Prajurit-prajurit itu berlari sambil mengobrak-abrik apa-apa yang ada di hadapannya. Jumlah mereka sekitar 20 orang bersenjata pedang. Mereka tampak seperti kehilangan jejak atas buruannya. Hingga sesekali berhenti sambil memeriksa keadaan sekeliling. Yang ada hanyalah orang-orang yang menepi dengan wajah ketakutan.
"Tidak adakah dari kalian yang melihat kumpulan orang-orang berlari lewat jalanan ini?" teriak seorang lelaki yang merupakan kepala dari para prajurit itu. Pandangannya bengis menatap berkeliling pada orang-orang yang lalu-lalang di jalanan itu.
Sekian lama ditunggu, tak satupun yang menjawab. Akhirnya dengan marah, kepala prajurit itu menendang batu kerikil yang dihadapannya, lalu memberi isyarat dengan tangannya untuk segera melanjutkan pengejaran.
Pengejaran itu berlangsung hingga keluar dari keramaian, sampai mereka berada di antara 2 dinding lembah berbatu yang tandus. Saking tandusnya, hanya beberapa kumpulan rumput saja bisa tumbuh di atas tanahnya.
Kepala Prajurit itu memberi isyarat untuk berhenti, lalu memandang berkeliling. Hal yang sama juga dilakukan oleh bawahannya. Dengan mengernyitkan dahi, karena matahari saat itu mulai meninggi hampir di atas kepala, ia mengeluarkan pedang dari sarungnya yang terselip di pinggang yang diikuti oleh prajurit-prajuritnya, lalu berjalan waspada dengan tatapan mata tak berkedip.
Satu teriakan panjang tiba-tiba terdengar mengejutkan para prajurit itu, disusul kemudian dengan bermunculannya 7 orang lelaki dari balik batu dengan cara melompat sambil mengayunkan pedang-pedang mereka dari atas ke bawah.
Pertarungan tak terelakan pun terjadi, meskipun jumlah prajurit itu lebih banyak, tampaknya mereka sangat kalah dalam hal keahlian bertarung, selain itu kondisi serangan yang tiba-tiba membuat mental mereka belum siap. Satu persatu prajurit-prajurit berguguran terkena tebasan dan tusukan pedang para penyerangnya, sementara di pihak penyerang masih belum ada korban, malah lebih bersemangat melakukan pertarungan.
Di rasa kalah dalam hal keahlian bertarung, kepala prajurit itu mencari cara untuk mundur dari pertarungan. Tetapi dia tidak melihat celah untuk itu. Hatinya mulai ciut.
"Habisi semua!" seru seorang dari 7 lelaki itu bersemangat.
Tiba-tiba, sesosok tubuh muncul dari arah mereka tiba di lembah lalu bertarung dengan ganasnya menghantam satu-persatu 7 lelaki yang mereka kejar. Dari pakaiannya, bisa dipastikan ia adalah prajurit, cuma berbeda dengan lainnya.
"Perwira Chou!" kepala prajurit yang tadinya mulai putus asa itu berseru girang.
Dihadapannya ia menyaksikan 7 lelaki buruannya tergeletak di tanah dihantam oleh Perwira Chou, tidak mati, hanya terluka dengan masing-masing memegangi bagian tubuhnya yang terkena hantaman.
"Huh!" Perwira Chou mendengus marah, ia berjalan menyusuri 7 orang lelaki yang nampak kesulitan bangun disekelilingnya, "kalian para pemberontak harusnya langsung kutumpas habis!"
Tubuhnya tinggi besar dengan gaya yang angkuh, memandang sinis satu-persatu lawannya yang tak berdaya. Bisa dipastikan bahwa lelaki yang dipanggil dengan Perwira Chou ini memiliki kungfu yang tinggi jauh diantara semua yang ada di tempat itu. Terbukti hanya dengan sekali hantaman pada masing-masing lawannya langsung lumpuh.
"Kau!" ia menunjuk salah satu dari 7 orang lelaki yang ia lumpuhkan, bibirnya menunjukkan kesan menghina, "Wang Yun, beberapa kali kau dan kelompokmu telah membuat onar di wilayahku! Aku masih memberikan kesempatan padamu dan anggotamu untuk hidup jika bergabung dalam pasukanku!"
Wang Yun, lelaki yang merupakan pemimpin mereka menatap tajam, matanya membesar penuh kebencian, ia menghina dengan meludah kuat yang bercampur darah.
