Hampir menjelang tengah malam, dengan cuaca yang berbeda dari negerinya, terasa lebih dingin....
Rumah keluarga Yang berukuran sangat luas, terdiri dari 1 kamar utama, 3 kamar keluarga, 4 kamar tamu, dan 8 kamar pembantu. Ditambah lagi ruang keluarga, ruang tamu, dapur dan ruang-ruang lainnya.
Ruang-ruang tersebut dibangun mengelilingi taman-taman dengan kolam yang dipinggirnya ditanami dengan tanaman bunga-bunga yang cantik, dan satu halaman lapang tempat Li Yun berlatih yang letaknya paling ujung ruangan di mana Suro memilih sebagai kamar pribadinya.
Di kamar itu, Suro tidak bisa memejamkan matanya. Di atas pembaringan, tubuhnya berkali-kali berubah posisi ke kiri ke kanan. Gelisah, fikirannya tak bisa diam, berkelana memenuhi isi ruang kepala.
Suro tak menyangka bahwa keluarga Yang begitu hangat menerimanya, terutama Nyonya Yang dan Li Yun, ibu dan adik angkatnya. Raut wajah gembira dan bahagia kedua ibu dan anak itu seolah tak bisa disembunyikan dan sangat kentara. Efeknya, saat makan malam bersama tadi perlakuan yang diberikan kepadanya dirasa sangat berlebihan, bak seorang raja yang dilayani oleh para bawahannya.
Sore harinya sebelum acara makan malam, Nyonya Yang ditemani Tan Bu pulang membawakan sebuah bungkusan besar berisi pakaian yang bagus dan indah serta keperluan lainnya buat Suro.
Memang banyak pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu angkat maupun adiknya mengenai kehidupan Suro yang dijawabnya secara jujur dan panjang lebar.
Yang membuat Suro lega adalah mereka dengan berbesar hati membebaskannya untuk melaksanakan kewajiban sesuai keyakinan yang dianutnya.
Fikiran yang memenuhi kepala Suro tadi sore hingga malam memang membahagiakan hatinya, tetapi jika ia mengingat kejadian tadi siang, kepalanya terasa penuh dengan udara yang padat. Membuatnya mendesah beberapa kali sambil menggelengkan kepalanya.
Bagaimana ceritanya ia bisa terbanting 2 kali? Padahal lawannya hanya seorang gadis remaja yang lebih lemah darinya, yaitu Li Yun.
"Ah, waktu itu'kan, aku tidak serius," gumannya mencoba berdalih pada diri sendiri.
"Dan yang kedua, karena waktu itu konsentrasiku terganggu oleh seruan Kakak Tan Bu..." dalihnya kemudian.
Cukup lama ia berdialog di alam fikirannya sendiri, sampai ia merasa bahwa telah melewati malam itu dengan hal-hal sia-sia, waktunya banyak terbuang memikirkan kekalahan yang dibantahnya sendiri. Ia ingin beristirahat dan tidur nyenyak, tapi tetap tak bisa.
Dia bangkit, dan duduk di tepi pembaringan sejenak, sebelum akhirnya melangkah keluar kamar menuju halaman tempat latihan Li Yun yang tepat berada di samping kamarnya.
Seperti biasa, ia berdiam diri dan menundukkan kepala untuk berdoa. Setelah dirasa cukup, ia mengangkat kepalanya.
Tak ada yang dilakukannya untuk beberapa saat, hanya satu-persatu dia mengumpulkan uraian dalam ingatan dikepalanya mengenai teknik jurus Tai Chi yang dipakai Li Yun, merangkai kalimat-kalimat tetua Huang Nan Yu dan dihubungkannya dengan gerakan jurus yang sempat ia amati saat Li Yun berlatih tadi siang.
Bahwa Tai Chi merupakan aplikasi dari Yin dan Yang, sebuah hukum keseimbangan. Wanita dan pria, bumi dan langit, kuat dan lemah, semuanya berpasangan. Jika salah satu rusak, maka yang lain akan berlaku lebih kuat untuk menyeimbangkannya.
