"Hai orang asing! Bagaimana kamu bisa mengenali kami?" tanyanya.
Suro memandangnya dengan tatapan marah, "Kalian rupanya komplotan para penjahat, lebih baik sekalian kuberi pelajaran!"
Selesai berkata, ia langsung berlari mendekat dengan cepat sambil melayangkan sebuah pukulan ke arah penyerangnya. Mendapat serangan itu, yang diserang silangkan kedua tangannya membendung pukulan dari Suro, tapi tetap saja, tangannya yang dipakai sebagai tameng justru malah menghantam hidungnya hingga seketika itu juga mengalirkan darah. Kepalanya terasa pusing, tak mengira pukulan si pemuda begitu kuatnya.
Lawan yang dihadapi Suro kini tidak lagi bertiga, melainkan berlima, dan semuanya secara bersamaan mengepungnya dan melakukan serangan beruntun.
Gerakan Suro makin gesit, ia menangkis dan menyerang ke sana kemari. Pukulan dan tendangannya juga sempat mengenai beberapa dari mereka. Suro dapat mengukur kemampuan mereka, dan yang dianggapnya lebih tinggi adalah orang yang melemparnya dengan batu kerikil.
Suatu ketika, pukulan dan tendangan secara kompak menyerang dari lima arah, Suro lalu memilih salah satu dari mereka untuk menjebol serangan dengan merundukkan tubuh sedikit, memajukan kakinya, menyelinapkan tangannya diantara ketiak lawan, dan sekaligus mengangkat tubuh lawan dengan ringan memanfaatkan tenaga dari lawan. Gerakan itu tanpa jeda, mengalir begitu saja seperti aliran sungai.
Buk!!!
Tubuh lawan terangkat dan kemudian terbanting dengan keras.
Beralih ke arah lainnya, Suro membuat gerakan baru, tubuh dan tangannya berayun tenggelam ke bawah, pukulan lawan berada di atas bahunya, melesat maju ke arah sasaran yang dituju, tangannya tiba-tiba menjumput tanah dan menaburkannya bersamaan dengan menaikkan tubuhnya ke atas. Gerakan ini dinamakan Naga Menyelam.
Segenggam pasir berhamburan menyerang wajah, lalu kakinya tiba-tiba seperti peluru menjejak dada lawan.
Yang diserang kalang kabut akibat sebagian pasir yang masuk ke matanya dan jejakan kaki Suro telak mendarat didadanya hingga tubuhnya terlempar beberapa meter.
"Tahan!!" Satu seruan terdengar cukup keras.
Tiba-tiba saja, lelaki yang melempar kerikil ke arah Suro buru-buru menghalau rekan-rekannya yang lain dan menariknya dengan cepat sambil melompat mundur menjauh dari Suro.
Suro langsung menghentikan aksinya ketika melihat lawannya berinisiatif menghentikan serangan. Tak ada gerakan untuk beberapa saat.
"Mau bertobat, ya?" Suro mengajukan pertanyaan mengejek.
Tak menjawab pertanyaan, Suro malah melihat mereka saling berbisik dan berdiskusi, kemudian beberapa darinya nampak terkejut, lalu memandang ke arah Suro seperti sedang melakukan pengamatan terhadap dirinya.
Serentak, seperti diberi aba-aba, mereka tiba-tiba berlutut, menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil menunduk. Mereka seperti malu dan bersalah menatap Suro.
"Salam Hormat, tuan pendekar!" seru mereka spontan dan bersamaan.
Suro memandang mereka dengan tatapan jengkel, sesekali ia menyeka darah yang mengalir melalui pelipisnya.
"Zhu Xuan tidak tahu membalas budi pada tuan! Justru malah menyerang orang yang telah menyelamatkan kami dari serangan tentara Manchu tempo hari! Mewakili para anggota, mohon kepada pendekar untuk memberi hukuman karena ketidaktahuan kami!" katanya tanpa berani mengangkat kepala.
