Di halaman kediaman Tabib Hu, saat malam menjelang pertengahan, Suro memutuskan untuk kembali berlatih memainkan jurus-jurus Silat Cempaka Putih, setelah beberapa bulan ini secara rutin ia memainkan gerakan-gerakan dari jurus Taichi untuk mengobati jalur meridiannya yang kacau akibat racun Tujuh Ular.
Seperti biasanya, sebelum ia memulai selalu didahului dengan sikap diam dan berdoa, telapak tangannya saling menempel ditangkupkan didepan dada.
Sesaat kemudian, tangan dan kakinya membuka secara bersamaan, tatapan matanya menatap tajam seperti mata elang yang mengincar mangsa. Hal ini tentu sangat berbeda dengan jurus sebelumnya yang dilakukan dengan santai.
"Jurus Cempaka Satu!" ia berseru dalam hati.
Tangan kanannya berputar, lalu melakukan tangkisan sekaligus serangan menyikut berbarengan dengan kaki kiri mundur kebelakang, tubuh condong ke arah depan samping. Kaki kanannya menendang, lalu dijatuhkan ke depan membentuk kuda-kuda baru sekaligus telapak tangannya membentuk seperti pisau dan berayun dari bawah dengan gerakan menusuk ke ulu hati.
Bergerak lembut dalam posisi kembangan, lalu tiba-tiba melakukan gerakan meledak dengan serangan lutut, melompat dengan tendangan satu kaki pada kaki lainnya.
Setiap gerakan serangan yang dilakukan menimbulkan semacam hembusan angin disertai suara geberan kain dari pakaiannya yang bertabrakan dengan udara kosong. Efeknya membuat daun dan dahan-dahan lemah yang menjadi arah serangannya menjadi bergoyang seperti tertiup angin yang kencang dan tiba-tiba.
Suro melakukannya dengan penuh konsentrasi seolah-olah dia sedang berhadapan dengan musuh. Hal itu membuatnya tidak sadar kalau Rou Yi tiba-tiba datang dan langsung duduk dibangku depan pintu halaman rumahnya.
Gadis itu bertopang dagu memperhatikan gerakan-gerakan jurus yang dimainkan oleh Suro. Matanya tak berkedip membayangkan seperti melihat seorang pangeran yang gagah sedang bertarung melindungi dirinya.
Ia lalu tersenyum.
Sudah hari ketiga sejak peristiwa kakinya terkilir, sekarang ia sudah mulai bisa berjalan normal, dan kakinya yang lecetpun sudah mulai mengering. Tetapi, kenangan di waktu Suro menggendongnya tak pernah basi dan mengering. Perasaannya, peristiwa itu baru saja terjadi tadi pagi.
Hatinya dipenuhi bunga berwarna-warni dalam taman surga. Ia membayangkan Suro menggandeng tangannya, menari bersama berjalan meniti jembatan pelangi di ujung senja, lalu memetik sekuntum bunga yang tumbuh diujungnya dan menyelipkannya diantara kepala dan telinganya.
Membayangkan demikian, ia tersenyum geli. Pandangannya terarah ke langit malam yang diterangi cahaya bulan dan bertaburan bintang.
Malam itu, bulan dalam kondisi penuh, cahayanya yang putih memikat matanya untuk tak beralih ketempat lain. Pikirannya dipenuhi dengan keindahan.
"Oh, bulan. Katakanlah padaku, apakah ini perasaan jatuh cinta?" ia berbisik dalam hati sambil senyum-senyum malu, wajahnya bersemu merah.
Tiba-tiba bulan itu nampak tersenyum dan memanggil namanya dengan suara yang terdengar sangat jelas ditelinganya....
"Adik Yi?....Adik Yi?..."
Gadis itu terkejut setengah mati ketika sadar bahwa wajah bulan yang dipandanginya berubah menjadi wajah Suro yang juga memanggil-manggil namanya.
"Aaa....emmmm....." ia nampak salah tingkah.
Disaat asyik memandang rembulan, ternyata Suro muncul menutupi penglihatannya pada bulan. Ia tak lagi bisa menyembunyikan rasa malunya yang luar biasa. Ingin rasanya ia menenggelamkan kepalanya dalam tanah untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah berwarna merah.
Ia tak mampu memandang wajah Suro, beberapa kali ia menggerakkan kepalanya untuk melihat sesuatu yang lain sebagai dalih menghilangkan rasa malu yang luar biasa.
"Emmmm.... sudah selesai latihan?" tanyanya, ia cuma bisa menundukkan kepala dalam-dalam.
Suro tak bisa menahan diri lagi untuk tertawa begitu melihat tingkah Rou Yi, sampai-sampai ia memegangi pipinya sendiri yang terasa sakit akibat menahan untuk tidak tertawa.
Bagaimana bisa aku tidak tahu orang ini tiba-tiba muncul didepanku? Rou Yi mengumpat dalam hati.
