"Ha.ha.ha....Mari silahkan duduk tuan Yang!" seorang lelaki bertubuh gemuk dan berwajah bulat nampak tertawa gembira sambil mempersilahkan Yang Meng untuk duduk di kursi dalam ruang tamu yang sudah disediakan.
Lelaki itu berusia sama dengan Yang Meng, tapi terlihat lebih tua dengan janggut dan kumis panjangnya yang sebagian nampak memutih, seorang pedagang antar negera seperti Yang Meng. Dia bernama Cho Jin Chu.
Siang itu itu, Yang Meng sedang berada jauh dari kotanya dalam urusan dagang, berhubung Cho Jin Chu tinggal di kota itu maka ia sengaja menyempatkan diri untuk berkunjung.
Yang Meng ditemani pelayan setianya, Tan Bu, langsung menangkupkan kepalan tangannya di depan dada, memberi salam pada Cho Jin Chu, sambil tertawa ringan.
"Terima kasih sahabatku," sahutnya sambil mengambil tempat duduk, dan Tan Bu memilih duduk di kursi yang ada dibelakangnya.
"Kapan Anda tiba negeri seberang?"
Cho Jin Chu menuangkan teh ke dalam 3 buah cangkir yang ada di meja. Di baginya masing-masing untuk dirinya dan dua orang tamunya itu.
"Sudah dua minggu kami tiba, setelah menyelesaikan barang-barang pada posnya masing-masing di wilayah terdekat, baru kemudian untuk pos yang berada di kota ini..," paparnya.
Setelah mempersilahkan tamunya menikmati suguhan teh, Cho Jin Chu melanjutkan bicaranya.
"Ku dengar, ini adalah perjalanan terakhirmu berlayar. Apakah anda punya rencana lain?" tanya Cho Jin Chu.
Yang Meng mengangguk, tertawa kecil, "Iya, kurasa aku sudah cukup tua untuk melakukan perjalanan jauh. Maka, kuputuskan untuk pensiun. Aku sudah membeli beberapa aset yang menguntungkan dibeberapa tempat, selanjutnya termasuk beberapa kapal yang kupunya akan kusewakan bagi pedagang-pedagang lainnya..."
Kali ini Cho Jin Chu yang mengangguk-angguk, bibirnya menyungging senyum kekaguman.
Cho Jin Chu merupakan kawan kecil Yang Meng yang cukup terkenal dan kaya raya dikotanya, ketika beranjak dewasa memulai usaha warisan dari ayahnya yang juga seorang pedagang antar negara. Usaha itu diteruskan olehnya dengan mengajak Yang Meng sebagai rekan bisnisnya. Sejak itulah, Yang Meng mulai belajar dari Cho Jin Chu hingga akhirnya bisa seperti sekarang. Bisa dikata, Yang Meng banyak berhutang budi dengan lelaki itu.
"Hebat.... Hebat...." puji Cho Jin Chu.
Yang Meng tertawa, lalu mengepalkan dua tangannya di depan dada.
"Andalah yang hebat, Tuan Cho... Andalah yang hebat," ucapan Yang Meng merendah, "jika anda tidak melibatkan saya dalam usaha tuan, saya tidak akan bisa seperti sekarang. Anda sangat berjasa terhadap hidup saya. Entah bagaimana saya bisa membalasnya."
Suara tawa pun terdengar beberapa saat memenuhi ruangan itu penuh keakraban.
Setelah berbicara panjang lebar, bertanya kabar usaha sampai dengan keluarga, serta berdiskusi segala macam, Yang Meng pun pamit meminta izin untuk kembali pulang.
"Sudah terlalu siang jika anda memutuskan untuk pulang sekarang, pasti akan kemalaman diperjalanan, kenapa tidak menginap disini saja lalu pagi-pagi sekali baru berangkat," tawarnya dengan harap.
Ia nampak masih ingin mengobrol lebih lama dengan Yang Meng.
"Aku sudah terlalu lama berlayar, kemudian setelah beberapa hari berkumpul dengan keluarga, kulanjutkan perjalanan menyelesaikan urusan lagi dibeberapa tempat berharap semua beres hingga tak ada beban lagi. Kurasa aku ingin buru-buru bertemu anak angkatku." katanya sambil tersenyum.
