Suro bersama Li Yun dan Wei bersaudara memacu kudanya masing-masing dengan cepat meninggalkan kota itu, menembus gelapnya malam diterangi cahaya bulan remang-remang. Berjaga-jaga jika ada orang-orang perwira Chou di belakang mereka, dengan terpaksa mereka harus segera pergi dari penginapan.
Sepertinya kekhawatiran Suro kalau-kalau nanti dirinya akan menjadi buronan bakal menjadi nyata.
Kali ini ia harus lebih berhati-hati dalam pengembaraannya. Perwira Chou pasti tak akan tinggal diam akibat peristiwa barusan, dengan memanfaatkan posisinya sebagai prajurit Manchuria, ia mempunyai kekuatan untuk memburu siapapun yang bermasalah dengannya.
Sebenarnya, Suro tidak terlalu khawatir jika hanya dirinya saja yang menjadi incaran perwira Chou, ia sudah siap meskipun hidup dalam perburuan dan harus mati. Tetapi yang ia takutkan adalah orang-orang yang berada disekitarnya. Jangan sampai gara-gara dia, orang lain yang tidak tahu apa-apa malah ikut menjadi korban.
Satu hal yang ia sesalkan adalah Perwira Chou sudah tahu kalau dalam pertarungan pertama ia sempat mengeluarkan gerakan dari jurus Tai Chi. Sedangkan orang yang terhubung dengan Tai Chi dalam fikirannya adalah tetua Huang Nan Yu, guru dari Yang Li Yun.
Ah, kenapa aku begitu bodoh! Ia memaki dirinya sendiri.
Ia sudah bertekad, sepulangnya dari menjemput Yang Meng dan Tan Bu, ia harus segera menghilang dari keluarga itu. Mengasingkan diri. Bisa jadi ia harus kembali ke negerinya. Meskipun dengan berat hati, karena rasa sayangnya terhadap keluarga itu sudah mendarah daging. Tapi, apa boleh buat!
Yang Li Yun, mempergunakan kesempatan di atas kudanya dengan menangis. Gadis cantik itu merasa bersalah, pada ibunya dan juga pada Suro, kakak angkatnya. Gara-gara dia, kakaknya bakal jadi buronan Perwira Chou. Seandainya ia dari awal mendengarkan kata-kata ibu dan kakak angkatnya itu, pastilah hal ini tidak akan terjadi. Ia memikirkan nasib Suro jika tertangkap, kakaknya itu akan dihukum gantung karena telah melukai aparat.
Ia tak berani membayangkan akan kehilangan Suro. Batinnya seolah berkata, jika terjadi sesuatu yang buruk pada Suro, penyesalan seumur hidup pun tak akan berguna.
Air matanya jatuh semakin deras! Sungguh ia merasa sangat bersalah.
Oh, Seandainya waktu bisa diputar ulang, berulang-ulang ia membatin demikian.
Perjalanan cukup jauh dan melelahkan itu berakhir di pagi hari menjelang siang. Mereka sudah sampai di muka rumah Cho Jin Chu dan langsung memasuki pintu gerbangnya.
Rumah keluarga Cho memliki ukuran yang cukup besar, bisa dikatakan ukurannya kurang lebih sama besar dengan rumah keluarga Yang. Barangkali, pembangunan rumah keluarga Yang meniru model rumah keluarga Cho.
Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka pada beberapa pelayan, Wei bersaudara lalu berjalan mengantar Suro dan Li Yun untuk memasuki ruang tengah.
Sejak turun dari kudanya, Li Yun tak mengeluarkan sepatah katapun, sifat ceria dan manja yang biasanya menjadi ciri khasnya seakan membuat gadis itu bukanlah Li Yun.
Gadis itu seperti sengaja berjalan paling belakang, menutupi sedikit wajahnya dengan mengurai rambutnya ke depan dengan posisi kepala agak menunduk. Ia tak ingin mata sembabnya diketahui orang lain.
Di ruang tengah, Cho Jin Chu, Yang Meng dan Tan Bu sedang duduk di kursi terlihat bercakap-cakap. Tan Bu yang pada waktu itu sedang dalam keadaan terluka, kini sudah terlihat lebih segar, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.
