Liu Xiou Fu mengikat kudanya dihalaman rumah kediaman Tabib Hu, lalu memasuki rumah itu dari pintu bagian belakang, dimana ia ketahui adalah ruangan perawatan khusus sekaligus tempat penyimpanan bahan-bahan obat.
Begitu masuk, ia mendapati Suro sedang memilih beberapa tanaman obat untuk dijadikan racikan kemudian memasukkannya pada sebuah wadah keranjang kecil. Di sudut lain, Rou Yi nampak sibuk dengan menumbuk bahan untuk obat oles.
"Tuan Luo," Liu Xiou Fu menyapa, suaranya yang tiba-tiba mengejutkan keduanya.
Tangannya ditangkupkan memberi hormat begitu Suro membalikkan badan.
"Oh, tuan Xiou Fu," Suro menyahut.
"Maafkan saya mengganggu kesibukan tuan Luo," katanya.
Suro tersenyum dan menggeleng.
"Tak apa," tapi melihat lelaki itu seperti sedikit panik, "Sepertinya ada sesuatu yang penting?"
Rou Yi yang sedari tadi nampak sibuk langsung menyediakan kursi yang didudukinya, dan ia beralih dikursi yang lain dan mempersilahkan Liu Xiou Fu untuk duduk.
"Hampir disetiap sudut dibeberapa tempat dikota ini, banyak terpampang gambar orang bertopeng seperti ini..." ia berkata sambil mengeluarkan sehelai kertas berisi gambar. "Aku sudah merobek semua kertas yang kutemui, dan langsung membakarnya!"
Suro memperhatikan gambar itu, sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah dirinya, dengan tulisan dibawahnya : Penjahat berbahaya!
Rou Yi tiba-tiba bangkit dan meninggalkan pekerjaannya. Ia mendekati Suro lalu memperhatikan orang yang berada dalam gambar. Ia menatap curiga ke arah Suro yang masih terpaku pada kertas ditangannya.
"Jika ini adalah kain hitam yang sering kakak kenakan pada waktu shalat, berarti orang dalam gambar ini adalah dirimu?" ia menebak dan wajahnya tampak pucat.
Suro menatapnya, lalu tak lama ia pun mengangguk pelan.
"Iya," Suro menjawab singkat.
"Tapi, ..... Kakak Luo bukanlah penjahat. Benarkan?" tanyanya.
Rou Yi menghela nafas sejenak. Ia merasa masih tidak percaya kalau orang yang ada dalam gambar itu adalah Suro. Tapi melihat Suro tak menjawab hanya mengangguk, jantungnya makin berdebar kencang.
"Nona Yi tidak perlu khawatir," Xiou Fu langsung menyahut, karena dilihatnya Suro agak malas untuk menjawab, "Saya berani menjamin dengan nyawaku, kalau tuan Luo ini orang yang sangat baik. Bahkan orang terbaik yang pernah aku kenal."
Rou Yi masih tidak percaya. Wajahnya terlihat aneh ketika menatap lekat pada kertas yang masih dipegang oleh Suro.
"Apakah ayahku sudah tahu?" Rou Yi bertanya lagi.
Xiou Fu tak bisa menjawab, karena ia tak pernah bertemu dan bercakap-cakap cukup lama dengan tabib Hu. Lalu ia memandang Suro, dan berharap Suro menjawab pertanyaan Rou Yi.
"Sudah," jawabnya singkat dengan raut wajah datar.
Mendengar jawaban itu, Rou Yi tersenyum lega dan membuang nafas panjang.
"Jika ayahku sudah tahu lalu kemudian mengusirmu, artinya, kakak benar-benar orang jahat seperti yang dituduhkan dalam gambar ini. Tetapi, nyatanya ayah juga tak mengusirmu dan malah berlaku lemah lembut padamu. Itu tandanya, engkau adalah orang yang baik."
Suro mendesah, wajahnya perlahan menunjukkan kesedihan.
