Suro sangat tak menyangka, bahwa semua kejadian yang ia alami mengantarkannya langsung ke tempat tujuan. Ia dapat mengambil hikmah dari luka beracun yang nyaris merenggut nyawanya. Barangkali jika tidak demikian, ceritanya akan cukup panjang.
Sudah beberapa hari Suro tinggal di kediaman dan sekaligus tempat kegiatan pengobatan Yin Ke hu atau tabib Hu, seiring dengan peningkatan kondisi Suro yang semakin membaik setelah terkena racun Tujuh Ular dari pisau Yun Se. Hanya saja, sisa-sisa racun dalam darahnya belum sepenuhnya hilang.
Menurut tabib Hu, racun Tujuh Ular melemahkan syaraf jantung dan paru, yang mempengaruhi otot-otot dibeberapa bagian tubuhnya.
Suro duduk di tepi pembaringan, sedang dibeberapa titik meridian tubuhnya menancap beberapa buah jarum akupuntur.
Di belakangnya, Tabib Hu tengah memilih beberapa tanaman obat kering dari laci lemari yang bertuliskan nama-nama tanaman obat sementara Rou Yi sedang menumbuk bahan racikan untuk Suro yang siap untuk dioleskan.
Selesainya, tabib Hu menyerahkan racikannya untuk segera diolah kepada Rou Yi, lalu ia duduk di belakang Suro.
"Nanti aku akan ajarkan gerakan jurus Tai Chi untuk merelaksasi otot-otot tubuhmu, sekaligus mengalirkan Qi untuk memusnahkan efek racun panas Tujuh Ular. Mungkin agak susah untuk dihafal karena berbeda dengan jurus-jurus kungfu biasa," Tabib Hu berkata sambil memutar-mutar jarum akupuntur yang menempel di tubuh Suro.
Pemuda itu cuma mengangguk. Dalam hati, ia membayangkan tentang jurus Tai Chi yang ia pelajari dari tetua Huang Nan Yu.
Selama berada dikediaman Tabib Hu, ia belum bercerita apa-apa tentang maksud perjalanannya, termasuk hubungannya dengan tetua Huang Nan Yu sebagai murid dan guru. Jadi, posisinya di tempat Tabib Hu saat ini adalah sebagai seorang pasien yang membutuhkan pengobatan.
"Mohon maaf, tabib Hu," Suro berkata.
Tabib Hu mendekatkan kepalanya ketika itu agar ia lebih jelas mendengar.
"Kenapa?" tanyanya.
"Apakah tabib mempunyai murid?" Suro tak mau langsung mengutarakan maksudnya. Ia mulai memikirkan kalimat-kalimat yang pas untuk disusun secara runtut.
Tabib Hu terdiam sejenak, memfokuskan perhatiannya pada jarum yang masih menempel di tubuh Suro. Suro membayangkan kalau tabib Hu menggeleng.
"Aku tidak punya murid, selain anakku sendiri," jawabnya, "Aku terlalu sibuk dengan melayani orang-orang sekitar sini. Tak punya waktu untuk mengajar. Apalagi, ilmu pengobatan ini sangat sulit dan perlu perhatian khusus."
Tabib Hu nampaknya mulai menangkap maksud dari pertanyaan Suro, tak lama terdengar suara tawanya terkekeh.
"Kau bertanya begitu, apakah ada maksud?" tanyanya memancing.
Suro tersenyum sambil mengangguk.
Lalu ia menghela nafas sebelum menjelaskan, "Sebenarnya, Luo tinggal di kota sebelah timur dekat pelabuhan, memang berniat untuk belajar ilmu pengobatan."
"Apakah itu tempat asalmu?" tanyanya mengernyitkan dahi, seolah mempertanyakan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Suro.
"Tidak," sahutnya, "Luo berasal dari negeri di Samudera Selatan, yang bernama Jawa, kemudian dibawa oleh seorang pedagang yang saat ini adalah sebagai ayah angkat Luo. Beberapa bulan, Luo berfikir setelah melihat keadaan dimana banyaknya orang-orang miskin yang sakit dan tidak mampu untuk membayar biaya pengobatan. Kira-kira dari dasar itulah Luo berniat untuk belajar."
Tabib Hu mengangguk-angguk. "Jauh juga ya..."
"Siapa nama marga ayah angkatmu itu?" ia bertanya kemudian.
"Nama keluarga Luo adalah Yang, ...."
Tabib Hu sepertinya terlonjak kaget, seolah cukup familiar dengan nama itu. "Bukankah ada kakak Huang Nan Yu di sana sebagai pelatih Tai Chi anak gadis tuan Yang?" dia menyahut.
"Benar, Luo juga membawa surat pengantar dari tetua Nan untuk tabib...."
"Hmmm.... Apakah kau belajar Tai Chi dari beliau?"
Suro mengangguk semangat, lalu menjawab, "Iya."
Tabib Hu tak langsung memberikan jawaban, tangannya mencabuti satu-persatu jarum akupuntur yang menancap di tubuh Suro. Kemudian meletakkannya di wadah khusus seperti nampan.
