Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 24 - Perjalanan ke Lembah Gezi

Chapter 24 - Perjalanan ke Lembah Gezi

Beberapa hari kemudian....

Zhou Lin memeluk Suro begitu erat seakan tak dibiarkannya anak angkat kesayangannya itu pergi. Air matanya mengalir begitu deras sampai-sampai membasahi pakaian yang ia kenakan. Kehangatan air mata sang ibu seperti membanjiri hatinya.

"Anakku!" katanya.

"Ibu, sudahlah. Ananda minta kerelaannya melepas ananda pergi. Ananda pasti akan memberi kabar," Suro membelai wajah ibu angkatnya itu, membujuknya agar ia berhenti menangis, "Toh, ini hanya sementara saja ananda pergi."

Agak lama, akhirya Zhou Lin melepaskan pelukannya.

Hari dimana Suro akan pergi sudah tiba, Yang Meng, Li Yun, Tan Bu dan tetua Huang Nan Yu juga ada turut melepas kepergiannya. Mereka semua terlihat sedih, hanya Yang Meng dan Tan Bu yang nampak berusaha tegar.

"Anakku, berhati-hatilah di jalan, " Yang Meng memegang pundak Suro, kemudian beralih dengan memeluknya.

Suro mengangguk, perasaannya yang sudah memuncak akhirnya tumpah menjadi air mata. Ia tak tahan lagi.

"Adikku, teruslah berlatih!" Tan Bu memberi nasehat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tak sanggup berkata-kata lagi.

"Semoga apa yang kuajarkan membuat bela dirimu yang semula perak akan menjadi emas!" kali ini Tetua Huang Nan Yu turut berkomentar.

Ketika tiba giliran Yang Li Yun, gadis itu langsung menangis sejadi-jadinya, seperti tak perduli, ia langsung memeluk erat tubuh Suro. Pemuda itu balas memeluk dan membelai kepala gadis itu dengan lembut.

"Kakak, maafkan adikmu ini," katanya berbisik diselingi tangisannya yang menderu-deru.

"Apa yang kau bicarakan," balasnya berbisik, "Sedikitpun kakak tak menyalahkanmu, ini sudah takdir."

Suro melepaskan pelukannya, lalu memegang pundak Li Yun dengan kedua tangannya, "Ingatlah apa yang sering kakak sampaikan padamu...." ucapnya sambil mengusap air mata di pipi Li Yun.

Li Yun mengangguk pelan tak berkata.

Selesai berpamitan, Suro menaiki kuda hitam yang disediakan oleh Yang Meng. Setelah memeriksa bahwa perbekalan sudah tergantung di sisi kiri dan kanan pelana, ia memacu kudanya berjalan perlahan meninggalkan keluarga Yang tanpa menoleh lagi.

Setelah semuanya berlalu, beberapa saat tubuh Suro menghilang dari pandangan. Li Yun langsung memisahkan diri dari keluarganya dan berjalan menuju kamarnya.

Setibanya di kamar, ia langsung duduk di tepi pembaringan. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari balik lipatan baju yang ia kenakan, sepucuk surat kecil dari Suro yang diberikannya sebelum mereka berkumpul di pintu gerbang rumah.

Ia membukanya perlahan, lalu kemudian tersenyum membaca tulisan di kertas yang begitu singkat : "Aku Juga."

"Kakak, tulisanmu jelek," ia berkata lirih sambil mengusap sisa-sisa airmatanya.

***

Perjalanan menuju Lembah Gezi.

Menjelang malam, Suro tiba disebuah kota yang cukup ramai, setelah berjalan ke arah Selatan dari kediamannya selama dua hari.

Berkat petunjuk dari Tan Bu, Suro mendapat informasi jalan alternatif yang lebih cepat menuju lembah Gezi. Ia harus melewati hutan bambu, dan bermalam sehari di dalamnya. Tan Bu juga memberi peringatan pada Suro, bahwa daerah sepi biasanya banyak perampok yang berkeliaran. Tetapi karena mengetahui keahlian beladiri Suro cukup tinggi, maka Tan Bu tak begitu khawatir padanya.

Lain hal jika ilmunya setengah-setengah, maka Tan Bu pasti memilihkan jalan yang umum dan sering digunakan oleh masyarakat dengan berbagai kepentingan.