"Barangkali, waktu itu lebih baik ayahmu langsung mengusirku. Jika begini, aku takut keluarga ini akan terimbas masalah," katanya kemudian.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa yang cukup keras disusul dengan masuknya sosok tubuh berjubah ke dalam ruangan itu. Tabib Hu muncul, dan langsung duduk satu meja bersama Suro dan Xiou Fu.
"Ayah!"
"Tabib Hu!"
Tabib Hu masih tertawa sambil memegang janggutnya, kemudian mengangguk-angguk memandang orang-orang yang ada disitu.
"Luo," katanya, tersenyum ramah ia memandang pemuda itu,"Kau fikir aku ini siapa? Mana bisa aku mengusir orang sepertimu. Mau ditaruh dimana mukaku jika kakak Nan Yu bertanya, sedangkan kau dalam jaminannya? Jika kakak Nan Yu saja percaya padamu, bagaimana bisa aku tidak percaya padamu?"
Suro menunduk hormat pada tabib Hu, lalu tersenyum.
"Terima kasih atas kepercayaannya, tetapi Luo tak ingin menyusahkan keluarga ini."
Lelaki paruh baya itu mengangkat tanganya, seolah melarang Suro untuk berkata seperti itu.
"Kau bukan orang lain lagi disini, tetapi sudah menjadi bagian dari keluarga ini," tabib Hu berkata begitu sambil memandang ke arah Rou Yi, "Betul tidak yang barusan ayah katakan?"
Rou Yi terkejut mendengar ayahnya berkata demikian. Dadanya seperti ditembus peluru. Dengan wajah tersipu, ia cuma mengangguk dengan sedikit menundukkan kepala. Tapi ia merasa tenang, itu artinya pemuda yang selama ini tinggal dirumahnya bukanlah orang jahat.
"Kau tak perlu gelisah dan khawatir, aku akan melindungimu dengan nyawaku!" Tabib Hu berkata dengan mantab.
Liu Xiou Fu berdiri dan menangkupkan kedua tangannya, "Aku, Liu Xiou Fu bersedia mati untuk melindungimu!"
Suro merasa tidak nyaman, kebiasaannya menggaruk kepala pun muncul.
"Terus terang, Luo merasa terharu. Tapi, Luo tetap tak ingin menyusahkan. Biarlah, Luo sendiri yang menanggungnya!"
"Tuan Luo," Xiou Fu berkata kembali, "Seperti yang sudah kukatakan, tuan adalah orang terbaik yang pernah kukenal. Jika pun aku mati dalam membelamu, bagiku itu adalah suatu kehormatan yang tinggi!"
"Tidak perlu berlebihan, tuan Xiou Fu. Sepertinya, aku harus pergi dari sini secepatnya!"
Tiba-tiba tabib Hu kembali tertawa.
"Luo, mau pergi kemanapun tetap saja kau akan terus diburu. Lebih baik bertahan saja disini untuk menghadapi masalahmu!"
"Jika pun demikian, Luo akan menghadapinya, tetapi bukan di sini!" Suro menjawab bersikeras.
Tekadnya sudah bulat untuk segera pergi dan sepertinya tidak ada yang bisa menghalanginya lagi.
"Besok pagi aku akan pergi meninggalkan Lembah Gezi menuju Shao Lin," ia melanjutkan dengan kalimat yang tegas.
Mendengarnya, Rou Yi nyaris menjerit tak percaya sambil menutup mulutnya dengan tangan. Ia tak menduga kalau pertemuannya dengan Suro bakal berakhir secepat ini.
"Kalau begitu, biarkan aku ikut denganmu," Xiou Fu berkata, dan kentara sekali jika keinginannya itu bisa dikabulkan oleh Suro.
Suro menggeleng dan tersenyum, "Jika hendak melindungiku, tolong aku untuk melindungi orang-orang yang kusayangi, itu akan lebih baik. Sebelumnya aku akan menulis surat, minta bantuan tuan Xiou Fu untuk mengirimkan suratku kepada keluarga Yang..."
Liu Xiou Fu mengangguk menyanggupi.
