Melihat wanita paruh baya itu sudah bersiap dengan kuda-kudanya, mau tidak mau Suro harus bersikap. Ia lalu membuka kakinya membentuk kuda-kuda sedang tangannya dibuka mengembang menyesuaikan.
Mata Huang Nan Yu menatap dengan pandangan tajam, namun tetap menyungging senyum. Pemuda itu menyadari bahwa yang menjadi lawan bertandingnya itu bukanlah orang sembarangan melainkan seorang ahli beladiri tingkat tinggi. Oleh karena itu, ia tak boleh melawannya setengah-setengah.
Tai Chi itu bergerak bagaikan air, tiada putus, terus mengalir dan berputar, jika salah bersentuhan maka resikonya seperti batang kayu di tengah arus deras, takkan berhenti sampai terhempas dari jalur arusnya.
Saling menunggu, tak ada yang bergerak untuk memulai menyerang. Akhirnya, Suro mengambil resiko untuk memulainya dengan melakukan pukulan. Huang Nan Yu menerima pukulan tersebut dengan cepat tapi lembut mengikuti arah tenaga serangan Suro, memutarnya ke bawah lalu membalik serangan tersebut ke tubuh Suro.
Hari ini berbeda dengan kemarin, pengalaman itu menyadarkannya bahwa ia harus mengikuti kemana tangannya di bawa dalam putaran tangan Hang Nan Yu. Ketika nyaris menghantam tubuh Suro, telapak tangannya terbuka, berbalik melakukan putaran seperti tangkai dahan yang diputar angin, tubuhnya mengegos ke samping merendah, lalu tiba-tiba meninggi dengan cepat seperti batang kayu yang ditekan tenggelam dalam air kemudian dilepas.
Buk!
Bahu Suro menghantam tubuh Huang Nan Yu sehingga membuat wanita paruh baya itu terdorong ke belakang. Tidak telak, karena kedua tangannya berhasil meredam hantaman tubuh Suro.
Gerakan ini di sebut dengan teknik jurus KELOPAK CEMPAKA MEMBELAH LANGIT.
Mendapatkan hantaman itu, Huang Nan Yu tersenyum sambil mengangguk-angguk seolah memuji dengan bahasa isyarat : Gerakan yang bagus!!
Kali ini, Suro tak ragu lagi. Tendangan kaki kanan dengan sangat cepat meluncur menyasar ulu hati, lagi-lagi tendangan ditepis oleh Huang Nan Yu dari arah luar ke dalam, lalu di bawa ke atas dan tangan lainnya melakukan gerakan menutup serangan, bersamaan dengan itu tubuh dan tangannya berputar membawa tubuh Suro terseret ke sisi lain, dan secara tiba-tiba tangannya menyasar perut Suro. Gerakan ini disebut YE MA FEN CUNG (Mengusap Surai Kuda Liar).
Karena sudah memahami konsepnya, maka Suro sedikit memajukan tubuhnya dengan tujuan menghilangkan daya tarik energi dari kuncian, sehingga serangan yang berbalik kepadanya bisa dimentahkan.
Pemuda itu berhasil, sebelum serangan itu sampai ke perut Suro, serangan kakinya yang terkunci menjadi terbuka dan turun ke tanah, lalu tubuhnya bergerak merendah membelakangi lawan. Huang Nan Yu mengira Suro akan melakukan tendangan balik, lalu dia bertolak mundur, ternyata tidak.
Suro malah kembali menghadapkan tubuhnya kedepan dengan gerakan cepat, lalu menjatuhkan pahanya ke tanah dan melakukan tendangan sapuan depan dengan kaki kanannya.
Gerakan itu membuat Huang Nan Yu terkejut, secara refleks ia melompat bergulung seperti lompatan harimau ke depan menghindari sapuan Suro. Mengetahui lawannya berpindah posisi, pemuda itu bangkit dengan ringan, disusul lompatan sejauh posisi Huang Nan Yu yang masih dalam keadaan bergulung. Sambil melompat, Suro mengangkat tangannya ke atas dan mengayunkannya ke tubuh Huang Nan Yu. Teknik ini dalam perguruannya di kenal dengan DAUN MELAYANG.
Tak mau terima hantaman, ia miringkan tubuh dengan sangat cepat sambil membuka kedua tangan, dan tiba-tiba tangannya berubah menjadi sikutan. Suro menekan sikut yang diarahkan padanya ke bawah sehingnga membuat tubuh wanita itu terhuyung maju ke depan, kepalanya langsung menyasar untuk menghantam tubuh Suro.
