Waktu dua bulan telah lewat Suro berada dikediaman tabib Hu mendalami ilmu pengobatan di lembah Gezi.
Kediaman tabib Hu memang agak jauh dari pemukiman, tetapi jalan menuju kerumahnya bisa dilewati dengan mudah, sehingga hampir tiap hari rumah sekaligus tempat prakteknya itu selalu didatangi oleh orang-orang yang ingin berobat padanya. Meskipun butuh beberapa lama untuk sampai kesana melewati kebun-kebun milik petani dan beberapa tanah kosong yang ditumbuhi semak dan pepohonan.
Rumahnya sendiri dikelilingi tanaman obat yang memang segaja ditanam, dan dihalaman lainnya terdapat rak-rak kayu tempat penjemuran bahan-bahan obat.
Hari itu, tabib Hu meminta Rou Yi dengan ditemani Suro untuk mencari tanaman obat yang tumbuh liar agak jauh dari kediamannya, sekaligus memberikan pelajaran pada Suro untuk mengenal langsung beberapa jenis tanaman obat yang biasa digunakan.
Pagi-pagi sekali mereka sudah keluar dari rumah, Berjalan sekitar lebih dari seperempat hari, mereka tiba disebuah aliran sungai kecil dangkal dan bening, mengalir tidak terlalu deras diantara bebatuan yang nampak muncul diantara arus air. Sementara diseberang aliran sungai itu terdapat hutan yang tidak terlalu lebat yang menjadi tujuan mereka.
Suro berdecak kagum melihat pemandangan indah yang terbentang dihadapannya. Tebing bukit yang menjulang tinggi bagai raksasa berdiri megah menembus awan berhias warna hijau pepohonan dan warna putih keperakan membius matanya untuk tidak beralih. Ia terpesona.
"Kita sudah sampai, kakak," Rou Yi berkata begitu sambil menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan wajah cerah menikmati udara hutan yang sangat menyegarkan, "Sudah lama Rou Yi tidak kemari, biasanya ayah sendiri yang mencarinya sendiri."
"Kalau kakak yang menjadi ayahnya, barangkali aku juga tidak akan memperbolehkan puteriku berjalan sendirian ditempat seperti ini," katanya sambil tersenyum.
Rou Yi tertawa mendengar perkataan Suro.
Tanpa menunggu waktu lagi, mereka langsung memasuki hutan itu. Sebuah tas terbuat dari bilah-bilah bambu tergantung dipunggung masing-masing sebagai wadah tanaman obat.
Mereka memasuki hutan cukup jauh dan waktu pun berlalu lewat dari satu jam, tetapi jenis tanaman obat yang mereka cari juga belum nampak.
Keadaan tanah dalam hutan itu sebagian memang cukup bersih, hanya tertutup semak-semak kecil dan anak-anak pohon yang tumbuh disekitar pohon induknya yang tak begitu menyulitkan langkah mereka. Sementara, jarak antar pohon tumbuh tidak beratur, kadang rapat dan kadang berjauhan sehingga sinar matahari masih bisa masuk menembus diantaranya.
Rou Yi menyibak satu-persatu beberapa semak yang menghalangi pandangan di bawah kakinya, matanya bergerak dengan seksama barangkali menemukan sesuatu yang dicarinya.
Suro pun melakukan hal yang sama. Dia cuma bisa mengira-ngira bentuk tanaman yang dicari berdasarkan gambar yang diberikan oleh tabib Hu.
Keadaan ditempat itu sangatlah sunyi dan sepi, yang terdengar hanyalah kicauan burung-burung dan binatang hutan lainnya serta suara gesekan pohon dan ranting yang tertiup angin. Seandainya ada suatu kejadian yang membahayakan ditempat itu, berteriakpun akan sia-sia.
Cukup lama mereka mencari dengan pandangan mata ke arah bawah, menyibak beberapa semak dan beralih dari satu tempat ke tempat lain. Mereka berjalan agak memisah tapi tidak terlalu jauh.
"Apakah adik Yi tidak merasa lelah?" Suro bertanya dengan suara agak keras agar Rou Yi bisa mendengar suaranya.
Sambil menegakkan tubuhnya, gadis itu menoleh ke arah Suro.
"Tidak, masih terlalu pagi untuk beristirahat," katanya sambil tersenyum.
Setelah berkata, ia kembali melakukan pencariannya.
Tiba-tiba Suro berseru sambil mengangkat tangannya ke atas seperti menunjukkan sesuatu pada Rou Yi.
"Apakah ini yang kita cari?" tanyanya.
Rou Yi menyipitkan pandangannya agar bisa melihat lebih jelas. Sesuatu di tangan Suro terlalu kecil untuk bisa dilihatnya. Maka ia memutuskan untuk mendekati Suro.
