Mereka duduk saling berhadapan satu sama lain, terpisah sebuah meja yang berada di tengah gazebo.
Suro tak pernah berani menatap wajah Li Yun, hanya sesekali. Berbeda dengan Li Yun.
"Kakak," katanya memulai, "Apakah kakak memang berniat meninggalkan rumah ini?"
Suro menghela nafas panjang sebelum menjawab, lalu mengangguk.
"Ya, seperti yang sudah kita diskusikan dirumah keluarga Cho tempo hari."
"Apakah kakak tidak merindukan keluarga ini?" tanyanya kemudian.
Suro menggaruk kepalanya sebentar. Pandangannya dialihkan ke halaman. Berat rasanya ia untuk menjawab.
"Sedari kecil, kakak sudah yatim piatu. Kakak pernah merasa bahagia sewaktu tinggal dipadepokan bersama guruku. Setelah itu, kakak ikut bersama keluarga pak Dawung. Tidak cukup lama merasakan kebahagaian sebuah keluarga, semuanya seolah-olah seperti mimpi. Lenyap seketika berakhir dengan kejadian tragis. Saat ini, dalam keluarga Yang, kakak kembali mendapatkan kebahagian itu. Tetapi sepertinya, takdir kakak harus kembali seperti dulu, harus terpisah dari keluarga yang kakak sayangi. Entah apa rencana Allah untuk kakak. Yang jelas, kakak selalu yakin bahwa ada hikmah disetiap kejadian yang kakak alami. Rasa sayang kakak pada keluarga ini sudah mendarah daging. Bagaimana mungkin kakak tidak merindukannya jika darah yang menjadi bagian dari daging itu berpisah?"
Mendengar itu, Li Yun tertunduk sedih. Jari-jemarinya saling bermain berputar-putar di atas meja. Ia seperti kehabisan kata-kata.
Suasana menjadi sepi. Pelayan rumah tangga keluarga Yang sudah beristirahat dikamarnya masing-masing, yang tersisa hanyalah beberapa orang penjaga rumah.
Tiba-tiba Yang Li Yun mengangkat kepalanya sambil tersenyum, ia membayangkan sesuatu.
"Hmmm..Seandainya... Jika suatu hari kelak, semuanya berlalu dan baik-baik saja, aku ingin kakak membawaku pergi keliling dunia, mendaki bukit, menyeberangi samudera, dan bertarung bersama melawan kejahatan..... dan jika tubuh ini sudah merasa lelah menua kemudian pergi ke tempat yag sunyi penuh kedamaian, bertani atau berkebun lalu memelihara ternak dan ikan. Ahhh... damai sekali rasanya,... baru memikirkannya saja aku sudah senang," katanya berandai-andai, matanya yang indah dan senyumnya yang manis menatap ke arah langit.
Suro terperangah mendengarnya, lalu menatap wajah cantik Li Yun begitu lekat tanpa ia sadari. Batinnya mengatakan, itu bukanlah kalimat seorang adik terhadap kakaknya, tetapi lebih mirip kalimat impian seorang gadis pada kekasihnya. Ia tersenyum.
Dalam hatinya juga memimpikan hal yang sama, tetapi belum terfikir dengan siapa.
Tetapi, kalimat Li Yun membuat hatinya senang dan bahagia, meskipun gadis itu mengatakannya hanya berandai-andai. Ia merasa, karakter gadis itu seperti Li Yun memang pantas mendampinginya.
Tapi,...ah, tidak tahu bagaimana nanti, jika memang ditakdirkan, Li Yun bisa saja menjadi sebagai jodohnya, ia membatin.
Li Yun merasa kakaknya sedang terpaku meliriknya, ia kemudian menundukkan kepala malu-malu. Mukanya langsung bersemu merah.
"Kakak," ia menegur Suro, membuat pemuda itu tersadar, lalu mengalihkan pandangannya, "Kau memandangiku lagi, apakah ada sesuatu menempel diwajahku?"