"Tuan Cho," Wei Li Yang menyapa begitu memasuki ruangan disusul yang lainnya, mereka berdua memberi hormat, "Kami sudah kembali."
Cho Jin Chu yang mengetahui kedatangan Wei bersaudara tersenyum menyambut mereka. Ia agak terkejut ketika menyadari utusannya itu tidak datang sendiri, malah membawa serta orang lain.
Terlebih Yang Meng dan Tan Bu. Demi melihat Suro dan Li Yun, mereka tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Lho? Mengapa kalian ikut?" tanya Yang Meng pada Suro dan Li Yun.
Li Yun mengangkat kepala, sehingga terlihat jelas raut mukanya. Sementara air matanya yang tadi sempat terhenti kini kembali tumpah mengalir.
"Apa yang terjadi? Li Yun, mengapa engkau menangis? Luo, ada apa dengan adikmu?" tanyanya lagi dengan wajah kebingungan begitu melihat Li Yun menangis.
Gadis itu tak sanggup berkata-kata, melainkan langsung berlari menubruk dan memeluk ayahnya dengan erat. Suara tangisannya tak bisa lagi ia tahan.
"Ayah, ... Semua ini gara-gara Li Yun!" Ia menjerit disela-sela suara tangisannya.
Yang Meng dan Tan Bu tentu saja bertambah bingung.
Wei Li Yang secara bergantian menceritakan peristiwa yang telah mereka alami, sambil sesekali Suro menambahkan, sementara Li Yun, duduk di sebelah ayahnya dengan kepala tertunduk menangis.
***
Tak terasa, hari sudah menjelang tengah malam, sementara di dalam kamar Suro masih duduk bersila di atas kain hitamnya selepas melakukan shalat Isya, dari mulutnya keluar suara lantunan ayat-ayat suci beberapa surah dalam Qur'an yang ia hafal dengan lirih dan hampir-hampir tak terdengar.
Hingga beberapa saat kemudian, ia bangkit, melipat kain serbannya dengan rapi dan meletakkannya di atas pembaringan.
Batinnya saat itu sudah terasa lebih tenang.
Tadi siang, ia sempat melihat ada gazebo di halaman tengah yang di bangun sama persis seperti di rumah keluarganya. Maka, sementara untuk mengisi malam ia memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju tempat itu.
Kebetulan malam itu cahaya bulan purnama cukup terang, ditambah lagi cahaya yang berasal dari lentera-lentera yang dipasang di depan ruang kamar yang tersusun mengelilingi halaman, sehingga Suro dapat melihat lebih jelas hamparan suasana di hadapannya.
Begitu berjalan keluar beberapa langkah dari kamarnya menuju gazebo, didalam tempat yang akan ia tuju sesosok tubuh sedang duduk mematung. Sesosok yang ia kenal tampak melamun dengan tatapan mata kosong.
"Li Yun," ia membatin,"Sedang apa dia?"
Perlahan dan tanpa suara, Suro mendekati adik angkatnya, rupanya Li Yun tak menyadari kehadiran Suro.
"Adik Li," sapa Suro dengan suara pelan.
Tubuh Li Yun tak bereaksi, Suro menduga adiknya itu begitu larut dalam lamunannya sehingga tak mendengar sapaannya.
Perlahan, ia menyentuh bahu Li yun. Gadis itu terlonjak kaget dan sontak menoleh ke belakang.
Suro tersenyum. Tetapi gadis itu buru-buru menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Matanya terlihat sembab.
Lantas ia balas tersenyum.
"Kakak," katanya dengan suara hampir-hampir tak terdengar.
Suro kemudian mengambil posisi duduk disebelahnya, lalu melipat tangannya di depan dada. Menghela nafas panjang, pandangannya diarahkan ke langit dimana bulan purnama sudah berada pada puncaknya.
"Apa yang sedang adik fikirkan?" tanyanya. Ia sengaja tak memandang wajah Li Yun, menjaga perasaan adiknya itu agar tidak merasa malu.
Gadis itu tak langsung menjawab. Malah memainkan jari-jemari tangannya di atas meja Gazebo.