Setelah dekat dan melihat dengan jelas, Suro menunjukkan sebuah jamur seukuran kepalan tangan, berkulit keras dan berwarna merah mengkilat yang berada digenggamannya.
"Iya, kakak. Tapi ini masih kecil," senyumnya mengembang dengan mata berbinar-binar, "Dimana kau menemukannya?"
Suro mengarahkan telunjuknya ke bawah, dimana ia menemukan tanaman yang dicari.
Matanya terbelalak begitu melihat sekumpulan jamur tumbuh di sebuah kayu yang sudah mati. Rata-rata berukuran besar, dan yang dipetik Suro memang yang paling kecil.
"Kalau dilihat dari ukurannya, jamur ini sudah lewat delapan bulan. Sangat bagus sekali...." ia berseru kegirangan, lalu tanpa bicara lagi tangannya bergerak memetik jamur-jamur itu.
Suro pun beranjak ke sisi lainnya dan tiba-tiba, ia berseru, "Adik Yi... Di sini lebih banyak lagi!"
"Hmmm...Sepertinya kita bisa pulang lebih cepat," Rou Yi berkata dengan semangat, "Inilah yang disebut jamur Ling Zhi, jamur keabadian!"
Jamur Ling Zhi merupakan jamur kayu yang biasanya tumbuh pada batang atau kayu yang sudah mati. Konon jamur ini sudah digunakan pada masa kekaisaran dinasti Shi Huang Ti, dimanfaatkan sebagai minuman keabadian.
Pada saat itu, kaisar Shi Huang Ti ingin mencari obat yang bisa membuatnya hidup panjang umur dan awet muda, maka dari sekian tanaman yang direkomendasikan, jamur Ling Zhi inilah tanaman obat yang digunakan oleh kaisar sebagai minumannya. Oleh karena itulah, jamur ini disebut sebagai jamur keabadian.
"Kakak ingatlah bentuknya, yang ini adalah Ling Zhi Ru Yi, jika kita beruntung barangkali kita bisa menemukan Ling Zhi Kimshen dan lainnya," Rou Yi menjelaskan pada Suro tentang Ling Zhi. "Secara umum, jamur Ling Zhi ini ada lebih dari dua ratus jenis, dan yang diketahui bermanfaat hanya enam."
Suro mendengarkannya dengan seksama, sesekali melihat bentuk jamur yang ada ditangannya.
"Sifatnya termasuk panas dengan rasa pahit dan mengarah ke hati. Efek kerjanya sangat kuat dalam membuang racun dan menyeimbangkan fungsi tubuh."
Banyaknya jumlah jamur Ling Zhi yang mereka temui hampir membuat tas punggung mereka terisi penuh.
Setelah dirasa cukup, mereka pun keluar dari dalam hutan, tetapi pandangan mata mereka masih tetap menyasar kesana-kemari, berharap mereka akan menemui tanaman obat yang lain yang bisa mereka petik dan bawa pulang.
Akhirnya mereka pun sampai di pinggir sungai tempat dimana mereka masuk, dan Suro langsung membersihkan beberapa bagian tubuhnya sekaligus mengambil air wudhu.
Sementara Rou Yi mencari tempat lebih datar dibawah salah satu pohon yang cukup rimbun untuk beristirahat sembari mengeluarkan perbekalan yang mereka bawa.
Karena masih cukup luas, Suro memilih tempat bersebelahan dengan tempat duduk Rou Yi dan mengatur jaraknya untuk shalat. Tak butuh waktu lama menyelesaikan shalat, Suro bersama-sama Rou Yi menyantap perbekalan mereka.
"Adik Yi," Suro berkata sambil mengunyah makanannya, "Suasana disini sangat mirip dengan kediamanku dulu. Begitu tenang dan damai, makanya dinamakan lembah damai. Hanya saja disini lebih dingin."
Rou Yi memandang berkeliling melihat suasana sekitar mereka berada. Memang pemandangannya sangat indah, diiringi dengan suara-suara alam, dan sentuhan angin yang bertiup lembut menyapa permukaan kulit.
Kemudian ia mengangguk sambil tersenyum menatap Suro, membenarkan apa yang disampaikannya.
"Iya," katanya, "Aku jadi ikut membayangkan tempat kediamanmu dulu."
Pemuda itu menghela nafas panjang sambil tersenyum, ia membayangkan sesuatu.
"Aku jadi rindu kampung halamanku.... Tetapi,..."
Suro tak melanjutkan ucapannya, senyumannya masih melekat dan wajahnya menyiratkan kegalauan.
"Sepertinya, kakak enggan pulang ke tanah Jawa meskipun rindu." Rou Yi menebak, "Apakah ada seseorang yang menahanmu?" gadis itu lalu bertanya menyelidik dengan senyum curiga.