Tapi gagal, Suro berhasil mengelak dan kaki kirinya melakukan sapuan atas. Sapuannya menghantam kaki depan Huang Nan Yu hingga membuatnya nyaris jatuh jika ia tidak kembali melakukan putaran mengikuti arah sapuan. Tangannya menampar bahu Suro dengan cukup telak, tetapi telapak tangan kanan Suro justru menghantam pundak wanita paruh baya itu cukup telak.
Pertarungan itu tak memakan waktu lama, hanya beberapa saat terjadi jual beli serangan, serah dan terima pukulan mau pun tendangan, Suro langsung melompat mundur sambil memasang kuda-kuda dan kembangan tangan yang khas. Begitu pun dengan Huang Nan Yu.
Huang Nan Yu kemudian menutup gerakannya dengan menyatukan kepalannya dihadapan Suro. Wajahnya menampakkan kekaguman atas lawan tandingnya.
"Tuan Muda Yang sungguh memiliki ilmu yang tinggi, sesuai dengan yang diceritakan oleh tuan Yang Meng! Aku mengaku kalah, salam hormat He Pinggu Jianke!" pujinya sambil menunduk.
Berbeda dengan Huang Nan Yu yang kagum dengan Suro, justru pemuda itu merasa tidak enak, lalu buru-buru menangkupkan kepalannya ke depan sambil menunduk lebih dalam. Ia merasa amat sungkan menatap mata Huang Nan Yu, oleh karena itu, ia pun memejamkan matanya.
Biasanya, jika seorang ahli dikalahkan, maka dia tidak akan rela begitu saja berbesar hati menerima kekalahan. Makanya dalam pertarungan tadi, ketika Suro mampu mengimbangi bahkan melakukan serangan balik menimbulkan perasaan tidak enak. Menyesal mengapa tadi tidak mengalah saja dan membiarkan tubuhnya menerima beberapa pukulan dari Huang Nan Yu.
Ia takut, jika itu terjadi akan menimbulkan kesan yang buruk bagi adik angkat dan keluarganya. Huang Nan Yu tak akan mau melatih adiknya lagi dengan berbagai alasan pengalihan akibat kekalahan ini.
"Tetua terlalu memuji," katanya sembari menunduk berulang-ulang tanpa mengangkat kepalanya lebih tinggi, "Saya sudah mengeluarkan seluruh kemampuan saya tadi, dan saya yakin tetua bertarung tidak sungguh-sungguh!"
Huang Nan Yu tertawa keras, sambil menggelengkan kepala ia pun menampik, "Tuan Muda tak perlu merendah. Saya sudah sangat kewalahan. Jika tadi itu pertarungan sungguhan, saya pasti sudah jadi bangkai!"
Sambil berkata begitu, Huang Nan Yu berjalan menuju kursinya lalu duduk, dan Li Yun menyambutnya dengan suguhan secangkir teh yang diambilnya dari atas meja di samping kursi.
Belum selesai menyeruput teh, tiba-tiba Li Yun mencolek tangan gurunya, dan memberi isyarat untuk melihat ke arah Suro yang masih tak bergerak dari tempatnya berdiri.
Wanita paruh baya itu spontan terbatuk ketika teh yang belum sempat masuk ketenggorokannya itu tersembur keluar. Huang Nan Yu melihat bahwa Suro tak bergerak dari posisinya dengan mata terpejam.
Li Yun tak dapat lagi menahan ketawanya, suaranya terdengar lepas meskipun ia sudah menutupinya dengan kedua tangan.
Suro terkejut ketika mendengar suara tawa adik angkatnya itu, lalu ia membuka mata dan mengangkat kepalanya ke depan. Dia baru sadar, ternyata Huang Nan Yu sudah tidak ada lagi dihadapannya, melainkan sudah duduk dikursinya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa-tawa. Rupanya, saking terlalu sibuk dengan perasaan tidak enaknya membuat ia tidak menyadari sama sekali kejadiaan itu.
Pemuda itu cuma tersenyum keki sambil garuk-garuk kepala, apalagi begitu melihat Li Yun tak berhenti menertawakannya.
Sontak saja begitu melihat gaya Suro yang terakhir, Huang Nan Yu pun tak bisa lagi menahan tawanya lebih keras, dan itu memancing Li Yun tertawa bertambah nyaring, kali ini bukan menutupi mulutnya, tapi memegangi perutnya yang terasa sakit.
"Ha.ha.ha.....ha....Tuan Muda Yang. Seumur hidupku, aku tak pernah tertawa selepas ini. Anda betul-betul orang yang lugu dan kekanak-kanakkan!" katanya sambil melanjutkan tertawanya.