Mengenai Tabib Yin Ke Hu, Suro mendapatkan rekomendasi dari Tetua Huang Nan Yu, karena ternyata, tabib itu adalah adik seperguruan dari tetua Huang Nan Yu.

Diceritakan oleh tetua Huang Nan Yu, Tabib itu memang sangat rendah hati, tetapi juga sangat tertutup dan tidak pernah menerima sembarang orang untuk menjadi muridnya, dengan alasan ilmu pengobatan yang diajarkan sangatlah rumit dan akan menghabiskan waktunya untuk melayani orang-orang yang sakit.

Berkaitan dengan filosofi Tai Chi, Suro yang juga merupakan murid tetua Huang Nan Yu tentu tidak akan mengalami kesulitan nantinya untuk mempelajari ilmu pengobatan yang akan diajarkan oleh tabib Yin Ke Hu.

Tentu saja hal ini membuat Suro bersyukur, Allah SWT seperti membuka jalan yang mulus untuknya.

Ia memutuskan untuk menginap di salah satu penginapan yang tidak terlalu ramai yang ada di kota itu. Setelah melakukan aktivitas rutin, ia pun berjalan keluar dari penginapan untuk mencari sebuah rumah makan.

Di sebuah rumah makan yang cukup ramai pengunjung, ia mengambil sebuah meja kosong tempat paling sudut. Tak lama setelah memesan makanan, tiga orang lelaki memasuki warung makan dengan santai lalu duduk tak jauh dari tempatnya.

Dari pedang yang dipegangnya, Suro bisa menebak kalau mereka adalah para pendekar. Masing-masing berpakaian dengan warna yang berbeda, putih, kuning, dan hijau muda.

Tak lama, makanan yang dipesan oleh Suro sudah terhidang di atas mejanya. Sembari menyantap makanannya, ia dapat mendengar obrolan para pendekar yang baru datang itu.

"Kabarnya, setelah Perwira Chou menghilang, seorang pendekar yang menjadi momok dunia persilatan beberapa puluh tahun lalu muncul kembali. Kupikir ia telah tewas," berkata salah seorang dari mereka yang berpakaian kuning. Ia tampak paling tua diantara mereka bertiga.

"Apakah hilangnya Perwira Chou itu karena tewas dibunuh olehnya?" bertanya yang berpakaian hijau muda.

Lelaki yang berpakaian warna kuning mengangkat bahu, tanda ia tidak tahu kebenarannya. Lalu berkata lagi, "Tidak ada yang tahu. Tapi ada informasi, bahwa Perwira Chou terluka dalam pertarungan di wilayah barat, diperbatasan kota oleh seorang lelaki bertopeng kain hitam. Kemungkinan dia tewas karena lelaki itu. Karena kudengar, Perwira Chou terluka parah dan tak dapat bangun akibat pukulan."

Yang berpakaian putih kemudian tertawa terkekeh, sesaat kemudian makanan yang mereka pesan sudah datang. Dialog pun kembali terjadi.

Sambil tersenyum mengejek dan menyiapkan mangkuknya, ia pun angkat bicara, "Syukurlah kalau dia mati. Mentang-mentang dia itu aparat pemerintah, bisa seenaknya saja berlaku kejam dengan rakyat."

Ucapan itu langsung disambut suara tawa yang lainnya sambil mengangguk dan mengambil porsi santapannya.

"Jika lelaki bertopeng itu bisa mengalahkan perwira Chou dengan luka separah itu, kemungkinan ia adalah ahli beladiri yang tinggi," lanjutnya.

"O ya, siapa nama pendekar yang menjadi momok itu?" tanya yang berpakaian hijau muda.

"Namanya Ye Chuan, berjuluk Pendekar Naga Api!" jawabnya.

Mendengar nama itu, sontak mereka berdua menghentikan aktivitas makannya dengan wajah terkejut.

"Bukannya dia sudah menghilang sejak sepuluh tahun lalu? Kukira dia menghilang karena tewas." Kata si baju hijau muda.

"Wah," si baju putih menelan makanannya, "Si Naga Api ini orangnya tidak suka kalah, dan sudah terbukti sangat berambisi menguasai dunia persilatan. Bisa jadi, orang yang mengalahkan Perwira Chou akan jadi buruannya."

Yang lain mengangguk tanda sepakat.