Li Yun berkata begitu sambil mengusap-usap pipinya bergantian.
Suro menggaruk-garuk kepalanya, lalu menggeleng. Senyum malunya tak bisa ia tahan lagi.
Melihat kakaknya salah tingkah, ia langsung memajukan mukanya lebih dekat sambil menatap Suro tanpa berkedip dengan senyum menggoda.
"Kakak, apakah aku cantik?" katanya sambil tertawa kecil hingga barisan giginya yang putih bersih terlihat.
"Hah?" jelas kalimat itu membuat Suro terkejut, ia tak menyangka adiknya berani berkata begitu.
Ia berfikir, kelakuan centil dan manja adik angkatnya mulai kambuh.
"Menurut kakak, adik itu biasa saja," jawabnya mengejek menutupi salah tingkahnya.
Li Yun langsung pasang wajah cemberut, "Ah, kakak berbohong!"
Suro langsung tertawa.
Ada sekitar beberapa jam mereka terlibat percakapan kadang bercanda dan kadang serius. Suro merasa adiknya itu cukup nyaman diajak bicara, selalu saja ada bahan untuk dibicarakan, hingga waktu yang panjang pun terasa singkat.
Entah, mereka berdua sendiri tidak tahu, apakah nanti setelah Suro pergi, candaan seperti ini masih bisa mereka lakukan.
Pemuda itu menghela nafas sebentar sambil menatap langit malam, sementara mulutnya masih menyungging senyuman.
"Seandainya..." dia tak meneruskan kalimat, ada desakan kuat dihatinya untuk dikeluarkan dengan kata-kata tetapi ia putuskan begitu saja.
Tentu saja hal itu membuat penasaran Li Yun. Kalimat-kalimat yang ia keluarkan sebenarnya adalah gambaran kalau ia menyukai Suro dan merupakan pancingan agar kakak angkatnya itu juga mengeluarkan isi hatinya.
Begitu kalimat yang ia tunggu ternyata terputus, ia nampak begitu kesal.
Ah, kakak. Engkau memang pemalu, ia membatin.
"Kakak....." katanya, "Apakah kakak suka padaku?"
Jleb!
Suro menatap wajah Li Yun dan Li Yun membalasnya dengan berani. Ia tak mau menunggu, karena barangkali waktunya bersama Suro cuma malam ini. Jelas Suro tak berani melawan tatapan mata Li Yun yang cantik, hanya sesaat kemudian ia kembali mengalihkan pandangan. Lagi-lagi tak menjawab, cuma tersenyum.
Li Yun, karaktermu sesuai dengan yang kuidam-idamkan, dan kita juga mempunyai impian yang sama. Hanya saja, aku khawatir kamu akan terbebani dengan ungkapan perasaanku setelah aku pergi. Jalanmu masih panjang. Demikian ia membatin.
Secara jujur, dalam hatinya ia memang suka, bisa dibilang juga menyayangi Li Yun, tetapi bukan sebagai kakak. Lebih dari itu!
Pemuda itu tak sadar, kalau Li Yun sedang membaca perasaan yang keluar dan tergambar dihatinya dengan menatap wajah Suro begitu lekat.
Tak lama, ia pun tersenyum dan kembali menunduk.
"Kakak, aku tahu perasaanmu, jadi tak perlu lagi kau ungkapkan. Cukup aku saja, ya," katanya.
Tak lama ia pun berdiri. Menghela nafas pendek sebentar.
"Aaaah, malam yang indah, tapi sayang terasa begitu cepat. Kalau begitu, kakak istirahatlah," ia berkata begitu sambil berbalik melangkah meninggalkan Suro, lalu menambahkan kalimat tanpa menoleh, "Kakak, aku mencintaimu!"
Suro memandang tubuh Li Yun yang perlahan bergerak menjauh menuju ke kamarnya. Ia terdiam mendengar kalimat Li Yun yang terakhir. Jantungya berdetak lebih kencang.
