Terlambat sepersekian detik, tubuh lelaki berpakaian kuning itu bakal menjadi santapan pedang Yun Se.
Suro melakukan tendangan melayang ke tubuh Yun Se, hingga membuat tubuh Yun Se terlempar dan pedangnya meleset ke tempat kosong.
Lelaki yang berpakaian kuning itu menoleh ke arah penolongnya. Sesosok tubuh mengenakan topeng kain hitam sudah berdiri dihadapannya dengan sebuah tongkat rotan pendek sepanjang pedang. Ia selamat dari maut!
Ia merasa pernah melihat pakaian yang dikenakan sesosok tubuh dihadapannya. Tetapi dalam situasi seperti itu ingatannya mendadak buntu. Sementara, dua sosok tubuh milik kedua rekannya sudah terkapar tak bernyawa. Mati lebih cepat sebagai dampak dari racun yang berasal dari pedang Yun Se.
Ia melihat Yun Se sudah berdiri tegap sambil menghunuskan pedangnya ke arah lelaki penolongnya.
"Oh, ada pendatang baru rupanya!" Yun Se berkata mengejek.
Suro memasang kuda-kuda, rotan pendek yang menjadi senjata andalannya nampak siap beradu. Ia sengaja tak menyahut.
"Baiklah, terima ini!"
Selesai berkata, Yun Se kembali menusukkan pedangnya dengan cepat, Suro memiringkan badan dan menepis sisi tumpul pedang Yun Se, tangannya yang bebas melakukan serangan pukulan secepat kilat.
Cukup gesit, serangan Suro dimentahkan dengan tangkisan tangan Yun Se, lalu balas mengibaskan pedang dari bawah ke atas. Tongkat rotan mengambil alih dengan mematahkan tubuh pedang hingga pedang itu terasa bergetar di tangan Yun Se.
Bunyi suitan pedang mau pun tongkat rotan saling bersautan membelah udara, menunggu kesempatan merubah suara benturan terdengar ditubuh masing-masing lawannya.
Suro nampak begitu kerepotan menghadapi serangan-serangan maut dari Yun Se karena terlalu terfokus pada pedang yang beracun hingga membuatnya terlalu berhati-hati. Teriris sedikit saja, kemungkinan nyawa bisa melayang, bukan karena lukanya tapi karena racunnya.
Setelah begitu lama terjadi bentrokan, sedikit demi sedikit Suro bisa mengendalikan perasaannya yang terfokus pada kata "Racun", hingga ia bisa menguasai pertarungan.
Yun Se semakin terdesak, beberapa kali tubuhnya mendapat gebukan dan tusukan dari rotan Suro. Jika senjata di tangan Suro itua dalah senjata tajam, nyawanya sudah tentu melayang.
Akhirnya ia menyadari, Suro bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan. Jika diteruskan ia pasti kalah entah dalam keadaan babak belur atau mati.
Setelah satu sabetan ke arah perut, Suro beringsut mundur menghindar. Yun Se mengambil kesempatan melompat ke belakang, lalu secepat kilat ia membaikkan badan dan langsung melarikan diri dari pertarungan dengan menerobos kerumunan orang-orang yang menonton.
Suro terdiam memandangi tubuh Yun Se yang perlahan menghilang di kegelapan malam, di balik topengnya, ia tersenyum.
"Tuan pendekar!" lelaki berbaju kuning itu memanggil Suro.
Ia menoleh dan membalikkan tubuhnya menghadap lelaki berpakaian kuning itu. Tiba-tiba, dari mulut Suro terdengar jeritan kecil disusul tubuhnya yang terjatuh bersimpuh di tanah. Tangannya langsung memegangi belakang bahunya yang sakit dan mendapai sebuah pisau sudah tertancap di sana.
Lelaki berbaju kuning itu terkejut, dan langsung membantu tubuh Suro yang nyaris jatuh tersungkur ke tanah.
Setelah menyadari penyebab kenapa penolongnya itu terjatuh, ia langsung menarik pisau yang menancap ditubuh Suro dan langsung menghempaskannya ke tanah dengan marah.