Sambil menyantap makanannya, Suro bertanya-tanya dalam hati. Apakah Perwira Chou mati terkena pukulannya ataukah karena dibunuh oleh orang yang berjuluk Pendekar Naga Api alias Ye Chuan?

Berani sekali jika memang Ye Chuan si Naga Api membunuh aparat pemerintah. Jelas ia akan menjadi buronan.

"Tapi,..." Suro menajamkan telinganya untuk mendengar suara lelaki berbaju kuning, "Aku melihat, antara Perwira Chou dan Ye Chuan si Naga Api itu ada hubungan. Karena Ye Chuan pasti berfikir dua kali untuk membunuh seorang tentara pemerintah. Sekuat apa pun dia, kalau melawan pemerintah pasti akan berujung di tiang gantungan."

"Jadi apa maksudmu?" si baju hijau muda bertanya penasaran.

Lelaki berpakaian kuning tak berhenti menyantap makanannya, lalu ia melanjutkan.

"Bisa jadi, Ye Chuan waktu itu menghilang karena dikurung. Lalu ketika Perwira Chou kalah bertarung dan dia tidak tewas, maka ia berusaha membalas dendam dengan memanfaatkan Ye Chuan si Naga Api."

Suro nampak mengangguk-angguk faham. Ia mengakui analisa lelaki berpakaian kuning itu masuk akal. Karena kekalahannya yang tidak mungkin bisa ia tebus, maka dia melakukan upaya balas dendam dengan cara memanfaatkan orang yang bernama Ye Chuan Si Naga Api.

Jika dia mau, pasti waktu itu Perwira Chou sudah mati ditangannya, tetapi mengingat rasa kemanusiaan dan ketakutan untuk membunuh, maka ia urungkan niatnya.

"Ketinggian ilmu kungfunya sungguh menjadi momok. Betapa banyak para ahli kungfu yang tewas ditangannya." Lelaki berpakaian putih menyahut, "Aku yakin, dia pasti mencari orang yang sudah mengalahkan Perwira Chou!"

Tiba-tiba, seorang lelaki masuk, dan langsung mengambil tempat duduk yang tersisa dalam satu meja.

Ketiga lelaki tadi terkejut, dan menatapnya dengan heran.

Ia memukul meja, hingga menimbulkan suara gemericing mangkuk dan piring yang ada diatasnya.

Lelaki itu berpakaian sama putih, wajahnya cukup tampan dihiasi dengan kumis tipis, tetapi raut mukanya nampak angkuh. Usianya hampir sama dengan ketiga lelaki itu, sekitar empat puluhan tahun.

"Kalau tidak salah anda adalah Xiou Yun Se," berkata si baju putih.

Mendengar lelaki itu menyebut namanya, ia tersenyum sombong.

"Aku dengar, kalian sudah menyebut-nyebut Ye Chuan Si Naga Api. Jika benar masih hidup, aku akan mencarinya untuk balas dendam!"

Lelaki yang berpakaian putih menaruh supitnya di samping mangkuk makannya, lalu bersandar, memandang tidak suka terhadap orang yang baru datang itu.

"Memangnya siapa Xiou Yun Se!" ejeknya, "Merasa ilmu paling tinggi!"

Kedua temannya pun mengambil sikap yang sama. Mereka saling pandang dan kemudian tertawa mengekeh.

Xiou Yun Se tidak langsung berkata, ia malah ikut tertawa dengan suara yang lebih keras hingga mengejutkan semua orang yang ada disitu.

"Guruku dulu salah satu ahli kungfu ternama yang dikalahkan oleh Naga Api Ye Chuan. Aku muridnya si Pedang Ular Yun Se, sudah berlatih puluhan tahun selama ini yakin akan dapat mengalahkan Naga Api Ye Chuan!" katanya dengan suara keras memperkenalkan diri.

Keangkuhannya sangat terlihat jelas merasa diri sebagai ahli pedang terhebat.

"Hmm... Kebetulan bertemu di sini! Aku ingin menjajal kemampuanmu!" lelaki berbaju putih angkat bicara, tangannya meraih pedang dan mengepalkan tangannya di depan dada.

"Aku juga ingin mencoba jurus pedangmu, yang konon sangat beracun!" menyahut lelaki berbaju kuning.

Tiba-tiba, seorang lelaki datang tergopoh-gopoh dengan muka pucat. Ia adalah pemilik rumah makan itu.

