Malam menjelang sepertiga, begitu Suro tiba, dua orang lelaki gagah sudah duduk di ruang tamu, ditemani Ibu dan adiknya nampak sedang membicarakan sesuatu.
Ketika melihat Suro, Zhou Lin langsung berdiri menghampirinya dengan wajah khawatir, dan keterkejutannya bertambah begitu melihat ada bekas aliran darah di pipi Suro dan mendapati sumber darah itu ada dipelipisnya.
"Bagaimana keadaanmu, anakku? Apakah terjadi pertarungan?" tanyanya cemas.
Lalu dengan lembut dan kasih sayang, dibersihkannya luka itu dengan ujung kain tangannya.
Suro merasa ia seperti anak kecil diperlakukan seperti itu, tapi tetap saja ia tak bisa menepis tangan lembut ibunya. Jangan ibu, itu kotor.
Ia tersenyum menenangkannya, "Semua sudah bisa diatasi, bu."
Menyadari ada tamu diruangan itu, Zhou Lin menghadap ke arah tamu-tamunya, lalu memperkenalkan Suro pada mereka.
"Oh, ya, ini anakku, Luo Bai Wu," katanya.
Mereka berdiri bersamaan sambil mengepalkan telapak tangannya ke depan dan sedikit menunduk.
"Salam tuan muda," sapa mereka bersamaan.
"Kami diperintah oleh tuan kami, Cho Jin Chu. Namaku Wei Li Yang, dan ini adik saya Wei Fu Han.
Suro menyambut sapaan mereka dengan gerakan sama.
"Salam tuan-tuan, selamat datang di kediaman keluarga Yang, tak perlu sungkan. Silahkan." Sambut Suro, lalu mengambil tempat duduk bersama ibunya saling bersebelahan.
Seorang pelayan wanita masuk, ditangannya membawa baki berisi minuman hangat untuk suguhan.
Tak lama, lelaki yang bernama Wei Li Yang menghadap ke arah Suro, memberi hormat sekali lagi sebelum berbicara.
"Kami mendapat perintah dari tuan Cho untuk menyampaikan kabar tentang ayah tuan Muda Yang."
"Bagaimana kabarnya?" Suro bertanya.
"Mereka berdua saat ini sedang berada dikediaman tuan Cho, termasuk dua orang lainnya. Mereka dalam keadaan baik-baik saja, meskipun tuan Tan Bu dalam keadaan terluka."
Sebelum Suro tiba di rumah, dua orang pengawalnya sudah menyampaikan berita bahwa Tan Bu dalam keadaan terluka, jadi berita itu tidak terlalu mengejutkannya, hanya saja ia tidak tahu seberapa parah keadaannya.
"Apakah luka kakak Tan Bu sangat parah?" tanya Suro.
"Kebetulan waktu terjadi pertarungan, saya yang turun langsung di tempat kejadian. Tuan Tan Bu memang terluka parah dan sempat pingsan beberapa jam. Tetapi tuan Cho sudah memanggil tabib terbaik sebelum kami diutus kemari, dan menurut tabib itu, setelah diberi obat kondisinya sudah tidak masalah lagi," kali ini Wei Fu Han yang menjelaskan, karena dia ikut serta dalam penyelamatan Yang Meng saat perampokan terjadi.
Spontan, Suro mengangkat kedua tangannya beberapa saat kemudian mengusap wajahnya sambil bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu.
"Alhamdulillah," katanya dengan suara lirih.
Ia berpaling pada ibu dan adik angkatnya, mereka tampak tersenyum lega.
"Terima kasih sudah datang jauh-jauh untuk menyampaikan berita ini. Tuan-tuan pastinya merasa sangat lelah, alangkah baiknya menginap sehari di sini," Zhou Lin berkata pada kedua adik-kakak itu.
Wei Li Yang memandang adiknya sesaat, lalu melemparkan pandangan ke arah Zhou Lin.
Ia mengangkat tangannya, "Kami menghargai kebaikan hati nyonya Yang, tetapi tuan Cho meminta kami untuk tidak berlama-lama setelah menyampaikan berita ini."
Zhou Lin tersenyum mendengarnya, lalu kembali berkata, "Paling tidak, istirahatlah dulu untuk bersarapan, hingga menjelang siang kalian bisa kembali pulang."
Selesai berkata demikian, ia menoleh ke arah seorang pelayan yang berdiri didekatnya.