"Cuh!!.... Lebih baik kau bunuh saja kami!"
Wajahnya menunjukkan kesiapan dirinya terhadap apapun yang bakal terjadi.
Berkata demikian, Wang Yun memandangi teman-temannya yang bernasib sama. Terluka dan tak bisa berbuat apa-apa sambil menunggu takdir.
Perwira Chou tertawa memandang Wang Yun seolah ia sedang melihat orang bodoh, "Apakah kamu yakin?"
"Ya!" sambil menggertakkan giginya dengan emosi seorang pendekar pemberani, "Bunuh saja kami!"
Dengan mencibir dingin, Perwira Chou mengeluarkan pedang dari sarungnya, lalu mengarahkannya pada Wang Yun yang siap mati.
"Baiklah!"
Sekali lompatan, ia sudah berada sangat dekat dengan tubuh Wang Yun, tangannya yang memegang pedang langsung menusukkannya ke perut lelaki itu.
Sebelum ujung pedang menyentuh kain pakaiannya, sebuah jejakan kaki yang sangat kuat menghantam tubuh Perwira Chou sehingga membuat ia terlempar beberapa tombak dan terseret di tanah.
Para prajurit yang tersisa, terkejut begitu melihat pendatang baru yang menyerang Perwira Chou. Mereka langsung berhamburan menyerbu dengan sabetan-sabetan pedang di tangan.
Buk! Buk! Buk!... Buk!
Tak satupun pedang mereka mengenai si pendatang baru, melainkan tubuh merekalah yang kena hantam satu-persatu membuat mereka berjatuhan.
Perwira Chou segera berdiri, lalu menghunuskan pedangnya ke arah orang yang menyerangnya barusan.
"Oh, Zhu Xuan!" serunya.
Matanya mendelik penuh emosi kepada orang yang dipanggil Zhu Xuan.
Zhu Xuan berdiri santai, usianya tidak terlalu tua, bahkan seumuran dengan Perwira Chou tersenyum sinis balas menatapnya.
Jubahnya ia singkapkan lalu membuka kaki membentuk kuda-kuda kungfu, siap mengadakan pertarungan dengan Perwira Chou, tangannya memberi isyarat : Maju sini!.
"Tugasku semakin mudah! Jika kau berhasil kutangkap, maka kelompok BAYANGAN MERAH-mu dengan sendirinya akan bubar!"
Bayangan Merah adalah sebuah organisasi rahasia. Ketua kelompok mereka adalah Zhu Xuan Yu, dan wakilnya adalah Wang Yun. Mereka memiliki puluhan anggota yang tersebar dibeberapa daerah sambil bertujuan mencari anggota baru yang merasa satu visi dan misi. Yaitu orang-orang yang anti dengan pemerintahan saat ini karena alasan penjajahan.
Zhu Xuan tak membalas dengan kata-kata, tapi isyarat tangannya tetap mengandung bahasa yang dapat dimengerti oleh Perwira Chou : Maju sini!
Merasa diremehkan, perwira prajurit itu melompat sembari menusuk dan mengayun, mencari sasaran empuk tubuh Zhu Xuan yang berkelit lincah.
Tapi, perwira itu bukanlah pendekar kacangan, ujung pedangnya sempat mengiris kain pakaian Zhu Xuan beberapa kali, yang jika tidak hati-hati daging tubuhnya pun akan teriris.
Melihat Zhu Xuan kewalahan menghadapi lawannya yang menggunakan pedang, maka suatu kesempatan ia berhasil melemparkan pedangnya kepada Zhu Xuan tepat waktu.
Suara denting benda tajam pun terdengar saling beradu satu sama lain, mencari celah untuk masuk menembus daging lawan sebagai sasaran empuk. Beberapa sabetan tanpa benturan terdengar tak kalah menakutkan, diselingi suara kibaran pakaian lebar bersamaan dengan serangan tangan kosong.
Nampak sekali, Zhu Xuan bukanlah lawan dari Perwira Chou, ketika satu tusukan pedang perwira itu dapat dihindari, satu pukulan telak bersarang didadanya hingga menimbulkan suara lenguhan keras disertai muntahan darah segar.
Pukulan itu membuat dirinya terseret mundur beberapa langkah hingga tertahan dinding bukit dibelakangnya.
Tak mau kehilangan kesempatan, Perwira Zhou terus memburunya dengan ganas, pedang tajamnya seperti kepala ular terbang yang mengincar mangsanya.
Sreet!!!