Haruskah kukatakan? Batinnya bertanya ragu.
Ia ingin berteriak pada Li Yun dengan kalimat yang sama sebelum gadis itu menghilang dari pandangannya.
"Aku..."
Ah, sudahlah.
Ia pun beranjak menuju kamarnya.
***
Pagi hari, hujan rintik baru beberapa saat turun membasahi bumi, tak mampu mengusik ketenangan dan kedamaian yang meliputi kediaman keluarga Yang.
Sementara, Yang Meng ditemani Tan Bu pelayan setianya pagi-pagi sebelum hujan turun sudah pergi mengunjungi beberapa tempat yang menjadi asetnya di kota itu juga.
Zhou Lin nampak menikmati secangkir teh hangat yang terhidang di atas meja ruang tengah. Di sampingnya, Li Yun seperti biasa menunjukkan sikap manja pada sang ibu, wajahnya terllihat lebih ceria dan tanpa beban sambil sesekali melirik ke arah Suro. Barangkali karena ia sudah mengungkapkan isi hatinya semalam pada Suro, kakak angkatnya.
Suro nampak kikuk melihatnya. Tetapi hari itu, ia harus mengatakan niatnya untuk pergi meninggalkan rumah keluarga Yang dengan sebuah alasan dikepalanya. Kali ini ia sudah memantabkan hatinya.
"Ibu," Suro memulai mengatakan rencananya, "Jika hendak belajar pengobatan, kemana kira-kira tempat yang tepat?"
Zhou Lin menatap anak angkatnya itu dengan heran, sebelum meletakkan cangkir tehnya di atas meja.
"Apakah kau mau menjadi tabib?" tanyanya serius.
Suro mengangguk. Ide ini ia dapatkan tadi malam sebelum tidur. Sebuah alasan yang tepat baginya untuk pergi agar ibunya itu tidak khawatir. Nyaris ia tidak bisa tidur memikirkannya hampir menjelang subuh.
"Suatu hari kelak, jika ananda sudah lelah berjalan dan menua, ananda ingin membangun sebuah tempat pengobatan untuk membantu orang-orang yang sakit," katanya.
Ia melirik ke arah Li Yun sebentar. Wajah gadis itu terlihat begitu bahagia mendengar kalimat Suro, ini seperti sebuah isyarat jawaban dari ungkapan perasaannya.
Suro memang sengaja mengucapkannya sebagai isyarat, menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Li Yun semalam. Masalah ke depan, biarlah ia menunggu jatuhnya takdir berlaku dikemudian hari. Dan ternyata, Li Yun mampu menangkap isi dari kalimat Suro untuknya.
"Itu cita-cita yang sangat mulia sekali. Ibu sangat setuju jika kau ingin belajar pengobatan," kemudian ia diam seperti memikirkan sesuatu, "Tetapi, setahu ibu ada seorang tabib terkenal bernama Yin Ke Hu, tinggal di sebuah lembah yang disebut Lembah Gezi. Kira-kira tiga hari perjalanan dari ibukota dengan berkuda."
Kebahagian langsung terpancar dari wajah Suro mendengar bahwa ibunya setuju. Permasalahan untuk saat ini selesai. Ia bisa meninggalkan keluarga Yang dengan hati tenang tanpa membuat ibu angkatnya itu khawatir.
"Benarkah, bu?" tanyanya lagi.
Zhou Lin mengangguk.
"Tapi, apakah kau tega meninggalkan ibumu? Mengapa tidak meneruskan usaha ayahmu saja?" ia balik bertanya.
Suro menghela nafas sejenak. "Usaha ayah angkat ananda fikir tinggal masalah pengaturan saja, jika sudah berjalan tinggal malakukan pengawasan saja, tentunya tidak membutuhkan banyak waktu. Disamping itu akan banyak waktu kosong."
Suro melihat raut wajah ibunya berubah menjadi sedih, ia merasakan mata ibunya menatap kosong dan kehilangan.