"Tolong siapkan kamar dan sarapan untuk tuan-tuan ini!"
Dua orang utusan itu sebetulnya sudah hendak berkata-kata agar tak merepotkan tuan rumah, tetapi pelayan Zhou Lin sudah keburu bergerak melaksanakan perintah majikannya itu.
"Maaf jadi merepotkan nyonya Yang," Wei Li Yan menunduk berterima kasih.
"Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih kami. Justru kami sangat senang tuan-tuan sampai rela datang kemari hanya untuk memberi kabar," sahutnya.
Suro yang dari tadi diam sebenarnya sedang memikirkan sesuatu. Ia ingin agar bisa ikut bersama-sama Wei bersaudara ke kediaman Cho Jin Chu untuk menjemput ayah angkatnya. Untuk menjaga ibunya selama dia bepergian, ia bisa mengandalkan Li Yun ditambah dengan meminta bantuan tetua Nan.
"Ibu, mohon izinkan ananda untuk menjemput ayah," katanya tiba-tiba.
Zhou Lin terdiam sambil memandangi wajah Suro, sesaat ia nampak berfikir.
Memang tidak ada lagi orang yang bisa diandalkan dan mempunyai keahlian beladiri mumpuni yang bekerja pada keluarga Yang. Tan Bu sendiri orang yang menjadi andalan keluarga itu sedang dalam posisi terluka. Awalnya dia berfikir, biarlah menunggu kesembuhan Tan Bu terlebih dahulu agar suaminya bisa pulang ke rumah, syukur-syukur tuan Cho Ji Chu bersedia mengirimkan pengawalnya untuk menemani mereka selama perjalanan.
"Ikuuut!" Li Yun berseru, Suro dan Zhou Lin spontan menoleh dengan wajah terkejut.
"Tidak boleh!" larang Suro, matanya agak mendelik. Sementara Zhou Lin menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Kamu fikir ini jalan-jalan?" tanya ibunya sambil sedikit melotot.
Merasa permintaannya ditolak mentah-mentah, ia menunduk memasang muka cemberut sambil melipat tangannya.
Zhou Lin lalu menghadapkan wajahnya ke arah Suro, lalu menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
"Lebih baik, tunggu Tan Bu pulih untuk kembali pulang. Yang jelas saat ini, biarlah ia beristirahat di sana untuk beberapa hari," katanya.
"Ibu, ananda khawatir jika kejadian ini terulang dalam perjalanan pulang, oleh karena itu, mohon ananda diizinkan untuk ikut paman berdua ini ke kediaman tuan Cho Ji Chu untuk menjemput ayah," Suro memberi alasan.
Sebenarnya, ia sepakat dengan alasan yang dikemukakan Suro, tetapi masalahnya adalah anak angkatnya itu berasal dari suku bangsa luar. Pasti akan memancing orang-orang jahat yang melihatnya untuk mengadu ilmu. Apalagi jika bertemu dengan tentara Manchu.....
Sekali lagi, ia menggeleng menolak keinginan Suro.
"Tidak, nak. Jangan membuat ibu khawatir," sahutnya.
Suro menghela nafas, sebenarnya ia sedikit kecewa. Tapi, dalam hati ia memang sudah berniat untuk pergi bersama kedua utusan Cho Jin Chu.
Lalu, ia memegang tangan Zhou Lin sambil menatap penuh harap pada ibunya itu.
"Ibu, percayalah. Ananda akan membawa ayah pulang dengan selamat," katanya membujuk penuh harap.
Kelihatan sekali jika wanita itu sedang bingung menanggapi keinginan Suro, antara iya dan tidak. Mana bisa ia membiarkan Suro melakukan perjalanan jauh. Ini bukan negerinya, yang karakter orang-orangnya barangkali juga berbeda dengan orang-orang di negeri asalnya.
Setelah menarik nafas panjang, Zhou Lin mengangguk pelan dengan senyuman tipis sebagai tanda mengabulkan keinginan Suro.
Suro akhirnya balas tersenyum, "Mintalah tetua Huang Nan Yu untuk menginap di sini beberapa hari untuk menjaga ibu."
***
Menjelang tengah hari, Suro sudah berangkat bersama kedua utusan Cho Jin Chu. Masing-masing mengendarai kuda dengan kecepatan santai dan tidak terburu-buru, mengingat kuda Wei bersaudara juga belum lama beristirahat dari perjalanan panjangnya. Diperkirakan, setelah menginap semalam di kota selanjutnya untuk beristirahat, besok lusa di pagi hari mereka sudah tiba di kediaman Cho Jin Chu.