Mendengar pertanyaan Rou Yi, Suro tertawa kecil dan memandang ke arah Rou Yi. Ia menggeleng dan merubah raut wajahnya dengan senyum.
"Bukan seseorang, tetapi banyak orang...." jawabnya.
"Hmmm.... benarkah?" pertanyaannya seperti orang yang tidak percaya.
Sekali lagi pemuda itu mengangguk, "Sebuah keluarga yang dulu hilang, kini muncul dan menawanku. Tapi entah kapan, aku masih berharap bisa kembali pulang untuk menyelesaikan sebuah urusan."
Fikirannya melayang ke masa lalu, mengingat-ingat kejadian yang menimpa padepokannya yang mengakibatkan teman dan gurunya tewas terbakar. Tapi entah mengapa, hatinya yang dulu bertekad membalas dendam seiring waktu perlahan memudar. Ia seolah sangat susah untuk memunculkannya kembali. Dulu dendam ini dirasakannya sangat menyiksa siang dan malam.
Cinta dari keluarga Yang rupanya berhasil melupakan dendamnya yang belum terbalas. Masa-masa indah yang tidak pernah ia rasakan sejak kecil baru bisa ia nikmati sekarang meskipun bukan dengan keluarga sekandungnya, justru di tempat yang sangat jauh dari kampung halamannya.
"Maksudmu, apakah keluarga Yang?" tanya Rou Yi.
Suro mengangguk, pandangannya lepas ke arah sungai dan tebing-tebing yang indah.
"Kudengar, keluarga Yang memiliki seorang anak gadis yang seumuran dengan Adik Yi, yang merupakan adik angkat kakak Luo, emmm.... Apakah dia cantik?" gadis itu bertanya lagi tanpa memandang wajah Suro, tapi terdengar kalau dia bertanya malu-malu.
Pemuda itu tertawa kecil, ia menatap Rou Yi yang tampak wajahnya mulai memerah. Lagi-lagi ia mengangguk, "Li Yun sama cantiknya denganmu, hanya saja sifatnya bertolak belakang. Adik Yi sangat dewasa, lembut dan anggun, sedangkan Adik Yun sangat manja, ceria, keras kepala dan banyak bicara, kadang juga terkesan seperti kekanak-kanakan. Tetapi kedua-duanya sama cantiknya."
Wajah Rou Yi tampak bersemu merah mendengar jawaban Suro, ia merasa dipuji.
"Jangan-jangan, dia yang paling membuatmu enggan untuk pulang...." Rou Yi berkata dengan perkataan menjebak untuk membuat pemuda itu mengakuinya.
Ia tak langsung menjawab, hanya menunduk dan sepertinya tak tahu harus menjawab apa. Kelihatannya pemuda itu agak malu mengatakannya.
Kalau mau jujur, itu juga menjadi salah satu sebabnya.
"Ibu Zhou Lin yang membuatku enggan pulang," jawabnya menangkis pertanyaan Rou Yi.
Rou Yi langsung melempar pandangannya kembali, wajahnya langsung terlihat kesal karena tak berhasil menjebak Suro mengatakannya. Itu bukan jawaban yang diminta!
"Kelihatannya kakak berbohong!" katanya. Kentara sekali jika ia merajuk.
Melihat kelakuan dan mendengar ucapannya membuat Suro tertawa. Ia langsung teringat adik angkatnya Li Yun.
"Jika melihatmu seperti ini, adik Yi sangat mirip dengan Li Yun. Membuat aku berfikir, apakah dalam kondisi-kondisi tertentu semua gadis memiliki sifat yang sama seperti ini?" katanya sambil terus tertawa.
Wajahnya masih membelakangi Suro, tapi ia merasakan sendiri kalau tampangnya terlihat cemberut.
Dalam hatinya, Rou Yi berfikir dan bertanya-tanya, ada apa dengan dirinya. Mengapa ia begitu peka, padahal jawaban Suro itu tidak bermaksud apa-apa. Sepertinya ia juga ingin menjadi penyebab pemuda itu enggan untuk pulang. Apakah ia sudah jatuh hati dengan Suro?
Ah... Tak ingin membuang rasa itu tetapi justru ingin menikmatinya lebih lama, terlalu indah untuk dibuang. Batinnya.
"Itu tandanya kalau kakak menyukai Li Yun!" ia berkata ketus tak menanggapi pertanyaan Suro, lalu berdiri dan langsung berjalan ke arah sungai.
Suro memandangi langkah Rou Yi sambil tersenyum menggeleng, ia merasa tak faham kenapa gadis itu nampak ketus berkata.