Darah segar muncrat dari bahu kiri Zhu Xuan, sebuah goresan tipis sudah berhasil menjadi santapan pedang Perwira Chou. Ia beruntung masih sempat memiringkan badan ke kanan sehingga nyawanya masih bisa selamat. Disela-sela gerakan itu, ia masih bisa mengayunkan pedangnya ke perut Perwira Chou.
Yang diserang cuma menarik pedangnya secara horisontal, menghalau ayunan pedang Zhu Xuan menyasar tubuhnya, lalu melakukan sebuah tendangan samping yang cukup keras.
Lagi-lagi Zhu Xuan harus berjuang menggerakkan tubuhnya untuk menghindar. Dengan tangan kirinya ia melakukan tangkisan, membendung serangan kaki perwira Chou.
Posisi keduanya kini tidak lagi terbendung dinding bukit, dan gerakan Zhu Xuan tidak lagi terhalang, tetapi ia harus mati-matian melakukan tepisan-tepisan pelindung atas serangan yang dilancarkan Perwira Chou. Sungguh, tidak sekalipun ia diberi kesempatan untuk menyerang.
Ia menyadari, bahwa tak lama lagi pertahanannya akan jebol juga. Perwira Chou terlalu kuat baginya. Apalagi tubuhnya sudah terluka akibat serangan dari prajurit Qing itu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain bertarung sampai mati.
Ayunan pedang perwira Chou membuat gerakan membelah dari arah atas, yang kemudian ditahan oleh pedang Zhu Xuan hingga nyaris membuat kepalanya jadi dua. Ia berusaha menahan tekanan pedang lawannya selama mungkin, tapi tenaganya sudah terkuras habis dan hampir menyerah dengan sisa tenaganya.
Semua anggota Bayangan Merah yang menyaksikan pertarungan itu sama berseru memberi semangat. Mereka ingin membantu Zhu Xuan, tetapi keadaan mereka sendiri sudah sangat payah akibat hantaman keras Perwira Chou.
Tampaknya, mereka akan menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, detik-detik kematian Zhu Xuan, Ketua organisasi Bayangan Merah yang tewas dalam sebuah pertarungan maut mewujudkan impian kebebasan.
Plak!!!
Sebuah batu sebesar genggaman telak menghantam pelipis kiri perwira Chou. Serangan gelap itu sempat membuatnya terhuyung pening, disusul dengan luka terbuka yang mengalirkan darah segar membasahi separuh wajahnya.
Tubuhnya yang goyang karena hilang keseimbangan tak membuatnya berhenti berputar mencari arah serangan berasal.
"Bangsat!! Keluar kau! Mari bertarung kalau berani!" teriaknya.
Sebagian pandangannya sedikit kabur karena darah yang mengenai mata kirinya.
Zhu Xuan mengambil kesempatan itu untuk menjauh dari perwira Chou, membantu kawan-kawannya untuk berdiri sambil memperhatikan situasi.
Mereka juga penasaran, ikut memandang berkeliling.
Tanpa diduga, sesosok tubuh terlihat berlari cepat ke arah perwira Chou. Seluruh kepalanya tertutup kain menyisakan daerah matanya.
Begitu mengetahui ada orang yang berlari cepat kearahnya, perwira Chou menguatkan kuda-kudanya dengan teguh, pedangnya siap untuk diayunkan.
Diluar perkiraan, si penyerang justru melompat dan melakukan sebuah tendangan terbang yang telak mendarat di dadanya. Tubuhnya cuma terseret beberapa langkah, sedangkan si penyerang justru terjatuh ke tanah.
Ia seperti menendang sebuah tembok!
Dalam keadaan terluka, bibirnya menunjukkan senyum remeh terhadap orang yang menyerangnya.
Setelah itu, ia melompat mendatangi manusia bertopeng sambil melakukan sabetan menyilang, sementara yang diserang mengegos bersamaan dengan memajukan kakinya dan tangannya menyelinap diketiak perwira Chou, lalu memanfaatkan tenaga lawannya melakukan sebuah hantaman dengan punggungnya.
Perwira Chou terkejut, tahu-tahu tubuhnya terlempar begitu saja tanpa diduga, beruntung ia tidak jatuh terbanting tapi masih dalam posisi berdiri.
"Huhh!!!" Ia mendengus keras, "Teknik Tai Chi!!"
Sosok bertopeng tak melanjutkan serangannya, ia seperti tertegun sejenak saat lelaki yang dihantamnya menyebutkan teknik yang dipakainya.