"Jika demikian, tentu lebih mudah. Demi menghormati kakakku, maka aku akan mengajarimu ilmu pengobatan," katanya.
Setelah itu ia berdiri merapikan alat-alatnya. Posisinya kemudian digantikan oleh Rou Yi yang sudah siap dengan mangkuk berisi obat oles untuk luka di bahu Suro. Seperti biasa, tangan gadis itu langsung bekerja dengan hati-hati dan lembut. Ia mendengarkan percakapan ayahnya dengan Suro.
"Aku akan memberikanmu teori-teori dasar, dan nanti secara praktek Rou Yi yang akan membimbingmu," ia melanjutkan.
Tak lama, ia pun keluar dari ruangan menemui beberapa orang pasien yang sudah antri menunggu giliran.
Rou Yi tersenyum begitu mendengar ayahnya mengatakan dirinya nanti akan membimbing Suro dalam hal praktek.
Tak butuh waktu lama, Rou Yi bangkit dari duduknya setelah membalut luka Suro dengan perban. Sebuah cawan di atas meja yang berisi cairan obat diberikannya pada Suro.
"Engkau sudah bisa minum sendiri, habiskanlah!" katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih, Nona Yi," Suro menyambut senyumnya.
Ekspresi wajahnya kini terlihat lebih santai ketika meneguk cairan obat, ia sudah mulai terbiasa.
***
Malam harinya, Suro dibawa kesebuah ruangan khusus, yang lebih tepat disebut sebagai perpustakaan. Karena didalamnya penuh dengan buku-buku yang kebanyakan berisi tentang pengobatan yang disusun rapi pada rak-rak lemari.
Suro berdecak kagum. Dalam hati ia sudah berniat akan membuat ruangan semacam ini jika ia mempunyai rumah sendiri.
Tabib Hu yang memperhatikan Suro tampak tersenyum. Ia mulai menangkap keseriusan si pemuda untuk belajar.
Ia kemudian menuju ke salah satu meja yang paling besar, duduk pada salah satu bangku yang kosong.
Setelah menyediakan kertas, pena dan tinta, ia meminta Suro untuk duduk disebelahnya.
Dengan pena, ia menulis dan menggambarkan sebuah diagram, kemudian mulai menjelaskan apa yang dilakukannya.
"Ingatlah ini!" ia mengatakan pada Suro sambil menunjuk kertas yang sudah ia isi dengan tulisan dan gambar-gambar. "Manusia itu merupakan bagian dari alam, oleh sebab itu, fenomena apa yang terjadi di alam digambarkan dalam tubuh manusia. Ada hukum keseimbangan yang berlaku didalamnya, disimbolkan dengan Yin dan Yang. Secara garis besar, pengobatan yang digunakan juga mengacu pada hukum ini. Ada juga yang dinamakan dengan Wu Sing, yakni hukum lima unsur. Meliputi; Kayu, Api, Tanah, Logam, dan Air, yang masing-masing masing mewakilli organ Zhang dan Fu, yakni Hati-Kandung empedu, Jantung-Usus Kecil, Limpa-Lambung , Paru-Usus besar dan Ginjal-Kandung Kemih...."
Panjang lebar tabib Hu menjelaskan teori dasar pengobatan, sementara Suro nampak menyimak dengan serius. Sesekali ia mengangguk dan sesekali juga ia bertanya ketika tabib Hu memberinya kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang belum difahaminya.
Selesai pemberian materi, tabib Hu meminta kepada Suro untuk mengulang kembali apa yang sudah dijelaskan.
Lelaki itu manggut-manggut sambil sesekali mengusap janggutnya begitu memperhatikan apa yang disampaikan Suro, terkadang ia pun mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mampu dijawab dengan lancar oleh pemuda itu.
"Hmmmm...." tabib Hu tersenyum puas, "Pelajaran hari ini sudah cukup. Kau mampu menangkap semua yang kuberikan."
Tabib Hu tampaknya mengagumi kecerdasan Suro dalam memahami apa yang disampaikannya. Bahkan pertanyaan yang mengembang terkait dengan materi dasar pelajaran yang disampaikan pun bisa diterangkan secara jelas dan tidak menyalahi logika.
"Terima kasih, Tabib Hu. Semua karena keikhlasanmu dalam mengajari Luo," katanya merendah, ucapan itu membuat Tabib Hu tertawa.
"Baiklah," ia kemudian berdiri, "Sekarang waktunya untuk mengobati luka dalammu dengan gerakan-gerakan Tai Chi."
Suro menyusul berdiri. Mengikuti langkah tabib Hu keluar ruangan menuju halaman.
"Perhatikan baik-baik!" katanya.
Lelaki itu berdiri dengan sikap pembukaan dari Tai Chi, tangan dan kakinya bergerak bersamaan, merentang di depan dada dan kaki turun menekuk. Melanjutkan dengan membuka kaki, pinggul berputar ke kanan selaras dengan perputaran kaki dan tangan.
Kaki bergerak, tangan berayun, tubuh bergerak mundur, lalu kaki kiri melangkah ke depan seiring pinggul yang berputar, diikuti dengan ayunan tangan mendorong.....