Ia menoleh kesamping kiri dan mengambil gelas keramik berisi air yang memang sudah Suro siapkan untuk minumannya sendiri, lalu menyerahkannya pada Suro.
Pemuda itu menerimanya, kemudian duduk di kursi lain yang ada di situ dan meminum segelas air yang diberikan oleh Rou Yi.
"Aku fikir, adik Yi kerasukan. Senyum-senyum sendiri," katanya menggoda Rou Yi.
"Ah, kakak. Kau jangan mengolokku lagi," ia berkata sambil tersenyum malu.
Suro terdiam sesaat seperti membayangkan sesuatu, rupanya ia mengingat kembali raut wajah Rou Yi saat sedang asyik melamun. Lalu ia kembali tertawa membuat Rou Yi menunduk semakin dalam.
Selang beberapa menit kemudian, dengan sisa-sisa tawanya, Suro berkata sambil menarik nafas, "Baiklah!"
Rou Yi pun terlihat menarik nafas dalam lalu mengeluarkannya perlahan tanpa suara, berusaha membuang racun-racun merah dimukanya agar terlihat normal.
"Aku tak bisa kungfu, tapi melihat jurusmu, kelihatannya dahsyat sekali," ia berkata mengalihkan pembicaraan yang membuat malu dirinya.
Suro faham, bahwa gadis itu tak ingin digoda lagi. Maka ia mengangguk.
"Iya, itu beladiri yang diajarkan guruku," jawabnya.
"Kungfunya agak aneh ya, kadang lembut kadang keras," ia berpendapat.
"Itu beladiri Cempaka Putih, gerakannya lembut dan keras silih berganti."
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala, "Pantas, kakak tidak begitu kesulitan ketika mempelajari kungfu Tai Chi."
"Hmmm...." angguknya, "Setelah mempelajari Tai Chi dari tetua Nan dan ayahmu, malam ini aku merasakan jurus yang kumainkan semakin lembut dan tenaga dalam yang mengalir dalam tubuhku juga semakin besar."
Sebenarnya, Rou Yi tidak tertarik sama sekali dengan beladiri, makanya ia tak mewarisi keahlian kungfu itu dari ayahnya. Ia lebih tertarik dengan ilmu pengobatan.
Malam itu, berhubung untuk menutupi rasa malunya karena ketahuan sedang melamun, ia terpaksa berbicara tentang beladiri. Dan ia mesti lebih banyak berkata-kata supaya Suro lupa dan tidak menanyakan apa yang sedang dilamunkannya.
"Dulu ayah sempat mengajariku kungfu Taichi beberapa jurus, hanya saja karena tidak berbakat, satu jurus membutuhkan waktu yang lama untuk dihafal. Mungkin ayah sudah bosan dan akhirnya ia tidak pernah mengajariku lagi," Rou Yi bercerita.
Suro menarik nafas panjang, agak lama terdiam baru kemudian ia berkata, "Dulu pun aku juga tidak berbakat, tetapi karena berniat ingin membalas dendam kematian orang tua, dibawah bimbingan Ki Ronggo, aku mulai belajar beladiri. Kurasa saat ini juga demikian, karena suatu alasan aku akhirnya belajar pengobatan."
"Oh ya?"
Suro mengangguk. Ia merasa tak perlu menceritakan alasan sebenarnya bahwa ia sengaja melarikan diri dari rumah demi keselamatan keluarga Yang. Alasan belajar pengobatan adalah agar ia bisa meninggalkan ibunya dalam keadaan tenang tanpa khawatir.
Percakapan itu tanpa terasa berlangsung cukup lama, dan waktu sudah lewat tengah malam. Udara pun sudah terasa semakin dingin dan lembab.
"Adik Yi, sudah waktunya untuk istirahat," katanya sambil menoleh pada Rou Yi yang terlihat masih segar.
Mendengar itu, Rou Yi menundukkan kepala dengan wajah sedikit dan kecewa.
"Apa kakak sudah bosan berbicara denganku?" ia bertanya seolah menolak untuk menyudahi percakapan.
Suro terkejut, beberapa hari ini ia mulai menyadari sikap Rou Yi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Ia benar-benar takut jika gadis itu memiliki rasa cinta padanya.
Ah, Rou Yi..... Seandainya aku bertemu denganmu terlebih dahulu, barangkali....
"Apakah adik belum merasa mengantuk?" Suro bertanya balik.
Gadis itu menggeleng dengan semangat sambil tersenyum.
Senyuman itu mengingatkannya pada Li Yun. Dua gadis yang berbeda, dengan karakter berbeda serta senyum yang berbeda, tetapi sama-sama memiliki kecantikan yang membuat Suro juga terpikat. Tapi, pemuda itu sudah memiilih Li Yun.
"Sebenarnya, dalam keyakinanku, tidak baik berdua-duaan dengan orang yang bukan saudaranya atau isterinya...." Suro beralasan, "Takut terjadi fitnah dan sesuatu hal yang tidak diinginkan."