"M-maaf, tuan-tuan," katanya dengan suara gemetar, "Mohon untuk tidak membuat keributan di sini."

Yun Se memandang lelaki itu dengan tatapan mengancam. Tiba-tiba, tangannya bergerak menampar wajah si pemilik rumah makan.

Plak!

Tubuh si pemilik rumah makan terputar nyaris terjatuh jika tidak ditangkap oleh lelaki berbaju hijau muda. Ia menjerit kesakitan sambil memegang pipinya, disusul dari hidungnya mengalir darah.

"Ayo kita bertarung di luar!" ajaknya.

Tanpa berkata, Yun Se membalikkan tubuh lalu melangkah keluar dari rumah makan dan berdiri di tempat yang agak lapang. Tak lama, ketiga lelaki itu menyusul dan berdiri mengepung Yun Se. Sementara orang-orang satu-persatu nampak berdiri melingkar secara berkerumun.

"Silahkan," Yun Se melambaikan tangannya, "Mau maju satu-satu atau sekaligus!"

"Jangan sombong, kau! Di atas langit masih ada langit!" lelaki berbaju kuning berkata.

Lalu ketiganya mengeluarkan pedangnya masing-masing sambil memasang kuda-kuda, Yun Se menyusul kemudian dengan senyuman sinis.

Tak menunggu lama, mereka bertiga maju menyerang bersamaan dengan gerakan mengayun pedang yang sangat cepat.

Menusuk dan menebas ke arah tubuh Yun Se seperti kilat, Yun Se sendiri menanggapinya dengan santai.

Sedikit gerakan yang ia gunakan, gerakan tubuhnya seperti menari-nari menghindari setiap serangan, dan tangannya berayun-ayun memainkan pedang seperti tubuh ular cobra mencari celah menancapkan giginya.

Suro yang ikut menyaksikan pertarungan diantara kerumunan orang-orang itu dapat menilai, bahwa kemampuan Yun Se si Pedang Ular memang sesuai dengan namanya. Persis seperti gerakan ular yang meliuk-liuk. Kemampuannya bisa dibilang jauh di atas ketiga lelaki penyerangnya.

Pertarungan beberapa menit itu berjalan cukup seru. Sudah terlihat Yun Se lebih unggul dan membuat lawan-lawannya keteteran. Sebenarnya, jika Yun Se mau, ia bisa mengakhiri pertarungan itu dengan cepat, tetapi sepertinya ia hendak bermain-main lebih lama lagi untuk menguras tenaga para penyerangnya. Hingga suatu ketika...

Sret!

Satu sabetan pedang Yun Se berhasil melukai kulit bahu lelaki yang berpakaian putih dan membuatnya mundur kebelakang sambil memegangi bahunya yang terluka.

Yun Se mendengus melirik lelaki yang berbaju putih, tetapi tangannya masih sempat melayani serangan dari dua lelaki lainnya.

Kini, serangan-serangan Yun Se tampak semakin serius. Satu tusukan berhasil menghujam tubuh lelaki yang berpakaian hijau, disusul tubuhnya yang langsung tersungkur dengan wajah mencium bumi.

Melihat kedua temannya terluka, lelaki berbaju kuning melompat mundur ke belakang dan menghampiri lelaki yang berpakaian putih.

"Bagaimana ini?" bisiknya.

"Pedangnya sungguh beracun," katanya, "lebih baik tinggalkan aku disini!"

"Huh! Mana mungkin begitu!"

Sret!

Satu tebasan mengejar tubuh lelaki berbaju kuning disusul jerit kesakitan. Tiba-tiba tubuhnya terlempar karena didorong oleh si lelaki berpakain putih.

Begitu ia menoleh, sabetan pedang Yun Se sudah memotong lengan lelaki yang berbaju putih. Ia selamat karena pengorbanan temannya itu.

"Kurang ajar!" teriaknya.

Ia lalu bangkit dan menyerang dengan tusukan pedangnya menyasar ke tubuh Yun Se yang tersenyum mengejek.

"Ayo sini kalau mau mati!" tantang Yun Se.

Tangannya kembali berayun, serangan si lelaki berbaju kuning lewat disisi tubuhnya, lalu tangannya bergerak menusukkan pedangnya ke bagian punggung lelaki yang menjadi lawan yang terakhirnya.