Entah bagaimana, tiba-tiba ia teringat Almarhum Ki Ronggo yang seolah-olah dalam diamnya ia berdiri, Ki Ronggo hadir sedang bertutur.
"Tuhan itu menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada siang dan malam, ada gelap dan terang, ada lelaki dan perempuan, ada langit dan bumi. Semua tertata rapi dan sempurna dalam keseimbangannya menjadi sebuah aturan hukum yang tak berubah. Hukum itu ditetapkan dalam sebuah ketetapan yang disebut hukum sunnatullah, hukum fitrah. Jika keseimbangan itu ditabrak, maka keseimbangan akan goyang. Sebagaimana bumi ini terbentuk, dulunya dalam keadaan tidak seimbang dan kering, maka untuk menyeimbangkannya Allah kirimkan hujan, banjir, dan longsor. Sampai kapan? Sampai pada titik keseimbangannya dan bumi akan kembali menumbuhkan apa yang memang diperintahkan kepadanya.
Sama halnya dengan manusia. Sebuah reflika kecil dari alam semesta, semua diciptakan dalam keadaan seimbang, dan akan rusak bila kita melanggar fitrahnya. Bahwa fitrah kita sebagai mahluk adalah berjalan lurus, di kiri dan kanan adalah bencana. Jika kita gugur ke kiri maupun ke kanan, maka akan fatal jika tidak segera kembali. Berjalan lurus itu adalah hukum, barangsiapa berbuat baik dan beramal soleh maka dia beruntung, dan barang siapa berbuat kerusakan keluar dari hukum, maka dia merugi.
Maka, berhati-hatilah dalam menjalani hidup, peganglah tongkatmu dengan erat sebagai teman perjalananmu."
Bayangan Ki Ronggo bagi Suro seolah terlihat benar-benar nyata, sambil mengayun-ayunkan tongkat rotan yang saat ini ada padanya, meskipun itu merupakan kumpulan ingatan dimasa lalunya ketika ia masih berada di padepokan.
Tubuhnya merendah kemudian kedua kakinya bergantian bergeser lembut membentuk kuda-kuda, tangannya menyesuaikan dengan posisi kuda-kudanya. Berputar perlahan ke kanan, tangannya menepis perlahan dengan telapak tangan terbuka, lalu tiba-tiba berputar arah dengan cepat melakukan serangkaian serangan yang mengalir tanpa putus.
"Oh, begini posisi Li Yun tadi siang...." batinnya berkata dan senyum bibirnya mengembang seolah telah memahami sesuatu.
Ia menarik posisinya kembali untuk berdiri, lalu mengulang-ulang gerakan baru yang diperolehnya barusan.
"... akhir suatu gerakan menjadi awal gerakan selanjutnya melambangkan kehidupan manusia yang merupakan proses perubahan yang terus menerus sejak lahir sampai kembali ke asalnya.." suara batinnya sampai-sampai terdengar mengiringi gerakannya.
Kaku dan tidak sempurna, namun pemuda itu tidak putus asa untuk terus mengulang-ulang gerakan yang ia ingat.
"Tinggalkan beban penderitaan, supaya bisa berlari lebih cepat ke tempat yang baru.... Dari batang pohon yang mati dan lapuk, maka kehidupan baru akan tumbuh menggantikannya... Yang kaku akan patah, yang lentur akan bertahan,..."
Entah berapa kali malam itu Suro mengulang-ulang gerakan yang sama, semangatnya membuat dia bertahan untuk tidak istirahat, padahal keringat sudah merendam pakaiannya hingga basah kuyup.
***
Suara pintu kamar Suro diketuk, padahal ia baru saja masuk setelah berkumpul dan berbincang-bincang di ruang makan dengan keluarga barunya.
Pagi menjelang siang, matahari bersinar cerah, tetapi suhu dingin udara masih terasa dominan di negeri itu.