Rou Yi menundukkan kepalanya antara malu dan maklum dengan apa yang disampaikan oleh Suro. Tetapi, dalam hatinya berusaha untuk menampik alasan Suro.
"Apakah jika aku adalah Li Yun, kakak akan berlaku demikian juga?" tanyanya.
Jleb!
Suro merasa jantungnya berdebar lebih cepat.
Ia menjawabnya dengan anggukkan, lalu menghela nafas, "Sama, karena status Li Yun adalah adik angkat, tetap saja bukan saudara sekandung."
"Meskipun hati ini ingin lebih lama, tetapi aturan dalam agama kakak tidak boleh dilanggar," ia melanjutkan.
Matanya melirik ke arah Rou Yi yang wajahnya terangkat ke langit memandang bulan dengan tatapan sedih dan kecewa. Ia ingin segera beranjak dari tempat duduknya, tetapi ia juga tak ingin menyinggung perasaan Rou Yi.
"Kata ayah, bulan depan kakak akan pergi ke biara Shou Lin, benarkah?" katanya tiba-tiba.
Suro terdiam sesaat, ia tak menyangka tabib Hu mengatakannya pada Rou Yi. Padahal ia bermaksud untuk tidak mengatakannya pada gadis itu.
"Iya," katanya, "Aku memang bermaksud kesana."
Rou Yi menatap matanya begitu lekat, membuat Suro tertunduk tak berani beradu pandang.
"Tak bisakah kakak tinggal disini lebih lama? Belajar lebih dalam lagi tentang pengobatan bersamaku?"
Suro terlihat tersenyum dalam tatapan mata Rou Yi. Gadis itu seperti tak ingin melepaskan pandangan matanya ke arah lain. Ia ingin menikmatinya sampai puas.
Lagi-lagi ia menarik nafas dalam.
Kalau boleh jujur pada Rou Yi, ia justru tidak ingin ke sana, tetapi demi keluarga yang harus dilindunginya mau tidak mau niatnya ke kuil Shao Lin harus ia laksanakan.
"Kenapa kau diam?" Rou Yi bertanya lagi.
Akhirnya ia melepas pandangannya ke arah lain digelapnya malam. Suro seperti kehabisan kata-kata, yang ia bisa cuma tersenyum.
"Selagi masih bisa berjalan, usia juga masih muda, kakak ingin belajar apapun sebanyak-banyaknya. Karena bagi kakak, ilmu adalah sarana untuk lebih dekat pada yang menciptakan kita," ia berdalih.
"Hmmm..... Kakak Luo memang penggemar ilmu, ya," pujinya, "Sebenarnya, aku juga ingin berkelana, melihat dunia luar yang begitu luas. Tapi, aku ini hanya seorang gadis biasa yang cuma mengerti sedikit ilmu. Kata ayah, dunia luar itu sangat kejam dan berbahaya."
"Ayahmu benar, memang diluar sana sangat berbahaya bagi seorang gadis sepertimu. Banyak sekali orang-orang jahat dan kejam." Suro membenarkan, tetapi ia melanjutkannya dalam hati. "Apalagi untuk seorang gadis cantik sepertimu, pasti akan sangat berbahaya. Kau itu seperti kelinci yang lezat di mata harimau."
Rou Yi tersenyum dan menoleh ke arah Suro.
"Apakah kakak Luo termasuk satu diantaranya?" gadis itu bertanya dengan nada bercanda.
Suro tertawa kecil, tangannya spontan menggaruk kepalanya, "Nah, itu cuma adik yang bisa menilainya..."
Rou Yi pun akhirnya ikut tertawa hingga barisan giginya yang putih terlihat. Suaranya terdengar lembut di telinga Suro.
Setelah beberapa saat pembicaraan terhenti, mereka berdua saling diam seperti kehabisan bahan untuk dibicarakan.
Bagi Rou Yi, bahan pembicaraan sangat banyak, tetapi ia merasa tabu untuk mengungkapkannya.
"Ah, baiklah kakak," Rou Yi berkata sambil berdiri dan tersenyum, "Kurasa kakak sudah lelah sehabis latihan. Beristirahatlah!"
Suro tersenyum dan mengangguk, lalu berdiri dari kursinya, dengan pandangan matanya mengiringi tubuh Rou Yi yang melangkah masuk.
Ia mendongak ke atas sebelum menyusul masuk ke dalam rumah, sekedar untuk memandang rembulan yang bercahaya penuh. Gambaran wajah Yang Li Yun tiba-tiba saja muncul dalam benaknya, begitu lekat dan terasa sangat nyata.
Tak lama ia pun tersenyum dan berkata dengan suara berbisik, "Ya Allah, aku merindukannya."
Di saat yang sama, ditempat yang sangat jauh sejarak ratusan mil dari kediaman tabib Hu, seorang gadis nampak berdiri terpaku di depan jendela kamarnya yang terbuka, sedang asyik memandang rembulan dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kakak," ia bergumam sendiri sambil tersenyum, "Bulannya indah, ya? Apakah kau juga memandang rembulan yang sama sepertiku saat ini?"