!"
Nada suara Suro kemudian meninggi seperti mengancam, "Jika bertobat, aku akan bebaskan kalian, tetapi jika tidak, maka aku tak akan sungkan untuk menghabisi kalian!"