Yang Meng sudah membayangkan ia akan segera berkumpul kembali dengan keluarganya. Kerinduan terutama pada Suro, anak angkatnya, sepertinya sudah tidak bisa ditahan lagi.
Cho Jin Chu mendengar itu langsung tertawa keras hingga tubuhnya bergoyang dibarengi dengan anggukan kepala. Ia memaklumi keinginan Yang Meng. Biasa, sesuatu yang baru itu pasti membuat rindu, fikirnya.
"Ha,ha,ha.....ha...Baiklah, baiklah.... Nampaknya aku tak bisa menahanmu untuk menginap barang semalam di sini." Cho Jin chu akhirnya mengalah.
Sambil berdiri, disusul dengan Tan Bu, mereka berdua menunduk memberi hormat.
"Terima kasih tawarannya, tuan Cho. Lain waktu, aku akan kemari lagi berkunjung bersama keluargaku."
***
Kereta kuda yang ditumpangi Yang Meng melaju santai, ditarik oleh 2 ekor kuda yang nampak kuat, memiliki sebuah ruangan tertutup yang muat untuk 4 orang, mulai menapaki jalanan sepi memasuki perbatasan kota. Yang Meng dan Tan Bu berada di dalam kereta, sedangkan 2 orang lagi yang merupakan pengawal Yang Meng duduk bangku luar, salah satu darinya memegang kendali kuda.
Jalanan antar kota itu cukup lebar, tetapi tidak banyak rumah dikiri kanannya, hanya ditumbuhi pepohonan pinus yang tidak terlalu rapat.
"Apakah nanti kita akan menginap lagi dikota selanjutnya, tuan Yang?" tanya Tan Bu yang duduk berhadap-hadapan dengan Yang Meng.
Jalanan yang tidak rata dan kadang berbatu membuat kondisi di atas kereta kuda itu bergoyang-goyang.
Matahari sudah mengarah ke barat, warna langitpun sudah beranjak menguning. Tan Bu memperkirakan, jika melaju dengan kecepatan demikian mereka akan tiba di kota selanjutnya menjelang tengah malam.
Yang Meng diam sejenak, dahinya agak berkerut sedang memikirkan keputusan. Tangannya membuka tirai dalam kereta lalu mengintip keluar jendela memperhatikan langit.
"Sepertinya memang tidak bisa dipaksakan, kita memang harus menginap," jawabnya sambil kembali menyandarkan punggungnya.
Suasana kembali hening, Tan Bu melihat Yang Meng sudah tampak lelah, matanya terkadang menutup tanda ia memang sedang mengantuk.
Sekitar setengah jam perjalanan, tiba-tiba kereta berhenti bersamaan dengan suara ringkikan kuda, Tan Bu yang dalam keadaan hampir tertidur sempat membuka matanya sesekali. Dia merasa malas untuk mengintip melalui jendela. Fikirnya, dua orang yang duduk di luar sedang buang air kecil atau sedang melakukan sesuatu hal, yang jelas ia malas untuk berfikir lebih jauh.
Sampai ia mendengar suara dialog yang cukup keras antara suara yang dikenalnya dengan suara orang lain yang sangat asing dan kasar membuat matanya langsung terbuka lebar, kantuknya mendadak hilang berganti dengan rasa khawatir. Terlebih lagi ketika ia mendengar suara pedang seperti keluar dari sarungnya.
Sesuatu telah terjadi di luar, fikirnya. Lalu tanpa mengintip lagi, ia langsung mengambil pedang yang ada disebelahnya dan keluar dari dalam kereta, suara pintunya berderik membangunkan Yang Meng.
"Tuan di dalam saja!" bisiknya pada Yang Meng yang dijawab dengan anggukan. Wajahnya terlihat panik.
Tan Bu melihat, dua orang pegawainya sudah turun dari kereta dengan pedang terhunus sedang dihadapan mereka 5 orang lelaki bertampang bengis sudah berdiri menghalangi jalan dengan senjatanya masing-masing yang siap dimainkan.
"Mengapa menghalangi perjalanan kami?!"
Sring!
Tan Bu mengeluarkan pedangnya, lalu mengacungkannya ke depan.
Kelima orang lelaki itu saling pandang dengan tatapan mata pura-pura bodoh. Lalu tertawa keras sekali.