Cukup lama, Suro juga tak ingin berkata-kata, sengaja membiarkan adiknya seperti itu.
"Kakak Luo," Li Yun membuka suara, agak lirih terdengar. "Seandainya adik mendengar kata ibu dan kakak, tentunya ini tidak akan terjadi..."
Pemuda itu menyadari apa yang difikirkan adik angkatnya itu. Rasa bersalah betul-betul sudah mengurungnya dalam penyesalan.
Li Yun sendiri sebenarnya sudah menyadari kalau semua peristiwa ini diawali dari sifat keras kepalanya hingga berakibat buruk pada kakak angkatnya kelak.
"Adik Li, tidak ada seorangpun di dunia ini yang tahu takdirnya kedepan seperti apa. Apa yang sudah kita lakukan itu adalah bagian dari perjalanan menuju takdir yang sudah ditetapkan. Tak ada yang bisa mengubahnya. Seandainya takdirku adalah menghadapi maut, maka sekuat apapun aku berusaha menghindar, selalu saja ada takdir-takdir lainnya yang akan mengarahkan aku menuju ajal. Sama halnya dengan yang adik lakukan. Seumpama takdirmu adalah menghajar para pemuda itu, bagaimana pun berusaha menghindarinya akan selalu ada jalan menuju kesana, meskipun jalannya dengan kau tidak ikut bersama kami. Jadi, tak perlu adik Li menyiksa diri dalam rasa bersalah yang berlebihan..." ucapnya memberi nasehat.
Li Yun terdiam, ia mencoba memahami apa yang disampaikan oleh Suro. Sebenarnya, ia merasa patut untuk disalahkan.
"Sungguh, adik merasa bersalah dan sangat menyesal," sahutnya.
Suro tersenyum, "Semua sudah terjadi, untuk apa lagi disesali."
"Adik takut...." katanya sambil menunduk, ia tak melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba dadanya terasa sesak.
"Takut kenapa? Tak ada alasan untuk takut. Jalan satu-satunya adalah menghadapinya...."
Li Yun menoleh ke arah Suro yang duduk disampingnya. Pemuda itu memandang rembulan dengan senyuman, tak ada rasa takut dan gelisah terpancar di wajah kakak angkatnya itu, melainkan wajah yang bercahaya, begitu nyaman dilihat mata.
Diam-diam rasa kagum pada pemuda itu menyelimuti hatinya. Bagaimana bisa kakak angkatnya itu nampak begitu tenang menghadapi situasi seperti ini?
"Kakak tidak menyalahkanku?" tanyanya kemudian.
Suro memandang Li Yun, lalu tertawa dan menggelengkan kepala sejenak, dan kembali menatap bulan.
"Kan sudah kakak katakan dari awal, semua sudah terjadi. Jika pun kakak menyalahkanmu, apakah semua ini dapat berubah? Tidak'kan? Semua yang adik lakukan, anggaplah sebagai pelajaran. Pelajaran yang akan menempamu menjadi seorang yang lebih dewasa dan tangguh....." katanya.
Duh, damainya, batin Li Yun berkata.
Sejak Suro tinggal menetap dalam keluarga Yang, sebagai kakak angkatnya, Li Yun faham betul prilaku Suro. Hatinya lembut dan penuh kasih, meskipun pendiam namun sekali berkata, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya selalu enak didengar. Tidak pernah ia mendengar kakaknya itu berkata kasar maupun tidak sopan, bahkan jika ia meminta sesuatu terhadap pelayan-pelayan dirumahnya cara dia meminta juga tidak terkesan merendahkan. Boleh dikata, dia sangat memanusiakan manusia.
Terkadang, Li Yun bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ada orang di dunia ini yang seperti Suro, apa yang sudah dipelajarinya sehingga membentuk karakter yang seperti itu. Ia dapat merasakan aura kedamaian terpancar dari tingkah laku Suro imbas dari hatinya yang begitu tertata dengan baik, wajahnya jernih bagai embun menggelayut di ujung dedaunan di pagi hari yang cerah lalu terpancari sejuknya sinar mentari pagi, jernih, bersinar, sejuk, dan menyegarkan. Tidak berlebihan jika setiap orang akan merasa nikmat menatap pemilik wajah yang cerah, ceria, penuh sungging senyuman tulus seperti ini.