"Pengecut!" Ia mengumpat.
Suro masih dapat melihat, lelaki itu tampak panik berteriak-teriak meminta pertolongan pada orang-orang yang ada disekitar mereka. Tapi tak ada yang berani mendekat.
"Aku tak apa-apa," Suro berkata sambil menahan sakit.
Ia merasakan dari tempat lukanya mengalir rasa hangat yang perlahan mulai menyebar ke lengannya.
"Ini beracun!" lelaki berpakaian kuning itu berkata.
"Tolong ambilkan kudaku dan tuntun aku ke penginapan!" Suro meminta tolong dengan suara susah payah.
Dalam benaknya terfikir ia akan mati, tetapi ia tak mau mati dijalanan!
***
Di kamar penginapan, Suro membaringkan tubuhnya di atas pembaringan dibantu lelaki yang ia tolong. Topengnya sudah terbuka.
"Tuan pendekar, lukamu harus segera ditangani, karena beracun!"
Suro tak mampu menjawab, ia cuma menatap lelaki dihadapannya berharap meminta pertolongan. Ia merasakan dari bahu belakangnya yang terluka rasa panas mengalir melalui aliran darahnya menuju ke tangan, dadanya sesak dan kepalanya mulai pusing.
Ia masih bisa merasakan tubuhnya dibopong dan dinaikkan ke atas punggung kuda, setelah itu ia tak sadarkan diri!
***
Suro membuka matanya, telinganya mendengar suara berdenting yang beradu beberapa kali disebelahnya. Seorang gadis sedang duduk menghadap ke samping tengah mengaduk-aduk sebuah mangkuk porselin dengan sebatang kayu kecil berbentuk bundar. Beberapa kali kayu pengaduk diangkatnya hingga sesuatu benda kental menetes dari ujungnya, lalu ia kembali mengaduk.
"Li Yun?" ia memanggil ragu gadis itu dengan suara lirih.
Badannya terasa demam ditambah kepalanya yang terasa sangat pusing, nafasnya pun terengah-engah. Matanya mengernyit ketika ia menggerakkan tubuhnya menahan rasa sakit. Ia baru ingat jika bahunya terluka terkena serangan pisau beracun yang dilempar dari jarak jauh dengan menggunakan tenaga dalam.
Gadis itu menoleh ke arah Suro, dan membuat pemuda itu terkejut.
Oh, ternyata bukan Li Yun! Ia membatin.
Gadis itu berdiri lalu melangkah kearahnya yang sedang terbaring di atas pembaringan.
Matanya yang bening menatap Suro sambil menyungging senyum, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Suro untuk memeriksa suhu badan Suro yang sedang panas, kemudian memegangi pergelangan tangan Suro memeriksa nadinya sambil berkonsentrasi.
Gadis itu lalu mengambil mangkuk porselin yang semula ia pegang, lalu kembali duduk di kursi samping pembaringannya. Memberi isyarat pada Suro untuk memiringkan tubuhnya.
Suro menuruti isyarat dari gadis itu, lalu ia membuka pakaian Suro di area bahunya yang terluka. Bekas luka itu sudah terlihat diolesi semacam cairan kental berwarna hijau. Warna biru keungungan yang merupakan racun terlihat jelas melingkari titik luka.
"Kakak, siapa namamu?" tanyanya sambil membersihkan sisa-sisa cairan berwarna hijau dengan sebuah kain basah, setelah bersih lalu mengolesinya kembali dengan cairan yang sama dari mangkuk yang ia bawa.
Suro sesekali mengernyitkan dahi menahan perih setiap area lukanya disentuh cairan hijau itu.
"Luo Bai Wu," jawabnya.
"Oh, kakak Luo. Namaku Rou Yi ," katanya memperkenalkan diri sambil meratakan cairan hijau itu pada lukanya.
Gadis yang bernama Rou Yi itu sepertinya sudah sangat berpengalaman dan cekatan dalam merawat luka. Terbukti dengan tanpa ragu-ragu tubuh Suro yang terluka dikerjakannya dengan cepat. Tak lama, tubuhnya yang luka sudah terbalut dengan kain perban.