***
Malam itu, Rou Yi duduk termenung di halaman, dimana biasa pada malam-malam itu ia melihat Suro berlatih. Gaun yang dikenakannya terkadang melambai tertiup angin malam yang cukup dingin.
Pandangan matanya menatap kosong ke depan, semua yang dilihatnya seperti sebuah gambar Siluet hitam dan gelap. Fikirannya melayang memainkan drama tentang perjalanan Suro setelah melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang buronan tentara Qing.
Ia merasa kasihan pada Suro, jauh-jauh merantau dari negerinya, ternyata dinegeri orang dia malah menjadi buronan.
Tapi dalam hatinya sudah bertekad, apapun yang terjadi pada Suro ia akan selalu ada disampingnya, meskipun Suro barangkali tidak mencintainya, ia rela meskipun hanya untuk melayaninya sebagai pelayan.
"Adik Yi?" tiba-tiba satu suara terdengar dari arah belakang, membuat Rou Yi tersadar dan langsung menoleh ke arah asal suara.
Suro muncul setelah sebelumnya menatap heran pada Rou Yi. Ia menerka kalau gadis itu sengaja menunggunya di halaman.
"Oh, kakak Luo," sahutnya tak bersemangat, senyumnya tidak nampak seperti biasa.
"Apa yang sedang kau fikirkan?"
Rou tak langsung menjawab, malah menghela nafas panjang.
"Sebenarnya kau pasti sudah tahu kalau aku sedang memikirkan keselamatanmu," katanya agak kesal. Ia merasa pemuda itu tidak peka terhadap perubahan kelakuannya.
Suro tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku justru sedang memikirkan keselamatan kalian," sahutnya santai.
Gadis itu kembali diam, ia merasa malas untuk menanggapi ucapan Suro barusan. Kepalanya mendongak ke langit memandang bintang-bintang yang bertaburan.
Melihat kondisi itu, Suro merasa tidak enak dan menyangka ada kalimatnya yang menyinggung perasaan Rou Yi.
"Maafkan jika ada ucapanku yang menyinggung perasaan adik Yi," Suro berkata memecahkan suasana.
Namun kalimat itu tak membuat tatapan mata Rou Yi beralih. Ia tetap menikmati heningnya.
"Aku sangat bersyukur, dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku. Keluarga Yang dan saat ini juga keluarga Yin termasuk dirimu, Yin Rou Yi. Betapa aku merasa sangat berdosa jika aku sampai membuat keluarga ini menjadi korban karena melindungiku....."
"Kakak Luo," Rou Yi memotong kalimat Suro. "Aku ingin kakak membantuku menjawab pertanyaan yang aku tidak bisa menjawabnya, bolehkah?"
Suro agak heran dengan ucapan Rou Yi, ia menatap wajah gadis disampingnya yang masih memandang langit.
"Apa itu?" ia balik bertanya.
"Saat ini aku merasa sangat bodoh, kau bukanlah apa-apa bagiku. Setelah sekian lama bersama, bagaimana bisa kau menjadi kesayangan banyak orang bahkan mereka semua rela berkorban untukmu, padahal mereka bagimu adalah orang asing. Seperti keluarga Yang, tuan Liu Xiou Fu, bahkan ayahku, termasuk..." Rou Yi tak melanjutkan kalimatnya, ia merasa malu mengatakannya. Tapi Suro yakin bahwa kelanjutannya adalah Rou Yi sendiri.
Pemuda itu menghela nafas. Lalu katanya, "Aku tak tahu, yang jelas apa yang mereka lihat, itulah diriku secara utuh luar dan dalam, tak ada yang disembunyikan."
"Mungkin itulah sebabnya. Kebanyakan orang pasti menyukai sesuatu yang tidak dibuat-buat dan apa adanya. Barangkali, ayahku dan mereka melihat semua itu pada dirimu. Tapi, bagi seorang gadis, sosok seperti itu layak baginya untuk dimiliki...."
Sampai kalimat itu, Rou Yi lalu menoleh ke arah Suro.
"Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku seperti tak perduli lagi apakah kau sudah menempatkan hatimu pada gadis lain atau tidak. Besok pagi, kakak akan pergi jauh, entah apakah kau akan kembali kemari atau tidak. Jika perasaan ini tidak kuungkapkan, aku takut tak akan pernah melihatmu lagi!"
Suro merasa tiba-tiba kepalanya pening ketika mendengar kata-kata Rou Yi. Ia tahu bahwa gadis itu juga mencintainya sama seperti Li Yun. Ia berfikir apakah semua gadis di negeri ini sangat berani mengungkapkan perasaannya pada lelaki yang dicintainya. Hati Suro terhadap Rou Yi juga sepertinya mengambang. Ia seperti tak bisa menganggap gadis dihadapannya itu sebagai adik.
Ah, Suro! Apa sebenarnya pesona yang kau miliki sampai dua gadis asing begitu mencintaimu!
"Kau tahu maksudku?" gadis itu bertanya.
Suro mengangguk tanpa menjawab.
"Apakah kau mencintai adik angkatmu, Yang Li Yun?" ia bertanya lagi.
Jantung Suro berdebar kencang, memang ia harus menjawab tegas dan yang sebenarnya agar Rou Yi tak mengharap lagi. Tapi ia merasa dirinya lemah dan takut untuk mengatakannya.
Akhirnya Ia menghela nafas dan menghembuskannya, lalu mengangguk, "Iya."
Kemudian ia menatap Rou Yi yang juga menatap padanya, mata gadis itu berkaca-kaca dan setitik air matanya menetes dipipinya yang putih lembut.
Tak lama Rou Yi tersenyum.
"Hmmm.....Sebenarnya adik sudah tahu. Cuma ingin meyakinkan diri saja. Tetapi kakak, salahkah.. Kalau ternyata aku juga mencintaimu, meskipun mungkin tak berbalas?" katanya meminta jawaban. Suaranya sedikit bergetar.
Suro nampak bingung, mulutnya terbuka hendak mengeluarkan kata-kata.
Rou Yi menyeka air matanya, tetapi masih terlihat senyumannya yang tertahan. Lalu tak lama ia berdiri dari tempat duduknya, dan melangkah hendak pergi meninggalkan Suro.
"Tidak... Adik Yi tidak salah. Semua orang berhak mencintai. Jika memang takdir, tak ada yang bisa menghalangi cintamu padaku. Dan jika memang takdir pula, tak ada yang bisa menghalangi untuk kita berjodoh..." ucapnya menenangkan Rou Yi.
Rou Yi berhenti sejenak mendengarkan ucapan Suro sambil menoleh. Tak lama ia pun tersenyum dan langsung melangkah masuk ke dalam rumah.
Suro kemudian berdiri terpaku sambil menatap ke arah langit. Ia menarik nafas dalam beberapa kali untuk mengendalikan perasaannya. Ia tak ingin menyakiti hati Rou Yi dengan mengabaikan cintanya karena hatinya sudah ia berikan pada Yang Li Yun dan tak mungkin baginya untuk menerima cinta yang lain.
Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk melepaskan beban yang menghimpit dadanya. Permasalahan dengan Perwira Chou belum lagi tuntas tiba-tiba muncul lagi masalah yang lain.
"Ya Allah! Aku cuma berharap dengan Do'a. Aku ini adalah hamba yang lemah, tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolonganmu. Aku berpasrah pada apa yang telah kau tetapkan, maka karuniakanlah kepadaku istri dan keturunan yang menjadi cahaya mata, dan jadikanlah aku pemimpin yang adil bagi mereka!" Ia berdoa dengan suara jelas sambil menengadahkan tangannya ke atas.
Bagi mereka?
Rou Yi tersenyum dari balik pintu, merasa yakin bahwa dalam hati pemuda itu juga mencintainya. Tapi sekali lagi ia menyayangkan kalau pertemuan ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Suro, karena besok pemuda itu akan pergi dari Lembah Gezi meninggalkan dirinya dan juga ayahnya.