Jurus itu terdiri dari sepuluh gerakan, tidak mengandung serangan, semuanya bergerak dan berayun lembut dengan kunci kekuatan merata. Bagi orang yang tidak memiliki dasar Tai Chi gerakan itu bisa dihapal berhari-hari, tetapi bagi Suro, gerakan itu merupakan potongan-potongan jurus yang dirangkai menjadi gerakan baru, dan ia cukup menghafal nama gerakannya itu.
"Ketika gerakan mendorong maka nafas keluar, ketika menarik maka nafas harus masuk, bergerak secara alami, tanpa paksaan dan sesuai alur. Lembut seperti ulat sutera, rapuh seperti sayap capung, mengalir tanpa putus seperti air yang mengalir. Maka qi dari tantian akan keluar keseluruh meridian-meridian," tabib Hu menjelaskan sambil mempraktekkan gerakan-gerakan Tai Chi.
"Kau sudah hafal?" tanyanya kemudian.
"Sudah," pemuda itu menyahut.
Tabib Hu tampak tertawa puas, lalu berjalan ke posisi Suro kemudian meminta Suro untuk mempraktekkannya.
Pemuda itu berdiri diam sesaat, dalam hati ia mengulang nama-nama gerakan yang dihafalnya sesuai urutan. Sekejap kemudian, ia mulai bergerak dengan lembut dan bernafas teratur mengikuti pola gerakan.
Setelah berakhir, Tabib Hu memanggilnya.
"Tampaknya, kau sangat ahli dalam beladiri tingkat tinggi, ya?" ia bertanya.
Suro tampak ragu menjawab. Ia malu bila dikatakan menguasai ilmu beladiri tingkat tinggi.
"Luo tidak tahu, apakah beladiri Luo itu termasuk tingkat tinggi," Suro menyahut.
Tabib Hu menggeleng dan tersenyum, lalu berkata, "Aku tahu dari Konfu yang dihasilkan. Sepertinya mirip dengan Taichi, tetapi cenderung keras."
"Jadi apakah itu berpengaruh pada diri Luo?"
Tabib Hu tampak berfikir. Kemudian ia menggelengkan kepalanya lagi. Cukup lama ia terdiam seolah merenungkan sesuatu.
"Pada tubuhmu tidak akan berpengaruh, tetapi aku khawatir ilmu beladiri yang kau kuasai bertahun-tahun akan hancur." katanya menerangkan.
Hal itu cukup mengejutkan Suro. Ia mencoba memahami perkataan lelaki itu. Apa yang dimaksud dengan hancur? Apakah kembali ke titik nol? Kebiasaannya muncul, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan tampang lugu.
Melihat Suro nampak bimbang, Tabib Hu tertawa keras. Kelihatannya ia senang dan terhibur melihat tingkah laku pemuda yang baru saja menjadi muridnya itu.
"Tetapi," lanjutnya,"Jika kau mampu menempatkannya, bela dirimu yang semula perak akan menjadi emas."
Tiba-tiba saja kalimat itu mengingatkannya pada tetua Huang Nan Yu yang melatihnya pertama kali dasar-dasar Tai Chi.
"Tetua Nan pernah mengatakan itu pada Luo," Suro menjawab.
Akhirnya, senyum kecil tersirat dari wajahnya yang nampak sedikit berkerut. Ia menyadari sesuatu, mengapa pemuda dihadapannya itu mampu bertahan lebih lama ketika keracunan.
"Sepertinya aliran beladiri yang kau pelajari tidak menimbulkan bentrokan dalam tubuhmu. Justru mampu berkolaborasi dengan Qi yang ditimbulkan dari latihan Tai Chi. Itulah sebabnya aku berfikir, kenapa daya tahan tubuhmu terhadap racun lebih kuat," katanya, "Apakah selama ini ketika engkau memainkan jurus-jurus Tai Chi mengalami kendala pada titik-tik meridian ditubuhmu?"
"Emmm....." pemuda itu menjawab sambil berfikir, mengingat-ingat hasil latihannya,"Tidak, justru Luo merasa lebih segar, dan setiap melakukan gerakan Tai Chi, seperti ada tenaga besar yang meliputi telapak tangan."
"Baiklah, kalau demikian, itu tidak masalah. Aku memintamu untuk melakukan mengulang gerakan jurus itu sebanyak 100 kali," katanya.
Suro membelalak. 100 kali?
Ia tak banyak berfikir, dengan keyakinan lelaki dihadapannya itu adalah seorang ahli dan yang diperintahkan pasti bermanfaat buat dirinya.
"Baiklah!" katanya mengangguk semangat.
Tabib Hu mengangguk, kemudian ia berbalik meninggalkan Suro yang masih berdiri di tengah halaman.
"Silahkan lakukan," perintahnya tanpa menoleh, "Setelah minum teh, aku akan kembali melihatmu lagi!"
Suro mengepalkan kedua tangannya ke depan sambil menunduk memberi hormat, "Luo akan lakukan!"
Setelah Tabib Hu tak terlihat lagi, Suro kembali pada posisinya, bersiap melakukan yang diperintahkan oleh Tabib Hu, 100 kali!