Zhou Lin dan Li Yun sudah berdiri di gerbang pintu halaman sesaat sebelum melepas keberangkatan Suro.
"Li Yun, kakak titip ibu, ya," pesannya pada Li Yun sambil mengusap-usap kepala adik angkatnya itu.
"Ya!" jawabnya singkat dan ketus.
Gadis itu nampaknya kecewa karena keinginan untuk ikut ditolak oleh ibunya. Ia berfikir perjalanan ini tidak terlalu berbahaya, jika terjadi hal-hal yang mengejutkan, itu adalah 'apes' saja. Makanya, keinginannya untuk ikut bisa dibilang hanya berjalan-jalan saja alias hiburan.
Suro mengikat kepalanya dengan kain putih yang cukup panjang sehingga menjuntai melewati bahunya, kain itu nantinya ia gunakan sebagai alas untuk shalat. Tongkat rotan milik Ki Ronggo ia selipkan di belakang punggungnya.
"Ananda pamit dulu, bu," katanya sambil mencium tangan Zhou Lin.
"Berhati-hatilah di jalan," Zhou Lin mengangguk sambil tersenyum, hatinya merasa was-was akan keselamatan pemuda yang menjadi anak angkatnya itu.
Akhirnya mereka tiba menyusuri jalan dipinggir sungai, yang membelah hutan beberapa saat setelah cukup jauh dari kediaman keluarga Yang. Bayangan matahari sudah menunjukkan waktu shalat dzuhur. Maka, Suro meminta untuk beristirahat sejenak.
Sementara ia melaksanakan Shalat, kedua utusan itu menyantap bekal yang sudah disiapkan oleh Zhou Lin. Setelah selesai shalat dan berdzikir sebentar, lalu bergabung bersama adik-kakak Wei. Rupanya, sedari tadi sembari menyantap bekal makan siang, mereka sesekali memperhatikan Suro saat shalat.
Awalnya, Wei bersaudara sempat berdiskusi dengan suara berbisik, kemudian setelah Suro selesai shalat, mereka berdua kembali diam tak bersuara dan sibuk dengan makan siangnya, sepertinya mereka ingin mengatakan sesuatu hal tetapi agak sungkan.
Entah untuk memecah kebisuan, akhirnya Wei Li Yan terdengar berdehem, meraih minuman dan meminumnya beberapa kali tegukan, ia berkata, "Tuan Muda Yang, itukah yang anda katakan shalat?"
Suro tersenyum, ia sudah menduga bakal ada pertanyaan seputar apa yang barusan dilakukannya. Memang, orang akan merasa asing dengan hal yang baru mereka lihat atau temui dan biasanya agak sungkan untuk bertanya, termasuk Wei Li Yan dan Wei Fu Han.
"Shalat adalah salah satu gerakan ibadah dalam agama Islam, sebagai bentuk ketaatan bagi seorang muslim atas perintah tuhan. Merupakan kumpulan gerakan yang jika dilakukan dengan benar dan tertib akan bermanfaat secara spiritual dan fisik," jawabnya.
Terus terang ia agak bingung menjelaskan tentang shalat pada orang-orang yang tidak mengenal Islam. Ia berusaha menjelaskan dengan bahasa yang mudah difahami. Tentu, hal baru akan menimbulkan banyak pertanyaan. Itu pun jika yang bertanya tertarik, jika tidak atau hanya sekedar tahu, maka pertanyaan bakal terhenti sekedar basa-basi.
"Oh, tuan muda Yang beragama Islam?" tanya Wei Fu Han, "Itu agama yang datang dari negeri Arab, ya?"
Pemuda itu mengangguk. Mendapat pertanyaan demikian, merupakan pertanda bahwa dua kakak beradik itu sudah pernah mendengar atau bahkan bertemu dengan orang-orang Islam.
Wei Fu Han mengangguk, ia seperti faham sesuatu.
"Aku pernah dengar tentang itu, dari seorang kawan yang melakukan perjalanan ke daerah barat dengan membawa kain sutera untuk dijual ke sana. Bahkan, kudengar di negeri ini di bagian selatan, para pemeluknya juga sudah banyak. Sungguh penyebarannya sangat pesat, yang dibawa oleh para pedagang dari Persia," katanya memberi informasi.