Rou Yi melompat dari tepi sungai menuju batu-batu yang nampak kepermukaan, hingga berada pada batu yang ditengah, ia merunduk hendak menciduk air sungai itu dengan kedua tangannya. Semua dilakukannya untuk membuang rasa kesal.
Tiba-tiba, kakinya tergelincir dari batu yang dipijaknya hingga membuatnya menjerit dan tubuhnya kehilangan keseimbangan jatuh ke sungai disertai suara kecipak air.
"Adik Yi!"
Suro langsung melompat dari tempat duduknya, dan berlari ke arah Rou Yi yang basah kuyup.
Rou Yi berdiri sambil memandangi dirinya sendiri dan pakaiannya yang basah kuyup. Ketika hendak berjalan ketepi, tiba-tiba ia jatuh kembali. Beruntung Suro langsung menangkap tubuhnya hingga tidak terjatuh untuk yang kedua kalinya.
"Ahhhk.... Perih!" Rou Yi menjerit sambil dipapah berjalan menuju ke tepi sungai.
Suro memeriksa kaki Roy Yi, pakaian daerah tulang kering bagian kanannya robek terbuka dan memperlihatkan luka yang cukup panjang akibat gesekan batu sewaktu ia tergelincir.
Pemuda itu memapah Rou Yi dan menyandarkannya pada pohon tempat ia berisitirahat, melonjorkan kedua kaki Rou Yi, lalu memeriksa keadaannya.
"Kakimu terkilir dan lecet, ...." katanya setelah melihat kondisi kaki Rou Yi.
Gadis itu mengangguk. Ia coba mengangkat kakinya yang terluka, lalu terlonjor kembali disertai jeritan.
"Ahkkk... sakit kakak!" teriaknya dengan muka menahan sakit.
Suro memijat kaki gadis itu perlahan-lahan dan membetulkan urat-urat kakinya yang terkilir dengan hati-hati. Sesekali Rou Yi meringis.
Setelah selesai, gadis itu mencoba menarik kakinya kembali, tetapi masih terasa sakit.
"Lebih baik kita pulang sekarang, ya?" ajaknya kemudian.
Rou Yi mengangguk sambil meneteskan air mata kesakitan. Dibantu Suro, ia pun berdiri. Tiba-tiba, tubuhnya kembali terjatuh dan Suro menangkapnya kembali dengan sigap.
"Apakah masih bisa berjalan?" tanya Suro.
Ia sebenarnya tahu kalau gadis itu tidak bisa berjalan. Ketakutannya adalah menyentuh Rou Yi yang bukan saudara sedarah.
Diantara rasa dongkol dan kesakitan, Rou Yi masih bisa berkata ketus, "Bukannya kakak sendiri sudah tahu kondisiku?"
Tatapan mata Rou Yi membuat Suro menggaruk-garuk kepalanya. Ia tak tahu harus bagaimana.
Gadis itu meraih tas bawaannya lalu mengaitkannya dipunggungnya, lantas memaksakan diri untuk berjalan. Baru beberapa langkah, ia menjerit dan tubuhnya nyaris terjatuh, untuk kesekian kalinya Suro menangkapnya kembali. Tetapi kali ini ia langsung menepis tangan Suro yang membantunya berdiri.
"Biarkan aku berjalan sendiri. Aku masih bisa!" katanya dengan suara agak keras, air matanya keluar, entah karena menahan sakit atau karena kesal.
Melihat kelakuan Rou Yi, Suro terdiam sesaat dalam kebingungan. Rou Yi tampak berjalan memaksakan diri dengan menyeret kakinya.
"Ah!" dalam hati pemuda itu mengumpat, meletakkan tas berisi tanaman obatnya didepan dada, lalu ia melangkah kedepan Rou Yi menghalangi jalannya dan berdiri agak menunduk membelakangi gadis itu.
"Naiklah kepunggungku, kakak gendong biar cepat sampai," katanya datar.
Rou Yi terdiam sesaat melihat punggung Suro, sementara Suro menantinya dengan hati berdebar.
Diam-diam, Rou Yi tersenyum sambil mengginggit tepi bibirnya. Tak lama kemudian ia naik ke atas punggung Suro.
Suro merasakan jantungnya berdebar sangat kencang seolah-olah hendak keluar menjebol dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sama seperti saat Li Yun memeluknya pada waktu itu. Mukanya terasa merah mirip kepiting rebus. Malu!
"Maafkan aku, kakak Luo...." Rou Yin berkata dalam hati sambil tersenyum, ia juga merasa malu.
Suro pun langsung membuang fikirannya jauh-jauh dan memulai langkah pertamanya untuk pulang kekediaman Tabib Hu sambil menggendong Rou Yi tanpa berkata-kata lagi.