Oh Tuhan, lindungi orang sebaik dia. Jangan biarkan dia disakiti.
"Kakak, mengapa engkau bisa bersikap setenang ini?"
Suro tersenyum, menghela nafas panjang, "Kita punya tuhan, Dalam agama kakak, tuhan adalah sebaik-baiknya tempat untuk bersandar, yaitu Allah.... Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak, tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah. Sebab, seseorang yang bersandar pada sebuah tiang akan sangat takut tiangnya diambil, karena dia akan terguling, akan terjatuh. Bersandar kepada sebuah kursi, takut kursinya diambil. Begitulah jika kita panik dalam kehidupan ini karena bersandar kepada kedudukannya, bersandar kepada hartanya, bersandar kepada tuannya, bersandar kepada kekuatan fisiknya, atau sandaran-sandaran yang lainnya. Total, sempurna, segala-galanya Allah yang membuat, Allah yang mengurus, Allah yang menguasai."
Sekali lagi, Li Yun terpana dengan kata-kata Suro. Ia menoleh ke arah Suro yang sedang menatap bulan sambil menyungging senyum.
Baginya, Suro itu seorang kakak yang sempurna.
Ah, tidak.... jika bisa,.... jika bisa... batinnya berkata-kata sendiri.
Pandangan mata Li Yun seolah tak mau beralih melihat bagian sisi wajah Suro. Ia seperti tersihir. Aura ketenangan dan kedamaian yang terpancar dari wajah itu seolah merasuki jiwanya, mengikis perasaannya yang terdramatisir sangat parah.
Tanpa sadar, bibirnya bergerak menyunggingkan senyum mengusir raut wajahnya yang sedih. Aura kecantikannya yang terkubur perlahan menyeruak tumbuh seperti bunga yang mekar.
"Alhamdulillah, senyuman itu yang sudah lama kutunggu," Suro melirik Li Yun dari sudut matanya tanpa menoleh.
Li Yun terkejut mendengar Suro berkata demikian, langsung ditundukkannya kepalanya dengan rasa malu, rupanya tatapannya yang tidak bergeser dari wajah Suro sudah disadari oleh kakak angkatnya itu. Makanya, Suro juga tak berani menggeser wajahnya dari menghadap rembulan.
Oh, kakak, kau rupanya sudah tahu, ya, pantas kepalamu tidak berani menoleh padaku, kau malu juga rupanya?....
Rasa malu itu mengingatkannya pada saat Suro menatap wajahnya waktu itu, yang membuatnya jadi tertunduk. Ia yakin, wajahnya pasti memerah, seperti kepiting rebus.
"....kakak, apakah ada sesuatu menempel diwajahku?" teringat ia akan kalimatnya sendiri.
"Kakak...." Li Yun berkata sangat pelan dan hampir seperti berbisik, suaranya terdengar malu. Suro menurunkan kepalanya sambil menajamkan telinganya agar suara Li Yun bisa terdengar, pandangannya santai memperhatikan jari-jemari Li Yun yang saling bermain di atas meja, "Jika tuhan mengijinkan, ..... Aku ingin bersamamu sampai kapan pun."
Pemuda itu agak terkejut, apakah ia tidak salah dengar? Ia menangkap ada makna lain dari ucapan Li Yun.
Kepalanya menoleh ke arah Li Yun dengan posisi tubuhnya mengikuti. Dilihatnya Li Yun melemparkan pandangannya ke arah lain seperti berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai bersemu merah dari penglihatan Suro.
"Kakak tidak begitu jelas mendengarnya, ....." Suro mencoba bertanya seolah meminta ulang kalimat yang diucapkan Li Yun.
Setelah agak lama, dan meyakinkan bahwa raut wajah malu sudah memudar, Li Yun menoleh ke arah kakaknya sambil tersenyum manis.
Gadis itu menggeleng lalu berkata, "Oh, tidak kakak...Adik salah bicara."
Suro seperti penasaran, tetapi ia memutuskan untuk tidak menanyakannya lagi. Dan Li Yun langsung menghela nafas gugup.