Hari dimana Suro mengenakan pakaian khas yang baru dibelikan oleh ibu angkatnya kemarin, seperti jubah, dengan kain berselempang, memasuki ruang makan dimana Yang Meng, Zhou Lin, Li Yun sudah duduk menantinya mengelilingi meja makan dan Tan Bu berdiri di sudut yang lain.
Melihat kedatangan Suro, mereka sama tersenyum ramah dan meminta Suro untuk langsung bergabung. Berbeda dengan Li Yun, gadis manja itu malah berdiri dan mendatangi Suro, tanpa basa-basi menggandeng dan menarik lengan Suro agar duduk bersebelahan dengannya.
"Li Yun," suara Nyonya Yang nampak lembut memanggik nama Li Yun,"Jangan buat malu kakakmu!"
Li Yun dengan cueknya menarik kursi ke luar dari bawah meja agar Suro bisa duduk, lalu melirik ke arah ibunya.
"Biar kakak terbiasa, bu!" jawabnya tanpa merasa berdosa, dan disambut suara tawa bahagia suami istri itu.
Sementara Suro?....
Jangan tanya, pastilah malu!
"Adik Luo!" suara itu adalah suara Tan Bu yang mengetuk pintu kamar Suro.
Pemuda itu bergegas membukanya, dan nampak wajah Tan Bu menyeruak dengan senyuman akrab sambil mengepalkan kedua tangannya di depan dada memberi salam.
Suro tidak membalas, tetapi buru-buru menurunkan tangan Tan Bu agar bersikap seperti biasa.
"Jangan sungkan, kakak Tan Bu.." katanya, "Kau bukan orang lain lagi bagiku."
Tan Bu Cuma tersenyum mendengarnya, lalu berkata,"Tetua Huang Nan Yu ingin bertemu di ruang tamu."
Mendengar itu, Suro terlihat bingung sambil menggaruk kepalanya. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang sebab guru dari Li Yun ingin bertemu dengannya.
"Baiklah!" jawabnya.
Lalu, tanpa menunggu lama mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang tamu.
Sementara di ruang tamu, Suro melihat tetua Huang Nan Yu sedang duduk bersebelahan dengan Yang Meng, mereka berdua terlihat sedang terlibat pembicaraan santai. Tak jauh di satu sisi lain, Li Yun sedang berdiri mendampingi gurunya, lalu tersenyum begitu melihat Suro datang.
Tan Bu dan Suro lalu membungkuk memberi hormat pada mereka.
"Tetua ingin bertemu saya?" tanyanya.
Tak menjawab pertanyaan Suro, tetua Huang Nan Yu menoleh sebentar ke arah Yang Meng, dan lelaki itu kemudian memberi isyarat mempersilahkan dengan tangannya.
"Luo, aku akan pergi keluar bersama Tan Bu karena ada urusan. Kau bersantailah di sini," Yang Meng berkata pada Suro.
Suro mengangguk, "Baik, ayah angkat."
Setelah itu, Yang Meng dan tetua Huang Nan Yu berdiri hampir bersamaan, dan wanita paruh baya itu lantas memandang ke arah Li Yun dan Suro bergantian tak lama setelah Yang Meng melangkah keluar dari ruang tamu bersama Tan Bu dibelakangnya.
"Nona Li Yun dan Tuan Muda Yang, silahkan ikut saya ke halaman latihan."
Dalam hati, Suro bertanya-tanya, apa yang diinginkan oleh tetua Huang. Apakah ingin mengujinya lagi? Perasaan tak nyaman muncul di hati Suro mengiringi tetua Huang Nan Yu dan Li Yun menuju halaman tempat berlatih.
Tetapi ada sekelumit harapan di hati Suro, jika wanita paruh baya itu memintanya untuk bertanding ulang denga Li Yun. Ia ingin mempraktekkan hasil latihannya tadi. Dirinya merasa sudah siap dengan gerakan antisipasi jurus-jurus Tai Chi.