Sebuah tusukan cepat dilancarkan tiba-tiba, memanfaatkan diamnya si manusia bertopeng. Disaat bersamaan, manusia bertopeng itu melakukan gerakan membuka kaki ke arah kanan kemudian maju lagi menyerong ke kiri dengan gerakan menunduk seperti menyelam dan mengayun seolah menimbulkan tubuh, tangan kanannya mengambil pasir dan ditaburkan ke wajah perwira Chou bersamaan dengan sebuah tendangan lurus ke ulu hati.
Lenguhan kesakitan keluar dari mulut Perwira Chou. Butiran pasir yang masuk ke matanya membuatnya kehilangan keseimbangan dan membuat tendangan di ulu hatinya telak tanpa perlindungan. Ia tak bisa apa-apa selain memikirkan dirinya sendiri.
Manusia bertopeng itu langsung berbalik ke arah kumpulan Zhu Xuan, lalu menariknya untuk segera meninggalkan tempat itu.
***
Di dalam kota, setelah dirasa aman, mereka semua berhenti di sebuah rumah kosong yang sudah lama tak berpenghuni. Sarang laba-laba dan debu memenuhi setiap sisi bangunan rumah itu.
Zhu Xuan, Wang Yun dan anggota lainnya tanpa dikomando langsung berlutut sambil mengepalkan kedua tanggannya di depan dada.
"Salam Hormat dan terima kasih buat Pendekar!"
Dihadapannya, sosok bertopeng tak mengeluarkan sepatah kata pun, namun hanya memberi isyarat agar mereka tak melakukan itu, lalu seperti terburu-buru berbalik arah meninggalkan mereka dengan berbagai pertanyaan di kepala.
"Siapakah orang itu?" Wang Yun bertanya-tanya sambil memandang kepergian penolongnya.
"Kupikir, tidak ada lagi kita jumpai hari ini jika dia tidak muncul," sahut Zhu Xuan sambil menoleh ke arah Wang Yun.
***
Suro nampak memperhatikan sebuah mainan kincir yang dijual oleh salah satu pedagang tepat di sudut pasar. Ada beberapa macam warna dan bentuk yang dibuat yang menarik perhatiannya. Maklumlah, selama ini ia tak pernah mengenal namanya mainan, momen masa kecilnya tidak pernah ia nikmati.
Sesekali ia memandang berkeliling seperti mencari-cari sesuatu, sampai si pedagang yang memperhatikannya berucap, "Hei tuan, tadi ada nona cantik berulang kali kemari. Sepertinya ia mencarimu,"
Suro menggaruk-garuk kepalanya, lalu tersenyum tipis kepada si penjual. Li Yun memang menyuruhnya untuk menunggu di tempat ini, sementara ia mencari sesuatu yang tak ingin ditemani olehnya.
Tiba-tiba, satu tepukan keras mendarat dipunggungnya, tak hanya Suro yang terkejut, tetapi si penjual mainan pun sampai terlonjak dan terjengkang dari kursinya.
"Nona," katanya sambil memegangi pinggangnya yang sakit karena jatuh terbentur, "Mengapa kau kejam sekali?"
Li Yun tak menjawab, tapi matanya menatap sangar pada si penjual mainan hingga membuatnya tertunduk takut...
Suro geleng-geleng kepala melihat tingkah Li Yun sambil mata dan bibirnya nampak sedikit meringis menahan perih bekas tepukan adiknya itu.
"Kakaaak! Bolak-balik aku mencarimu, kau hilang kemana???" tanyanya kesal.
Suro seperti gelagapan mendapat pertanyaan itu.
"Eh,....Kakak bingung tadi tiba-tiba sakit perut, kesana-kemari mencari tempat untuk itu..." sahutnya beralasan.
Li Yun terdiam sejenak, matanya memandang tubuh kakaknya dari atas sampai bawah, lalu berkata, "Kakak, Kenapa pakaianmu kotor?"
Suro langsung memeriksa pakaian yang ia kenakan, dan memang ia dapati ada debu tanah menempel dipakaiannya.
"Ini...."
Belum sampai ia tuntaskan kalimatnya, Li Yun langsung memotong.
"Ah, Sudahlah!"
Ia langsung mengapit lengan Suro lalu menggeretnya dengan santai meninggalkan tempat itu.
"Ayo kita pulang!" lanjutnya.
Kembali lagi, Suro menggaruk kepala dengan sebelah tangannya yang bebas.