Suro ketika melihat Zhu Xuan, terlebih dengan munculnya lelaki lain yang ternyata adalah Wang Yun sebenarnya sudah menyadari, bahwa mereka semua adalah orang-orang yang pernah dia selamatkan dari kejaran Perwira Chou beberapa hari yang lalu.
Makanya, saat kemunculan mereka berdua dia tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Di sisi lain Zhu Xuan sendiri tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan lelaki bertopeng yang sudah menyelamatkannya hari itu.
Oleh karena itu, dihatinya timbul rasa jengkel dan menyesal begitu mengetahui orang-orang yang dia tolong ternyata adalah gerombolan pencuri.
Saking jengkelnya, ia malas menanggapi pernyataan yang dilontarkan oleh Zhu Xuan dan berniat untuk angkat kaki dari tempat itu.
"Aku anggap, ini adalah hukuman buat kalian. Jangan sampai aku mendapati kalian melakukan pencurian lagi. Jika tidak, jangan salahkan saya kalau tidak ada pertarungan seperti tadi, melainkan langsung pukulan mati!"
Selesai mengancam, Suro membalikkan tubuh hendak pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi dalam hatinya juga bertanya-tanya, darimana Zhu Xuan tahu bahwa dia adalah orang yang pernah menyelamatkannya.
"Tuan Pendekar mohon jangan pergi dulu!" Zhu Xuan kembali berseru mencegah Suro untuk bertahan. "Bagaimana kami bisa membalas budi jika tuan pergi."
"Apa maksudmu?" Suro bertanya sambil membalikkan tubuhnya kembali.
"Tuan adalah orang bertopeng yang tempo hari menyelamatkan kami dari serangan perwira Chou," terang Zhu Xuan.
"Ngawur!" bantahnya.
"Saya memaklumi, tuan sengaja menyembunyikan identitas tuan. Tapi, supaya kami bisa membalas budi, mohon izinkan kami memohon ampun dan bersedia untuk dihukum."
Suro mengibaskan tangan kanannya sebagai isyarat bantahan.
"Kalian bicara apa!?" bentaknya.
Zhu Xuan, mengangkat kepalanya, memandang segan ke arah Suro. Ada rasa bersalah dan malu terpancar dari wajahnya.
"Tuan menggunakan jurus yang sama dengan orang bertopeng yang melawan Perwira Chou waktu itu, salah satu dari Jurus Tai Chi dan gerakan menghambur pasir! Cuma tuan pendekar yang bisa melakukannya."
Suro terdiam, itulah yang ditakutkan. Identitas sesorang kadang bisa dikenali dari jurus yang dipakainya. Makanya, ketika berhadapan dengan Perwira Chou, Suro tanpa sengaja menggunakan salah satu dari gerakan Tai Chi, dan perwira itu dengan jelas mengetahuinya.
Bisa jadi, gerakan itu nantinya akan menjadi bumerang dikemudian hari, digunakan untuk mencarinya dalam upaya membalas dendam. Pasti banyak yang akan jadi korban, termasuk keluarga dan yang ahli dalam kung fu tersebut.
Merasa tidak bisa mengelak, mau tidak mau Suro terpaksa harus mengakuinya.
"Huh!" dengusnya dengan jengkel.
Ia tak bisa berkata lagi.
"Tuan Pendekar, kami tahu engkau mungkin benci atas apa yang kami lakukan. Dan memang kami adalah para pencuri. Tapi kami mencuri dari orang kaya lalu kami bagi-bagikan untuk orang miskin. Tuan pasti sudah melihat, di negeri ini jumlah orang yang miskin sangat banyak dan kami tergerak membantu mereka dengan cara ini."
Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam hal keyakinan yang dianutnya, ia tahu bahwa itu perbuatan yang keliru, mencuri dengan alasan apapun. Tapi tak mungkin menanyakan keyakinan yang dianut oleh Zhu Xuan dan kawan-kawannya, buktinya, mereka sama meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar, berbuat baik!
Ada yang salah di hati mereka.