Pemuda itu tersenyum, meraih tangan Zhou Lin lalu menciumnya dengan kasih sayang seorang anak. Mata Zhou Lin terlihat berkaca-kaca.
"Ibu," ia menatap mata Zhou Lin, "Ananda 'kan tidak pergi meninggalkan ibu selama-lamanya, melainkan menuntut ilmu. Sewaktu-waktu, jika ananda rindu, ananda tak akan menunda waktu untuk mengunjungimu."
Kata-kata itu membuat ibunya menarik nafas dalam.
Ah, dia merasa tak tega. Tapi harus bagaimana?
"Nanti ananda akan rajin menulis surat untuk ibu, menitipkannya pada para pedagang yang akan melewati kota ini," ia berkata lagi menghibur Zhou Lin yang masih diam.
Wanita itu menyeka air mata yang nyaris jatuh dengan kain lengannya. Lalu tersenyum pada Suro.
"Entah bagaimana perasaan ibu, antara bahagia dan sedih. Kebahagianku adalah, langit telah mengirimkan seorang anak berbakti sepertimu meskipun bukan keluar dari rahimku, dan kemudian saat ini langit seperti mengujiku dengan kepergianmu..." katanya.
Di saat seperti itu, Li Yun terdengar menangis terisak. Ia teringat bahwa semua ini terjadi karena kesalahannya. Kesalahan yang sangat fatal seolah tak terampuni, meskipun Suro tak menyalahkannya.
Saat ini, Zhou Lin masih menyangka kalau Li Yun menangis sedih karena kepergian kakaknya. Tiba-tiba, gadis itu meraih tangan kiri ibunya yang bebas, lalu menciumnya dengan lembut membuat Zhou Lin terheran-heran.
Tapi ia tak mengajukan pertanyaan pada Li Yun akan tingkah lakunya meniru Suro. Ia mengangap, Li Yun sudah terpengaruh oleh budi pekerti Suro.
"Kau sudah mengajari adikmu sesuatu yang luar biasa, Luo," Zhou Lin memuji Suro. Tangannya basah oleh air mata Li Yun. Suasana hatinya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
"Oh, ibu.... " Li Yun tak berani mengatakan apa-apa, kalau semua ini karena perbuatannya.
Suro menatap adiknya yang masih menggenggam tangan ibunya itu sambil tersenyum, matanya mulai nampak berair, seperti awan mendung yang akan menurunkan hujan. Ia merasa sangat kasihan pada Li Yun yang selalu diliputi rasa bersalah.
"Adik, sudahlah," katanya, "dan untuk kali ini, kamu tidak boleh melarikan diri lagi dari ibu. Turutilah kata-katanya!"
Suro berkata demikian setengah bercanda untuk menghibur Li Yun, dan gadis itu memahaminya seolah kakak angkatnya itu berkata : Jangan terus-terusan menyalahkan diri!
Li Yun menatap mata Suro sambil tersenyum disela-sela isak tangisannya.
"Ah, kakak. Jangan menggodaku," jawabnya.
Melihat itu, Zhou Lin tertawa kecil sambil menggelengkan kepala, lalu mengangkat tangan Suro dan Li Yun bersamaan dan menciumnya bergantian. Kemudian, ia memeluk sangat erat keduanya. Saking eratnya seolah berkata : Siapapun tak boleh merebutnya dariku!
"Oh, anak-anakku," katanya dengan lembut lalu menangis terharu dengan sunggingan senyum.
Di saat seperti itu, Yang Meng muncul dari balik pintu ruangan yang terbuka, disusul dengan Tan Bu yang berjalan mengiringi dari belakang.
Melihat suasana seperti itu, langsung menimbulkan pertanyaan bagi Yang Meng. Jangan-jangan, Suro mengatakan sesuatu yang membuat ibunya menangis. Tetapi, hatinya menjadi lega setelah melihat senyuman isterinya.
"Ada apa ini? Apakah ada berita yang boleh kudengar?" tanyanya sambil tersenyum.