Selesainya, Rou Yi mengambil sebuah cawan dari atas meja, mengaduknya sebentar dengan sendok, lalu dengan sendok itu ia menyuapi Suro.
Suro perlahan membuka mulutnya, sebuah cairan yang sangat pahit membasahi lidah dan masuk ketenggorokan membuat matanya menyipit menahan pahit. Ia terbatuk saking pahitnya.
Gadis itu berhenti sejenak membiarkan Suro tenang dengan batuknya.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan senyum ramah.
Tak langsung menyahut, Suro berusaha mengambil nafas lebih dalam, agak susah ia bernafas.
"Pusing dan sesak," jawabnya.
Setelah itu, Rou Yi kembali menyuapi Suro sedikit demi sedikit hingga cairan dalam cawan itu habis.
Sambil berbaring, Suro berusaha mengenali keadaan sekelilingnya. Semua yang ada tampak sederhana dan tertata rapi, beberapa buah tembikar, beberapa cawan porselin, dan sebuah lemari dengan laci-laci kecil, dimana setiap laci bertuliskan sesuatu yang tidak bisa Suro lihat secara jelas berada dalam ruangan itu.
"Kakak Luo terkena racun mematikan. Racun ini dikenal sebagai racun Tujuh Ular," Rou Yi menjelaskan.
"Kupikir aku akan mati," Suro berkata.
Dilihatnya Rou Yi tertawa kecil sambil meletakkan cawan dan mangkuk di atas meja. Lalu ia kembali duduk disamping Suro.
"Racun tujuh ular ini akan membunuh orang tidak lebih dari enam jam maksimal. Menyerang syaraf jantung dan paru. Tetapi kakak dibawa kesini sudah lewat dari sepuluh jam, masih bisa bertahan. Sebuah keajaiban!" katanya takjub.
"Berapa lama sudah aku berada disini?" tanya Suro.
"Sudah satu hari kakak pingsan," Rou Yi menjawab.
Suro cukup terkejut mendengarnya, "Satu hari?"
Gadis itu mengangguk mengiyakan.
Ia pikir ia akan mati dan terbangun sudah berada di alam lain.
Ia sudah membayangkan bagaimana keadaan orang-orang yang disayanginya itu begitu sekian lama menunggu, ternyata yang ditunggu tidak pernah datang.
Seperti yang dikatakan oleh Rou Yi, racun tujuh ular merupakan racun yang ganas, dan tidak ada yang selamat dalam waktu maksimal enam jam. Sedangkan Suro sudah terkena racun lebih dari sepuluh jam, dan masih dalam keadaan hidup. Hal ini membuatnya bersyukur.
"Alhamdulillah," Suro berkata lirih nyaris tak terdengar.
Gadis itu mendekatkan telinganya begitu mendengar ucapan yang asing dari bibir Suro. Wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu.
"Dari warna kulit dan rupa wajahmu, kakak bukan berasal dari sini, ya?" Rou Yi menebak.
Suro mengangguk lemah.
Ia memejamkan matanya sejenak, merasakan secara perlahan rasa panas yang memenuhi tangan hingga bahunya berangsur berkurang, berrikut dengan rasa pusing dikepalanya.
Cepat sekali, ia membatin.
"Aku berasal dari negeri seberang di sebuah pulau di samudera selatan yang disebut Jawa," terangnya, hal itu membuat raut wajah Rou Yi berubah seperti membayangkan sesuatu.
"Jauh sekali," katanya.
Sekali lagi ia mengangguk. Ia memperhatikan karakter gadis didepannya, sepertinya gadis yang tidak banyak bicara.
Tiba-tiba, Suro teringat akan lelaki berpakaian kuning yang membawanya malam itu.
"Oh, ya. Dimana lelaki yang membawaku kemari itu?"