"Benar, guru!" sambung Li Yun menyatakan dukungan pada gurunya itu,"Kali ini murid betul-betul bersyukur, diberikan kakak yang lucu!"
Lalu mereka berdua pun sama-sama tertawa. Sementara Suro, semakin bertambah keki. Sampai-sampai mukanya yang putih bersih menjadi merah karena menahan malu yang luar biasa, hatinya ngedumel tak karuan, dan masih sungkan untuk bergerak dari tempatnya berdiri.
"Belum pernah aku mendengar suara tertawa yang begitu lepas seperti ini, apakah ada sesuatu yang lucu?" tiba-tiba Zhao Lin muncul dari belakang mereka sambil tersenyum heran.
***
Di ruang tamu selesai latihan, Suro, Huang Nan Yu, ibu dan adik angkatnya duduk mengelilingi meja dengan hidangan teh dan aneka kue di hadapan masing-masing. Sisa-sisa peristiwa yang terjadi sebelumnya masih belum hilang, sehingga sesekali suara tertawa masih menyelingi disela-sela obrolan mereka.
Suro seperti tidak bisa berkutik, hanya sesekali tersenyum tipis pasrah menjadi objek obrolan mereka. Tapi satu hal dalam hati, ia merasa lega karena ternyata dugaannya terhadap Huang Nan Yu keliru. Guru dari Li Yun itu memang seorang pendekar yang berjiwa besar, mau secara jujur mengakui dan mengatakan bahwa dia kalah. Meskipun Suro tidak tahu apakah wanita itu sudah mengeluarkan semua jurus-jurus andalannya pada saat pertandingan tadi.
"Keluarga Yang memang sangat beruntung. Sangat sulit menemukan orang seperti Tuan Luo Bai Wu ini. Selain cerdas, dia juga mempunyai adab yang tinggi dan jarang dimiliki oleh anak muda seusianya," puji Huang Nan Yu.
Kata-katanya diarahkan pada Nyonya Yang sebagai istri dari Yang Meng dari keluarga Yang. Mendengar pujian itu, nyonya Yang Zhou Lin mengangguk sekali. Memang yang dikatakan oleh Huang Nan Yu tidak salah, mereka merasa beruntung dengan hadirnya Suro dalam keluarga besar mereka sebagai anak angkat, meskipun Suro adalah orang asing yang bukan darah dagingnya. Tapi, itu semua tidak masalah. Apalagi jika memperhatikan semua tingkah laku maupun perbuatan serta tutur kata yang lembut dan sopan ada dalam kepribadian Suro. Suatu anugerah yang luar biasa bagi mereka.
Sejak puteri mereka,Yang Li Yun lahir, mereka tentu berkeinginan untuk mendapatkan keturunan lagi. Tetapi setelah berusaha bertahun-tahun dan berobat ke berbagai tempat juga tidak juga membuahkan hasil sampai akhir batas usia Nyonya Yang dirasa sudah tidak bisa untuk hamil.
Makanya, ketika pertama kali melihat cara Suro memperlakukan dirinya sebagai bentuk penghormatan seorang anak terhadap ibunya menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagaikan tulisan kaligrafi yang indah yang diukir dalam dihatinya.
Mendengar kalimat itu, Suro tertegun. Ia tak bisa berbicara apa-apa selain hanya mendengarkan. Mengenai adab, baginya bukanlah hal yang luar biasa, karena itu memang sudah seharusnya dan harus menjadi kebiasaan seorang manusia, apalagi anak terhadap orang tuanya.
"Terima kasih, tetua Nan,..." Nyonya Yang hendak melanjutkan kata-katanya, tetapi Li Yun keburu memotong.
"Selain cerdas, kakak juga lucu!" serunya sambil melirik ke arah Suro.
Yang dillirik balas melirik dengan mata mendelik, bukannya takut, Li Yun malah kembali tertawa.
"Ah,... Li Yun. Kamu suka sekali menggoda kakakmu!" tegur Nyonya Yang melihat kelakuan anak perempuannya itu.
"Kakak Luo sangat malu bila kudekati, padahal aku 'kan adiknya. Makanya sering-sering kugoda biar dia terbiasa...." dalihnya.
Suro cuma bisa membatin menjawab kalimat adik angkatnya itu, bukan masalah malunya yang menjadi persoalan. Bagaimana pun juga Li Yun bagi Suro bukanlah saudara kandung. Itulah yang harus dijaganya.
Kalimat itu membuat Huang Nan Yu dan Nyonya Yang tersenyum kecil. Mereka melihat perbedaan menyolok pada keduanya, seperti bumi dan langit.
