Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 14 - Ada Pencurian

Chapter 14 - Ada Pencurian

Perlahan, Tan Bu membuka matanya. Yang pertama dilihat adalah langit-langit kamar tempat ia terbaring lemah, lalu memandang ke segala arah mengamati keadaan dalam ruangan itu.

Semua perabotan yang ada tampak tersusun rapi dan terkesan mewah, ada sebuah meja dan beberapa bangku ditempatkan di tengah kamar yang diatasnya tersusun sebuah teko dan beberapa buah cangkir.

Akhirnya dia menyadari dirinya dimana berada. Hanya saja ia tidak tahu, berapa lama sudah terbaring di tempat itu.

Kediaman Tuan Cho, batinnya.

Yang jelas, saat ini matahari sudah meninggi menandakan hari sudah siang.

Matanya mengernyit, dan bibirnya meringis menahan perih akibat luka sabetan senjata, yang mengingatkannya pada pertarungan dengan para perampok menjelang senja tempo hari. Tubuhnya yang terluka sudah berbalut dengan kain perban di beberapa tempat yang nyaris membungkus seluruh badannya.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Yang Meng melangkah masuk bersama Cho Jin Chu. Melihat Tan Bu yang sudah sadar, mereka berdua tersenyum.

"Syukurlah kau sudah sadar. Bagaimana keadaanmu?" tanya Yang Meng pada Tan Bu, sambil menarik sebuah kursi yang didekatkan ke tepi pembaringan, sementara Cho Jin Chu duduk dikursi lainnya.

Tan Bu berusaha duduk, tetapi tangan Yang Meng menahannya memberi isyarat agar tetap dalam posisi berbaring. Tetaplah berbaring, kesannya.

"Saya merasa lebih baik, tuan Yang," ia menjawab sambil tersenyum.

Yang Meng menghela nafas, dari raut wajahnya menampakkan kesedihan dan empati atas apa yang dialami oleh pembantu setianya itu.

"Untunglah kita masih bisa selamat, meskipun kondisimu berakhir demikian..." berkata Yang Meng.

Tan Bu terlihat merasa bersalah, wajahnya nampak bersedih.

"Mohon maaf bila perjalanan pulang kita tertunda, tuan Yang," katanya kemudian.

"Bicara apa kamu," Yang Meng menegur agak keras, "Akulah yang harusnya meminta maaf membuatmu jadi begini. Kalau tidak tanpa perlawananmu, aku tak akan bisa melihat dunia ini. Kita sama-sama rindu ingin berjumpa Luo, makanya memaksakan diri untuk tetap pulang walau pun dalam keadaan malam..."

"Tuan, Yang... Anda adalah orang yang baik yang pernah saya temui, bersahaja, penyantun dan penyayang terhadap siapa saja. Tak pernah menganggap orang lain hina, karena dimatamu semua orang adalah sama. Makanya, langit membuka matanya untuk membayarmu dengan nyawaku, dan kau pun diberinya seorang anak angkat yang perilakunya sangat mirip denganmu..."

Mendengar kalimat-kalimat Tan Bu, lelaki itu terharu, dan matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ada orang yang rela mengorbankan nyawanya demi orang lain seperti pembantu setianya itu.

Dipegangnya tangan Tan Bu dengan erat, lalu berkata,"Kau juga orang baik, langit juga melihat perbuatanmu dengan menjadikan Luo sebagai adikmu..."

Tan Bu tersenyum, mengingat Suro, semangatnya menjadi muncul seakan memberikan energi tersendiri yang membuat tubuhnya merasa lebih baik. Ia yang juga sebatang kara merasakan rindu seperti yang dirasakan Yang Meng

Disisi lain, Cho Jin Chi terdengar menghela nafas panjang.

"Beberapa saat ketika kalian keluar dari rumah ini, aku seperti mempunyai firasat buruk, karena khawatir terjadi sesuatu lalu mengutus beberapa orang terbaikku untuk menyusul kalian. Ternyata benar, jika terlambat sedikit saja, maka ....." Cho Jin Chu tak melanjutkan kalimatnya.

Ia seperti tak berani mengatakan hal buruk yang akan menimpa rombongan Yang Meng jika utusannya datang terlambat, hingga ia cuma menggeleng-gelengkan kepala.

Tan Bu tersenyum ke arah Cho Jin Chu, ia ingin mengangkat tangannya, tetapi tak sanggup. Lalu cuma mengganggukkan kepala tanda terima kasih.

Yang Meng mengangkat tangannya dan menangkupkannya di depan dada.

"Tak henti-hentinya kami mengucapkan terima kasih banyak, entah bagaimana cara kami membalas kebaikan anda."