"Oh, Dia sempat menunggumu beberapa jam di sini, tetapi setelah melihat kondisimu sudah melewati saat kritis, dia kembali ke kota menyelesaikan urusan. Tapi ia berpesan akan kembali kemari untuk melihat keadaanmu," Rou Yi menjelaskan.
"Apa kakak kenal dia?" Rou Yi kembali bertanya.
Suro menggeleng, lalu berkata, "Aku tidak kenal."
"Dia sudah menceritakannya panjang lebar kejadian yang kakak alami," kata Rou Yi.
Pemuda itu mencoba menarik nafas panjang, tapi dibanding dengan sebelumnya, ia merasa jauh lebih baik.
"Baiklah kalau begitu," tiba-tiba Rou Yi berdiri dari kursinya, "istirahatlah, nanti aku akan kembali lagi."
Rou Yi kemudian melangkah keluar dari ruangan.
Suro langsung teringat dengan adik angkatnya, Li Yun, persis pada saat Li Yun melangkah pergi lalu mengucapkan kalimat yang tidak ia sangka beberapa malam sebelumnya.
Rou Yi kira-kira seusia dengan Li Yun. Keduanya memiliki postur tubuh yang sama dan juga sama-sama memiliki wajah yang cantik, cuma perbedaannya adalah, Rou Yi tampak lebih dewasa dan Li Yun terkesan masih kekanak-kanakan.
Ia tersenyum sendiri mengingat adik angkatnya itu dengan segala tingkah lakunya. Kemudian teringat orang-orang yang selama ini berada dalam lingkaran hidupnya, ayah dan ibu angkatnya, serta Tan Bu.
Ah, baru beberapa hari aku sangat merindukan mereka. Ia membatin.
Untuk sementara, saat ini ia harus menyembuhkan lukanya terlebih dahulu, baru kemudian pergi ke tempat yang menjadi tujuannya, yakni ke Lembah Gezi, dimana seorang tabib yang bernama Yun Ke Hu tinggal.
Setelah itu baru ia memutuskan apakah akan bersembunyi di kuil Shao Lin, atau berkelana tanpa tujuan, atau kembali ke rumah.
Ah, ia terlihat bingung memikirkannya.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan fikirannya sejenak dari segala urusan, mengatur nafasnya berusaha untuk kembali tidur.
Tiba-tiba, ia membuka matanya perlahan begitu telinganya mendengar suara langkah kaki ringan memasuki kamarnya.
Melihat seorang lelaki paruh baya sudah berdiri di sisi pembaringannya, ia tersenyum menyapa lalu lelaki itu membalas senyumannya. Wajahnya ditumbuhi kumis dan janggut tipis yang sebagian sudah memutih, sorot matanya tajam tetapi terlihat santun memandangnya.
"Bagaimana keadaanmu?" ia bertanya sambil memeriksa nadinya.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik dari sebelumnya."
Jawaban Suro membuat lelaki paruh baya itu mengerutkan dahinya, seperti heran. Tapi tak lama raut wajahnya kembali normal.
Ia mengangguk-angguk setelah menganalisa hasil diagnosa nadinya.
"Hmm...sudah ada perubahan. Nanti aku akan memberikanmu tusukan jarum dibeberapa titik untuk membersihkan beberapa jalur energimu," katanya memberi informasi.
Suro mengangguk pasrah.
"Saya mengikuti petunjuk tuan saja," jawabnya.
Tiba-tiba, Rou Yi sudah muncul dibelakangnya dengan membawa nampan berisi sesuatu.
"Kuletakkan disini, ya, Yah," katanya sambil meletakkan nampan berikut barang diatasnya di atas meja.
Ternyata, lelaki ini adalah ayahnya Rou Yi, Suro membatin.
Dilihatnya lelaki itu mengangguk.
"Siapa namamu?" ia bertanya.
"Luo Bai Wu," Suro menjawab.
Lelaki itu mengangguk, "Namaku Yin Ke Hu, orang-orang memanggilku Tabib Hu."
Hampir-hampir ia terbatuk dan membelalakkan matanya ketika lelaki dihadapannya itu menyebutkan sebuah nama.
"Tabib Yin Ke Hu?"