"Li Yun. Kamu tahu, sebenarnya itulah bagian dari adab yang tinggi yang ditunjukkan oleh kakakmu, Luo. Mungkin saat ini kamu belum tahu apa-apa, tapi entah kurasa dalam waktu yang tak lama lagi, kamu akan tahu betapa kakakmu yang pendiam dan lugu ini begitu menjunjung tinggi dan mengangkat derajatmu sebagai seorang wanita..." ujar Huang Nan Yu menasehati Li Yun.
Sebuah perjalanan hidup akan membentuk kedewasaan seseorang. Tinggal bagaimana orang itu menyikapi keadaannya saja. Bisa jadi yang tak kuat dan putus asa akan membentuk jiwanya menjadi seorang yang rapuh atau pemberontak, tetapi jika seseorang itu mampu menyikapinya bahwa selalu ada kebaikan dalam setiap peristiwa dalam perjalanannya akan menjadikan seseorang itu menjadi lebih dewasa dan penuh dengan kebijaksanaan. Hal itulah yang dilihat oleh Huang Nan Yu pada diri Suro.
Mendengar nasehat gurunya, Li Yun manggut-manggut. Meskipun ia kurang begitu faham tentang perjalanan hidup, karena selama ini ia belum pernah mengalami kerasnya kehidupan seperti yang dialami Suro.
Suro yang sedari tadi cuma mendengarkan, diam-diam dia mengagumi tetua Huang Nan Yu, kedalaman ilmunya membuatnya lembut, tenang dan bijak dalam berbicara, seperti jurus-jurus Tai Chi yang dikuasainya.
"Anakku Luo," Nyonya Yang berkata,"Mengapa dari tadi kau diam?"
Tak tahu harus berbicara apa, Luo mengawalinya dengan senyum canggung, seolah ditanya tentang aibnya hingga ia nampak malu berbicara.
"Ananda tidak tahu harus berbicara apa, ibu..."
Jawabannya itu membuat Nyonya Yang tersenyum. Ia berfikir anak angkatnya ini memang seorang yang sangat pemalu.
"Oh ya," Huang Nan Yu mencoba memancing Suro untuk berbicara dengan mengarahkan pandangannya pada Suro, "Kung Fu apa yang kau pelajari itu, Tuan Muda Yang?"
"Di negeri saya, namanya Silat Cempaka Putih, Tetua Nan," jawabnya.
"Hmm... gerakan tanganmu menepis maupun menangkis sangat lembut dan serangannya banyak yang tidak bisa diduga. Cukup membuatku kerepotan," katanya sedikit memaparkan, "Tapi pola balik menyerang kemarin waktu kau berlatih tanding dengan Li Yun berbeda jauh saat bertanding denganku barusan. Apakah kau melakukan latihan sebelumnya?"
Suro menampakkan wajah kagum, "Saya teringat apa yang tetua sampaikan kemarin tentang filosofi dari Tai Chi, lalu saya coba memahaminya sesuai apa yang saya anut dan petuah guru saya yang pernah beliau sampaikan. Kemudian mencoba menerapkannya dalam gerakan jurus. Sungguh ketika mempraktekkannya, saya dapat merasakan Tai Chi ini seperti pusaran air laut yang mampu menenggelamkan kapal besar!"
Huang Nan Yu berdecak kagum sambil menggelengkan kepala rasa tak percaya. Pemuda ini sangat cerdas, batinnya. Ia mampu membuat kata-kata menjadi sebuah teknik gerakan yang menurutnya sangat jarang bisa dibuat oleh kebanyakan orang.
Menundukkan kepala sebentar, keningnya agak berkerut tanda ia sedang memikirkan sesuatu, tak lama kemudian ia mengangkat kepalanya sambil berkata serius, "Apakah Kau mau mempelajari Tai Chi?"
Yang Li Yun tiba-tiba melonjak berdiri dari kursi yang membuat semua orang terkejut dan menatap heran kearahnya.
"Asyiiiik!!!" soraknya sambil bertepuk tangan gembira. Gayanya seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
TAK!!!
Suara ketukan kepala terdengar jelas menyusul sorakan gembira Li Yun.
Sudut jari tangan Suro menjitak mulus kepala Li Yun secara spontan saking terkejutnya.
Mendapat jitakan itu, matanya mendelik menatap Suro yang tertunduk tanpa dosa sambil tersenyum simpul, mengelus kepalanya dan pasang wajah cemberut, gadis itu berteriak dengan keras, "Kakaaaaak,.... Apa salahku!?!?!?"