Setibanya, ia menjadi heran melihat tetua Huang Nan Yu terus melangkah menuju ke tengah halaman sambil kemudian menarik tangannya, tidak duduk di kursi biasa tempat ia mengawasi Li Yun berlatih malah justru Li Yun lah yang berdiri di samping kursi itu sambil senyum-senyum.
"Apa maksudnya?" gumannya dalam hati, matanya melirik ke arah Li Yun.
Tahu melihat tampang heran kakak barunya, Li Yun malah menjulurkan lidahnya. Gadis itu sejak kedatangan Suro memang suka bercanda karena ingin menarik perhatian kakaknya yang masih kaku dan malu-malu.
Kini, Tetua Huang Nan Yu dan Suro sudah saling berhadap-hadapan, yang satu menatap dibarengi senyuman, yang satunya lagi menatap kebingungan.
"Tuan Muda Yang," tetua Huang membuka kata,"Aku ingin bertanding denganmu!"
Pemuda itu kaget. Bertanding? Fikirannya sudah macam-macam terhadap wanita paruh baya itu. Ia mencoba menelusuri ingatannya pada peristiwa kemarin, apakah dirinya membuat kesalahan sehingga tetua Huang Nan Yu tersinggung. Ia harus buru-buru minta maaf jika itu memang ada.
"Mohon maaf, tetua Huang. Apakah saya membuat anda tersinggung sehingga mengajak saya untuk bertanding?" tanyanya dengan sepenuh hormat sambil menunduk.
Mendengar pertanyaan Suro, tetua Huang Nan Yu malah tertawa. Ia faham apa yang difikirkan pemuda dihadapannya itu. Pasti ia mengira ada sesuatu perbuatannya yang salah sehingga dirinya mengajak bertanding Suro.
Tetua Huang Nan Yu menepuk kedua pundak Suro beberapa kali, menenangkannya agar tidak berfikir macam-macam. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum tulus.
"Tidak-tidak...tuan Muda Yang tidak berbuat kesalahan. Justru anda membuat kesan yang sangat baik padaku," katanya kemudian.
Suro masih tampak ragu. Kebiasaan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal muncul saat itu. Jujur, jika ingin berlatih tanding, ia ingin melakukannya dengan Li Yun.
"Ampun maaf, tetua," katanya sembari membungkukkan badan, "Bukannya saya menolak, tetapi saya tidaklah sebanding jika bertanding dengan tetua."
"Apakah Tuan Muda Yang tidak pernah berlatih tanding dengan guru tuan sendiri?" tanyanya.
"Benar, bagi kami di perguruan, itu bisa dikatakan tidak etis"
Senyum tetua Huang Nan Yu semakin mengembang, lalu berkata,"Apakah kau menganggap aku gurumu?"
Deg!
Suro terjebak kata-katanya. Dia mengumpat dalam hati.
Tampak wanita paruh baya itu, guru dari Yang Li Yun membiarkan Suro berdialog dengan dirinya sendiri untuk beberapa saat. Sampai-sampai Li Yun yang sedari tadi berdiri memperhatikan menghentakkan kakinya karena kesal menunggu aksi dari dua orang dihadapannya.
"Ayolah kakak!" serunya,"Aku tak sabar ingin melihat pertandingan ini!"
Keduanya menoleh, tetua Huang Nan Yu tersenyum melihat kelakuan muridnya itu, sementara Suro menatap adik angkatnya dengan tatapan mata mendelik dan mulut komat-kamit tanpa suara mengucapkan kalimat yang tak ada arti.
Melihat kelakuan kakaknya, Yan Liu malah tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya dengan tangan. Lalu menggerak-gerakkan tangannya memberi isyarat : Ayo, lekaslah dimulai!
"Aduh....Betapa aku bersyukur pada langit dan bumi, telah memberikan aku seorang kakak yang lucu!" candanya disela-sela cekikikannya.
Tak lama, tetua Huang Nan Yu memasang kuda-kuda Tai Chi, dan Suro? Masih terlihat ragu sambil... menggaruk-garuk kepalanya!