"Sekarang saya akan bertanya pada tuan Zhu Xuan dan kalian semua, mohon untuk dijawab, apakah orang yang mengumpulkan hartanya dengan baik dan benar itu salah?" tanya Suro.
"Tidak!" mereka menjawab serentak.
"Apakah kalian tahu, diantara orang yang kalian curi hartanya itu siang dan malam juga ikut memikirkan nasib orang-orang miskin disekitarnya?"
Mereka saling pandang mendengarkan pertanyaan itu.
"Kami menyadari ada orang kaya yang memang peduli dengan nasib orang lain," Zhu Xuan memberanikan diri memberikan jawaban, "Tapi, tidaklah sepenuh hati!"
"Orang yang miskin berapa banyak? Lalu bagaimana kau tahu tidak sepenuh hati? Apakah pemberian mereka sedikit? Tidak mungkin semua orang miskin bisa mereka bantu. Kalian tahu, mereka juga punya keluarga dan punya pegawai yang harus mereka fikirkan kehidupannya!"
Untuk sesaat, suasana jadi hening. Suro menunggu kalimat balasan keluar dari salah satu mulut mereka.
"Justru mereka itu lebih mulia, mereka bantu orang untuk bekerja dan menerima gaji, mencegah orang-orang dari meminta-minta." Suro melanjutkan kalimatnya. "Alangkah bagusnya kalian mengikuti cara mereka, membuat suatu usaha lalu memperkerjakan orang-orang miskin agar mereka bisa hidup layak. Bukan dengan cara merampok!"
Zhu Xuan kembali menundukkan kepala. Posisi mereka tak ada yang berubah.
"Saya yakin, aliran agama apapun pasti mengajarkan hal yang baik dan benar. Memberi itu baik, tapi dengan cara mencuri itu tidaklah dibenarkan. Ibarat mencuci pakaian dengan air kencing, mencucinya bertujuan membersihkan kotoran, tapi caranya dengan menggunakan air kencing, apakah itu benar?" Suro memberikan gambaran dengan pertanyaan.
Lalu membentak "Jawablah!"
"Tidak benar, tuan!" sekali lagi mereka kompak menjawabnya.
Bayangan Ki Ronggo tiba-tiba hadir dalam ingatannya. Duduk dihadapan para santri di aula kecil padepokan Kantil Putih, sambil memberikan wejangan yang panjang lebar dengan bahasa yang santun dan bijaksana.
Ia dapat merasakan aura dari sang guru yang begitu hangat, nasehat yang keluar dari mulutnya membuat terkesima tak bergerak, merasuk dan menjadi nutrisi bagi batin yang gersang, sehingga membentuk karakter santri yang berbudi luhur.
"Anak-anakku sekalian, di dalam tubuh manusia itu terdapat api yang tidak boleh mati. Besar kecilnya itu berada dalam genggaman hati, maka sebagai penguasanya, hati haruslah dilatih untuk mengendalikannya. Kita bisa membesarkan api, dan kita juga bisa mengecilkan api. Jika besar, jangan sampai membuat terbakar, dan jika kecil jangan sampai dia gelap dan mati. Ibarat memelihara angkara murka dalam diri, bukan berarti dikuasai melainkan menguasai dan mengarahkannya untuk menjadi indah.
Jika dikuasai, prilaku kita menjadi seperti Iblis. Jika menguasai, prilaku kita menjadi seperti malaikat. Mereka itu mahluk Allah yang diciptakannya dari unsur yang bersifat panas, yaitu api dan cahaya. Sedangkan Allah menciptakan manusia itu dari tanah yang bersifat adem (sejuk) lalu memberinya kehangatan dengan api dalam dirinya.
Manusia, diberi kebebasan untuk memelihara api, baik dan buruk telah diberikan, kita tinggal memilih mana yang akan kita kembangkan dalam hidup ini. Oleh karena itu, jangan salahkan siapapun andaikata kita termasuk berkelakuan buruk dan terpuruk, kecuali dirinyalah yang memilih menjadi buruk.