"Benarkah?" tanya Suro kemudian.
Wei Fu Han mengangguk.
"Bahkan, sejak generasi dari Dinasti Ming akhir, ajaran ini sudah masuk. Selain agama, ilmu beladirinya juga berkolaborasi dengan kung fu setempat," terangnya lebih lanjut.
"Bisakah tuan jelaskan tentang bermanfaat secara fisik dan spiritual dari gerakan shalat itu?" tanya Wei Li Yan, ia seperti penasaran.
Kembali Suro berfikir. Harus memulai dari mana?
"Secara fisik itu biasanya diperoleh tanpa disadari setelah sekian lama. Gerakan-gerakannya mengandung teknik pelemasan urat dan otot, seperti gerakan yang sudah tuan lihat ketika saya melaksanakan shalat barusan. Makna spiritual diperoleh ketika seseorang itu melakukannya dengan sempurna sesuai hukum atau syarat syahnya shalat. Ketika seseorang itu dalam keadaan shalat, maka dia wajib membaca kalimat-kalimat berbahasa arab yang harus dihafal dan difahami maknanya. Lama-kelamaan, bacaan yang sudah difahami maknanya akan berubah menjadi sebuah dialog antara dia dengan tuhannya secara dua arah, tidak ada lagi dia rasakan diluar shalatnya selain berdialog, fikirannya betul-betul fokus pada apa yang ia baca dan fahami. Dalam suatu riwayat seorang sahabat rasul Allah, tertusuk anak panah. Lalu beliau meminta sahabatnya yang lain untuk mencabutnya ketika ia sedang dalam melaksanakan Shalat. Pada saat saat ia sedang asyik berdialog dengan tuhannya, panah itu berhasil dicabut tanpa ia merasakan sakit. Istilah shalat orang yang begini disebut khusyuk."
"Apakah bisa dikatakan shalat itu sebagai salah satu bentuk meditasi?" tanya Wei Fu Han bergantian.
Dari penjelasan Suro, ia menangkap kesan bahwa shalat itu seperti konsentrasi penuh yang biasa dilakukan ketika seseorang bermeditasi.
"Sangat berbeda," jawabnya, "ketika bermeditasi, tujuan kita adalah mengosongkan fikiran dari apapun yang mengganggu, hanya fokus pada titik yang bisa menetapkannya agar tidak kehilangan konsentrasi. Tetapi dalam shalat, tidak boleh ada kekosongan, yang ada adalah kesadaran. Kesadaran bahwa kita sedang berdialog dengan tuhan."
"Hmmm...." Suro melihat keduanya mengangguk.
"Saya tidak tahu di negeri ini. Di tempat asalku, banyak orang yang mempunyai ilmu kesaktian, salah satunya mampu melihat mahluk diluar dirinya, termasuk cahaya yang mengelilingi tubuh sesorang atau yang disebut sebagai aura. Aura dasar manusia adalah putih, dan kemudian bisa berubah-ubah tergantung banyak faktor, entah sakit, entah emosional, entah prilaku dan sebagainya. Nah ketika seseorang bermeditasi, aura paling tinggi yang keluar dari jiwanya perlahan akan berwarna ungu. Tetapi, yang terjadi ketika seseorang itu shalat yang benar, aura nya terus melonjak dari ungu berubah menjadi putih."
"Benarkah?" tanya mereka kompak.
Suro mengangguk membenarkan. Baru saja ia hendak melanjutkan penjelasannya, dari jauh terdengar suara derap kaki kuda bergerak cepat dan semakin lama terdengar semakin dekat.
Tak lama berselang, disusul dengan kemunculan seorang gadis remaja berpakaian biru muda dan anggun tengah menunggang kuda hitam sudah tertangkap pandangan mata sedang menuju ke arah mereka beristirahat.
Ketika sudah dekat, si gadis penunggang kuda mulai mengurangi laju tunggangannya dan melihat mereka dengan senyum gembira.
Tetapi tidak dengan Suro, begitu matanya sudah bisa melihat dengan jelas rupa gadis itu, keningnya nampak berkerut, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Dasar keras kepala!" ia berkata dengan suara menahan jengkel.
Siapa lagi yang datang kalau bukan adik angkatnya itu, Yang Li Yun.
"Kakaaak!!" teriaknya dengan senyum cengengesan sambil melambaikan tangan.