Lelaki bertubuh gemuk itu mengangkat tangannya, lalu tertawa kecil.

"Kita ini sudah seperti saudara, tak perlu lagi mengucapkan demikian...."

Yang Meng dan Tan Bu membalas ucapan itu dengan anggukan.

"Aku sudah berjanji untuk segera pulang. Jika tidak ada kendala, seharusnya esok lusa kami sudah berada di rumah. Mereka pasti khawatir jika tidak ada berita dari kami," Yang Meng mendesah panjang.

"Tenanglah, masalah itu...." Cho Jin Chu langsung menyahut, "Aku sudah mengirimkan utusan untuk menyampaikan berita ini kepada keluargamu, tentu mereka tidak akan khawatir lagi."

Yang Meng langsung memandang wajah Cho Jin Chu yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu dengan pandangan terkejut, lalu wajahnya berubah ceria.

"Sekali lagi, tuan Cho sudah membantu kami. Jika kami tak bisa membalas kebaikan tuan, kami merasa sangat berdosa," katanya.

Kalimat Yang Meng langsung membuat Cho Jin Chu tersenyum lebar sambil mengusap janggutnya dan menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali.

"Tak perlu begitu, sebagai sahabat dan saudara, aku merasa berkewajiban membantu kalian," katanya.

***

Malam kedua berlalu begitu cepat, di tempat kediaman keluarga Yang, Zhou Lin, istri dari Yang Meng duduk di gazebo yang dibangun ditengah halaman rumahnya ditemani oleh Li Yun dan Suro dengan beberapa cangkir minuman hangat dan makanan kecil sudah tersedia dihadapan mereka.

Wajahnya terlihat murung. Sejak tadi siang, ia sudah kehilangan nafsu makannya. Benar yang dikhawatirkan oleh Yang Meng, seharusnya dia sudah berada ditengah-tengah mereka, nyatanya hingga menjelang malam, tidak ada kabar berita yang mereka terima.

"Ibu," Suro memegang tangan Zhou Lin, berusaha menenangkan ibu angkatnya itu, "Insyaallah tidak terjadi apa-apa dengan ayah. Ibu tak perlu khawatir. Ada kakak Tan bersama ayah."

Li Yun yang biasanya ceriwis dan tidak serius juga ikut bingung melihat ibunya tidak mau makan. Ia sudah meminta pada pelayannya untuk membuatkan kue-kue agar ibunya mau makan barang sedikit sebagai pengganjal perut.

"Benar, bu," Li Yun mecoba merayu ibunya,"Kita tunggu dalam sehari ini, jika tidak ada berita nanti Li Yun dan Kakak Luo akan pergi menyusul. Sekarang, cobalah untuk makan kue ini walaupun sedikit.."

Mendengar bujukan anak-anaknya, Zhou Lin mencoba tersenyum, memandang ke arah Li Yun lalu meremas-remas lembut rambut Li Yun.

"Dasar gadis tengil, kamu mau buat ibumu ini mati berdiri!" katanya mencoba bercanda.

Li Yun seperti protes, lalu membalas dengan pertanyaan, "Bagaimana bisa?"

Suro melihat Li Yun sambil geleng-geleng kepala. Ia faham maksud ibu angkatnya itu.

"Ketika ayahmu tiba, kemudian kalian belum tiba, apakah ibumu ini tidak hilang khawatirnya? Bertemu satu, hilang satu. Kemudian jika ayahmu tidak kembali begitu juga dengan kalian, bukankah itu menambah kekhawatiran ibumu ini?" paparnya membuat Li Yun seketika terlihat berfikir.

"Betul juga, ya..." jawabnya.

"Apalagi kamu ini seorang perempuan, wajahmu cantik meskipun agak teledor, akan sangat berbahaya jika berada jauh dari keluargamu."

Semakin larut, dua kakak beradik itu menemani ibunya. Yang dimakan oleh Zhou Lin cuma sepotong kue dan seteguk air teh yang masih banyak belum tersentuh. Padahal sudah lewat tengah malam.

Rumah keluarga Yang sudah dari tadi sepi dan lengang. Para pelayan rumah tangga sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Hanya ada beberapa pelayan keluarga Yang yang masih berjaga, memang mereka bertugas sebagai pengawal di rumah itu dimana mereka secara khusus digaji sebagai penjaga rumah dan mereka juga memiliki kemampuan bela diri.

Sebenarnya, tidak hanya dikediaman keluarga Yang saja. Di kediaman orang-orang kaya di nergeri itu rata-rata memang memiliki pengawal yang dipekerjakan sebagai penjaga rumah. Maklumlah, karena kondisi, orang-orang kaya sering menjadi korban pencurian dan perampokan.