Maka peliharalah ia dengan petunjuk dari sang Pencipta. Itulah yang dikatakan NGRUWAT AYUNING DYO, karena Api itulah simbol hawa nafsu."
Mengenang itu, kejengkelannya perlahan mencair. Tugasnya sekarang adalah bagaimana caranya agar nasehat dan ajakan untuk berbuat baik itu bisa diterima oleh orang lain dengan sukarela tanpa terpaksa.
"Saya tahu, anda semua adalah orang-orang yang baik. Saya meyakini pertemuan kita ini memang sudah ditakdirkan, berharap tuan-tuan mulai detik ini bisa berjuang dengan cara yang baik dan benar. Tuhan itu Maha Baik, dan hanya menerima yang baik-baik saja. Kalian berjuang untuk menyelamatkan hidup orang-orang miskin dari kelaparan itu baik, tetapi dengan memberi mereka harta yang tidak baik, maka saya berani menjamin, perjuangan kalian itu seperti kabut asap alias sia-sia, hilang tak berbekas!"
Melihat Zhu Xuan dan kawan-kawannya masih dalam keadaan berlutut, Suro pun perlahan mendekat, lalu memegang dua siku Zhu Xuan dan membantunya untuk berdiri. Tapi Zhu Xuan seperti menolak, ia tetap menahan tubuhnya.
"Tolong, tuan pendekar. Anda belum memberi kami hukuman!" katanya.
Suro tertawa kecil, dia teringat Zheng Yu, perompak yang menyerang kapalnya sewaktu dalam pelayarannya.
"Aku bukan tuhan, dan tugasku di dunia ini adalah mengajak orang untuk berbuat baik terhadap semesta," sahutnya, lalu tertawa.
Zhu Xuan mengangkat kepalanya, lalu memandang wajah Suro dengan tatapan menyesal.
"Sungguh, ucapan tuan pendekar benar. Kami menyangka apa yang kami lakukan sudah benar, tetapi nasehat yang tuan sampaikan sungguh membuka mata kami." lanjutnya.
"Kalau begitu, berdirilah kalian semua. Diri saya ini juga tak lebih pantas untuk dihormati seperti ini," pinta Suro.
Setelah mendengar ucapan Suro, mereka saling pandang satu sama lain.
"Terima kasih tuan pendekar!" sahut mereka kompak, lalu berdiri berbarengan.
"Sungguh, apa yang tuan sampaikan itu benar. Kami akan melakukan apa yang tuan sampaikan," kali ini Wang Yuan yang berbicara, dan disepakati oleh anggota lainnya dengan anggukan kepala.
Tiba-tiba, dari arah belakang Suro, terdengar derap langkah kaki orang berlari. Ketika dia menoleh ke asal suara, secara samar-samar ia melihat dua orang yang dikenalnya sebagai penjaga rumah keluarga Yang sudah tak jauh dihadapannya.
"Tuan Muda Yang," mereka memberikan penghormatan, dan salah satunya berkata, "Ada utusan dari tetua Cho Jin Chu di rumah, bahwa tuan Yang Meng bersama tuan Tan Bu ada dikediaman beliau."
Suro tersenyum lebar mendengar berita yang disampaikan kepadanya, raut wajahnya pun berubah ceria.
"Bagaimana kabar mereka?" tanyanya.
"Tuan Yang Meng dalam kondisi baik, tetapi tuan Tan Bu dalam keadaan terluka...."
Hatinya yang tadi sudah mulai tenang, tiba-tiba berubah cemas. Ia harus kembali, batinnya.
Ia melupakan Zhu Xuan Yu dan anggotanya dengan langsung beranjak pergi, tetapi ia kembali menoleh ketika Zhu Xuan Yu memanggilnya.
"Tuan Pendekar, sebelum pergi, izinkan kami tahu nama tuan!" pintanya.
Suro tak langsung menjawab, sebagai orang asing di negeri orang, apalagi seterunya dengan Perwira Chou, sangat rawan mengenalkan namanya. Tapi ia tak punya banyak waktu untuk berfirikir....
"Yang Luo Bai Wu!" jawabnya.