"Kamu ini bodoh atau apa? Jelas, kami ingin barang-barang yang kamu bawa!" bentak salah satu dari mereka. Tubuhnya paling tinggi diantara yang lain, dan senjata yang dipegangnya adalah golok yang berukuran besar. Ia adalah pemimpin nya.
Tan Bu melangkah lebih dekat sambil menguatkan genggaman pada pedangnya. Tanpa rasa takut, ia tersenyum sinis.
"Kalau ingin barang-barang kami, silahkan ambil sendiri melewati pintu ini!" sambil berkata demikian, Tan Bu menepuk dadanya memberi isyarat bahwa pintu yang dimaksud adalah dirinya :. jika ingin merampok, maka lawanlah aku dulu!
Mendengar jawaban demikian, tampang mereka seperti meremehkan, seolah berkata : Tak sayang nyawa rupanya.
"Sudah!" sahut yang lainnya, "Habisi saja, lebih cepat lebih baik!"
"Kau dengar," senyuman kepala perampok itu seperti menyeringai, "Kawan-kawanku sudah tidak sabar."
Tan Bu tertawa sejenak, dia mendengus dengan keras. Tangan kirinya diangkat ke depan menghadap ke arah perampok sambil mengayunkan telapak tangannya memberi isyarat menantang.
"Kalau mau mati, silahkan maju!" tantangnya dengan tatapan mata tajam.
"Aku masih berbaik hati memberikanmu kesempatan untuk hidup. Ayolah, jangan buang-buang tenaga!" ucap kepala perampok sambil memandang goloknya, bibirnya menyungging senyuman bengis.
Mendengar kata-kata itu, Tan Bu justru membalasnya dengan meludah. Ia sengaja merendahkan si perampok dihadapannya.
Merasa diperlakukan demikian, amarah kepala perampok itu memuncak tiba-tiba seperti minyak yang tersulut api. Wajahnya berubah beringas seperti serigala yang lapar, lalu mengayunkan tangannya memberi isyarat untuk menyerang.
Tanpa komentar lagi, kelima orang lelaki itu langsung menyerbu sambil mengayunkan senjatanya.
Pertarungan 3 lawan 5 terjadi. Lelaki yang paling besar yang merupakan pimipinan perampok itu menyasar Tan Bu dibantu dengan 2 orang lainnya, sementara sisanya masing-masing berhadapan dengan pengawal Yang Meng.
Pedang di tangan Tan Bu bergerak ke sana-kemari, beradu kekuatan dengan senjata 3 orang lawannya, menangkis dan sesekali menyerang. Kombinasi pukulan dan tendangan pun turut berperan menyasar tubuh lawan.
Dalam menghadapi duel satu lawan satu, barangkali Tan Bu masih mampu untuk melakukan serangan-serangan balik, tapi kali ini ia merasa sangat kerepotan, terutama dalam segi tenaga dan perhatian yang terbagi.
Sesekali ia mampu menyarangkan pukulan dan tendangan telak ke arah 2 orang anak buah perampok, tetapi ia cukup kesulitan menghadapi pemimpinnya yang memiliki kung fu lebih tinggi, sehingga beberapa kali sabetan golok lawan nyaris mengiris kulit dagingnya. Sementara, 2 orang anggota Tan Bu sama kerepotan menghadapi lawannya masing-masing.
Yang Meng tampak mengintip dari balik tirai jendela keretanya dengan pandangan cemas, badannya gemetar ketakutan. Tak bisa dibayangkan jika Tan Bu dan 2 orang anggotanya tak bisa mengalahkan para perampok itu, pastilah nasib buruk bakal menimpanya.
Salah satu anggota perampok sempat melihat jendela kereta dimana Yang Meng kebetulan tengah terpaku mengintip pertarungan itu. Lalu, ia berinisiatif menyasar serangannya ke arah kereta setelah melakukan satu sabetan untuk memberikan ruang dia beralih sasaran.
Sialnya, niat merubah sasaran serangan itu justru membuka celah bagi Tan Bu untuk melakukan tendangan cukup keras.
Buk!
Perampok itu tersurut mundur beberapa langkah begitu tendangan Tan Bu behasil membuat dadanya sesak sesaat. Tapi tak lama, ia langsung berlari menjauhi Tan Bu dan 2 rekannya yang sedang menyerang Tan Bu, lalu mengambil jalur aman menggapai pintu kereta.