"Ibu, malam sudah begitu larut. Lebih baik ibu beristirahat," bujuk Suro.

Zhou Lin memandang Suro dengan senyum lembutnya, menggeleng lemah.

"Kalian tidurlah dulu, biarkan ibu di sini menunggu ayahmu pulang," tolaknya.

Suro menggeleng, "Biarkan ananda yang menunggu ayah pulang, ibu tak perlu khawatir. Nanti ketika datang, ananda akan membangunkan ibu."

Selesai berkata demikian, dia memandang adiknya, Li Yun. Matanya sudah terlihat merah akibat menahan kantuk,"Adik tidurlah dulu."

"Enak saja," tangkisnya, "Aku juga ingin menemani ibu!"

Belum sempat Suro berkata lebih lanjut, di ruang depan terdengar suara teriakan penjaga. Suro langsung melonjak dari duduknya.

"Ada pencuri!" serunya, "Li Yun, tolong jaga ibu!"

Lalu ia berlari ke asal suara ribut sebelum ia sempat melihat anggukan adiknya.

Sesampainya, ia melihat 3 orang lelaki berpakaian hitam-hitam memakai tutup kepala seperti ninja bersenjata golok tengah terjebak disalah satu ruangan. Rupanya mereka sudah sempat masuk ke dalam rumah dan kepergok oleh penjaga.

Saat itu, Suro melihat 4 orang penjaga rumah sedang bertarung dengan 3 orang lelaki pencuri itu. Dari gerakannya, mereka sangatlah ahli dan mempunyai kemampuan bela diri di atas 4 penjaga. Terbukti beberapa dari penjaga sempat terkena serangan dari para pencuri itu.

Salah satu dari mereka begitu melihat Suro langsung menyabetkan goloknya ke arah Suro. Pemuda itu dengan gerakan ringan dan cepat menyarangkan tinju kanannya ke arah pencuri yang menyerangnya. Hanya sekali pukul, golok si pencuri terlepas sekaligus tubuhnya terdorong mundur hingga menghantam dinding rumah.

Menyadari lawan yang dihadapinya cukup tangguh, mereka saling memberi isyarat dengan kawannya yang lain : Aksi pencurian tidak bisa dilanjutkan, lebih baik mundur.

Serempak mereka menembus kepungan para penjaga, melarikan diri dengan cepat.

Suro tak mau kehilangan buruannya, sebab jika sampai lolos, khawatir mereka akan melakukan aksi pencurian kembali. Mereka harus diberi pelajaran, jangan sampai peristiwa yang menimpa keluara pak Dawung di masa lalu terulang kembali di keluarga Yang Meng.

"Jaga ibuku!" perintah Suro kepada para penjaga yang dijawab dengan anggukan.

Di luar dugaan Suro, para pencuri itu rupanya menguasai ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Terbukti, waktu jeda membuat Suro kehilangan momen pengejaran hingga ia tertinggal beberapa langkah.

Mereka tiba-tiba saja lenyap diantara jalan-jalan kecil diantara bangunan rumah dilingkungan kediaman Yang Meng. Suro kehilangan jejak. Ia menyipitkan pandangan diantara gelapnya malam, penerangan hanya dibantu dengan lentera-lentera yang dipasang disetiap rumah dan cahaya dari rembulan, berharap dia bisa mendapati bayangan-bayangan aneh dari tubuh pencuri.

Cukup lama ia memutar tubuhnya sambil memandang berkeliling. Tak ada satupun gerakan yang mencurigakan. Akhirnya, ia mencoba mengikuti perasaannya untuk meneruskan pencarian dengan berjalan perlahan.

Hingga ia tiba ditempat lapang, yang berada di belakang sebuah bangunan rumah, telinganya menangkap suara nafas yang terengah-engah.

Dengan hati-hati, ia mengendap untuk lebih dekat memantau apa yang sedang dilakukan buruannya itu. Mereka sebelumnya memandang berkeliling melihat situasi, setelah yakin dalam kondisi aman dan tidak ada yang mengikuti, satu persatu melepaskan lilitan kain yang menutup wajah mereka.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, saudara Wu?" salah satunya bertanya pada orang yang bernama Wu.

Lelaki yang dipanggil saudara Wu itu, mengatur nafas sejenak sebelum menjawab.

"Tidak ada untuk malam ini selain menunggu sesuai waktu yang ditentukan disini. Jika kita memaksakan beraksi ditempat lain, aku khawatir pemuda asing itu masih berkeliaran diluaran sana."