Yang Meng terkejut bukan main, tak menyangka tangan perampok berhasil menggapai pintu dan berusaha membukanya. Yang bisa dia lakukan adalah berusaha agar pintu kereta itu tidak terbuka dengan menahannya sekuat tenaga.
Kali ini Tan Bu yang terkejut, sambil meladeni 2 orang lawannya, ia dapat melihat sekilas terjadi tarik-menarik antara Yang Meng dan salah satu perampok yang tadi ditendangnya.
Ia harus berfikir cepat, kalau tidak tuannya itu akan mendapat celaka. Setelah ia mengibaskan pedangnya ke arah perut lawan, ia mengarahkan ujung pedangnya ke arah perampok yang akan menyerang Yang meng, memukul gagangnya dengan kekuatan penuh, dan pedang itu melesat.
Suara teriakan kesakitan terdengar ketika pedang Tan Bu tepat menancap menembus punggung si perampok yang disasarnya hingga dada. Terkapar sejenak di sisi kereta tempat dia berdiri, lalu meregang nyawa.
Sret!
Buk!
Tan Bu kehilangan konsentrasi, ketika ia sedang sibuk tak sampai sedetik sabetan golok berhasil menggores punggungnya, ditambah lagi sebuah tendangan dari perampok yang lain membuatnya terlempar hingga menghantam sisi kereta.
Di sisi yang lain, salah seorang pengawal Yang Meng berhasil menancapkan pedangnya ke tubuh perampok hingga tewas, lalu membantu kawannya bertarung. Tapi kawannya itu buru-buru menghalaunya ketika ia melirik, Kepala perampok bersama anggotanya sedang menyasar Tan Bu yang terluka.
"Bantu tuan Tan Bu!" serunya
Mendengar itu, ia langsung melompat sejauh mungkin agar bisa lebih dekat menggapai lawan. Tapi telat, kepala perampok itu kembali mengayunkan goloknya dari atas ke bawah dengan gerakan membacok.
Tan Bu tak bisa lagi menangkis tanpa pedangnya yang masih menancap di tubuh salah seorang perampok yang berhasil dibunuhnya, apalagi untuk mundur, sebab ia sudah tersandar sisi kereta. Satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan adalah berguling.
Sret!
Ujung golok merobek tipis pungung bawahnya hingga darah nampak merembes mengalir membasahi baju hingga celananya. Nyaris saja seandainya ia tidak berguling, pastilah batang golok itu akan sangat telak membelah tubuhnya.
Ia terus berguling sejauh mungkin menghindari kejaran sabetan pedang dan golok dua orang penyerangnya, hingga ia mendapati kesempatan untuk bernafas dengan susah payah ketika satu anggotanya melakukan tendangan melayang ke tubuh kepala perampok yang membuatnya jatuh tersungkur.
Melihat pemimpinnya tersungkur, perampok lainnya yang tadi mengeroyok Tan Bu langsung berbalik arah menghadapi anggota Tan Bu yang menyerang pemimpinnya.
Tiba-tiba, terdengar suara derap kaki kuda mendekat disertai dengan suara teriakan-teriakan cukup keras seolah berkata : Awas!!! Kami datang!!
Lima orang berkuda tiba-tiba muncul dan melompat lalu mengibaskan pedang ditangannya ke arah perampok yang tersisa.
Mendapat serangan seperti itu membuat para perampok kalang kabut, mereka melawan dengan serangan membabi buta seperti putus asa. Mereka sadar tak akan menang melawan lima orang penunggang kuda yang baru datang itu.
"Mundur!!!" Kepala perampok berteriak, memandang ke berkeliling dengan marah.
Usahanya gagal, anggotanya terbunuh. Sungguh baginya itu kekalahan yang sangat memalukan.
Serentak mereka memutar tubuh, lalu berlari menjauh dari tempat itu meninggalkan buruannya begitu saja.
Beberapa orang lelaki penunggang kuda itu hendak berlari mengejar, tetapi salah satu dari mereka menahannya dengan mengangkat tangan.
"Selamatkan tuan Tan Bu dulu!" serunya.
Ia langsung berbalik ke arah sisi kereta di mana Tan Bu terbaring dengan luka yang cukup parah dipangkuan salah satu anggotanya.
Tan Bu sempat memandang mereka sejenak dengan senyum lega sebelum sorot matanya perlahan meredup dan akhirnya kelopak matanya pun tertutup. Pingsan!