Yang lain mengangguk tanda setuju. Lalu mereka beralih mencari tempat yang lebih gelap lagi terlindung dari cahaya lentera yang terpasang di atas bangunan itu.

Suro tak mau berdiam lebih lama lagi menunggu, lalu ia putuskan masuk ke dalam jangkauan mereka.

"Hei!" Suro berseru dari belakang mereka.

Walau seruannya tidak keras, namun cukup membuat ketiga orang pencuri itu terkejut dan serentak membalikkan tubuh mereka ke arah Suro. Mereka lebih terkejut lagi setelah tahu bahwa orang yang berseru itu adalah orang yang sama ketika mereka bentrok di rumah keluarga Yang.

"Kamu?!" mereka berseru bersamaan sambil mundur beberapa langkah.

Suro terus mendekati mereka, senyumnya seperti mengejek keterkejutan mereka.

"Sepertinya pekerjaan kalian memang sebagai pencuri, ya? Apa tidak takut suatu saat nanti bakal kena batunya?"

Terlihat para pencuri itu tidak percaya diri ketika berhadapan dengan Suro. Pandangan matanya seolah putus asa. Barangkali mereka sudah bisa mengukur kalau kemampuan pemuda dihadapannya itu melebihi kemampuan mereka.

"Tidak ada jalan lain kecuali melawan," salah satunya berbisik.

Dua orang lainnya mengangguk setuju. Lalu, tanpa menunda lagi, mereka langsung menyerbu Suro dengan golok terhunus.

Menghadapi itu, Suro cuma melengos kiri-kanan, tanpa sedikitpun melakukan tangkisan. Kesannya seperti meremehkan. Tubuhnya mirip seperti batang pohon bambu yang tertiup angin, hanya bagian atasnya saja yang bergerak kesana-kemari.

Hingga dirasa cukup bermain kira-kira beberapa menit, ia menggunakan bahu kiri dan kanan secara bergantian menghantam tubuh masing-masing dari para pencuri itu, akibatnya tiga kali suara benturan tubuh terdengar disusul suara gesekan tubuh dengan tanah. Gerakan ini dinamakan Hantaman Bukit Baja.

Mereka semua terjatuh!

"Ayo bangun! Aku tak merasa menghantam kalian dengan keras!" ejek Suro, tangannya melipat kebelakang punggung.

Agak ragu, mereka mulai bangkit berdiri dan langsung memasang kuda-kuda menyerang. Yang menjadi lawannya malah berdiri dengan santai sambil menyungging senyum.

"Saya bisa menyudahi pertarungan ini, dengan syarat kalian berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tercela ini. Terutama dikediaman keluarga Yang!"

"Kami mencuri juga untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kami. Kami hanya mengambil hak orang miskin yang diambil oleh orang-orang kaya!" berkata lelaki yang tadi dipanggil dengan sebutan saudara Wu.

Suro mendengus, ia geleng-geleng kepala mendengarkan perkataan Wu.

"Huh! Mana ada mencuri untuk kepentingan orang banyak? Kalian bicara ngawur!"

Syut!!!

Syut!!!

Plak!!!

Suro terkejut, ia miringkan tubuhnya beberapa kali. Tahu-tahu pelipisnya terluka dan mengalirkan darah terkena serangan yang muncul tiba-tiba di tengah cahaya remang-remang.

Ada dua buah batu kerikil yang melesat menyasar kepalanya, dan satu batu tak bisa dihindari.

Belum hilang rasa terkejutnya, satu tendangan yang tidak ia duga meluncur begitu saja ke arah tubuhnya.

Ia mundurkan satu kaki ke belakang, menangkap kaki si penyerang dan memindahkan kaki lainnya ke arah samping, bersamaan dengan itu, mengayunkan tangannya yang berhasil menangkap kaki lawan dengan cepat secara memutar.

Buk!!!

Si Penyerang terbanting cukup keras di atas tanah yang membuatnya sejenak berhenti bernafas menahan sakit. Belum selesai, Suro mengejarnya dengan menginjakkan kakinya ke tubuh lawan hingga lawannya itu berguling-guling menghindar injakan kaki Suro, lalu tubuhnya melenting menjauh dan berdiri dengan posisi kuda-kuda.

Begitu melihat lawannya yang baru datang itu, Suro nampak terkejut, apalagi kemudian seorang lelaki menyusul berlari dan kemudian berdiri di samping penyerangnya.

"Oh!" Suro menunjuk ke arah mereka, "Kamu...?"

"Kamu mengenali kami, ya?!" tanyanya sambil balik menunjuk Suro.