Chereads / Pendekar Lembah Damai / Chapter 8 - He Pinggu Jianke

Chapter 8 - He Pinggu Jianke

Lewat tengah malam, tidak ada yang tertidur sejak peristiwa pertarungan antara Suro dan Cheng Yu berakhir, suasananya tidak lagi mencekam justru berubah penuh keakraban.

Anak buah Cheng Yu yang berada di atas kapal Yang Meng hanya beberapa orang saja yang tinggal dan saat ini tengah berdiri di belakang Cheng Yu, sedangkan yang lainnya sudah berada di kapal masing-masing, terkait tali dengan kapal besar milik Yang Meng.

Di atas meja bundar dan cukup lebar, beberapa makanan ringan, sebuah teko berisi teh panas serta beberapa gelas cangkir terhidang, dikelilingi oleh beberapa orang yang nampak terlibat pembicaraan santai, Yang Meng, Suro, Tan Bu dan Cheng Yu.

Suara ombak dan desiran angin laut menambah suasana menjelang subuh itu nampak berbeda. Maklumlah, pembicaraan yang lalu-lalu selama berhari-hari dilautan hanya dilakukan orang-orang yang sama, dan kali ini satu orang baru dalam pertemuan itu pastinya akan memberikan kisah yang baru pula.

Cheng Yu menghela nafas panjang, sambil memutar-mutar cangkir didepannya, iapun berkata, "Hmmm.... Di daratan sana begitu ramai dan padat. Beberapa hari ini, tentara-tentara kerajaan hampir setiap saat melakukan patroli."

"Apakah kondisinya begitu buruk?" tanya Yang Meng.

Cheng Yu mengangguk, "Masyarakat merasa tertekan dan tertindas. Tak ada yang berani melawan walau pun mereka mahir dalam bela diri. Yang berani melawan akan berhadapan dengan penguasa. Kalau pun bertarung menghadapi para prajurit kerajaan pastinya tak ada masalah, tetapi usai mengalahkan mereka, pemerintah pasti kembali mengirimkan pasukannya lebih banyak lagi dan melakukan pengejaran yang tiada putus, menjadi buronan. Ujung-ujungnya jika kita bersembunyi, masyarakat yang tidak tahu menahu akan menjadi korban akibat tekanan penguasa."

Tan Bu yang sedari tadi hanya mendengarkan nampak jengah, diseruputnya teh dalam cangkir digenggamannya lalu meletakkannya sedikit keras.

"Tentunya, untuk menghadapi Dinasti yang lalim tak bisa berjuang sendiri-sendiri. Semuanya haruslah bekerja sama dan bersatu...." sahutnya.

Suasana hening sesaat, Suro menuangkan teh dalam teko pada masing-masing gelas.

"Seandainya para pendekar dari berbagai aliran dan partai bersatu seperti yang terjadi pada zaman Dinasti Yuan...." Yang Meng nampak berandai-andai...

Sebenarnya, kondisi seperti ini juga terjadi hampir pada setiap Dinasti. Pada Dinasti yang disinggung oleh Yang Meng, masa itu adalah masa Dinasti Yuan yang merupakan kekuasaan dari Mongol. Penindasan terhadap rakyat, pejabat korup, dan kesewenangan lainnya juga terjadi. Cukup lama juga masa itu berlangsung, dikarenakan beberapa aliran dan beberapa partai hanya mementingkan kelompoknya saja.

Bukan hanya itu, diantara partai-partai juga saling hasut dan mengklaim sebagai partai lurus dan lainnya sesat. Hingga akhirnya sebuah partai yang diduga mempunyai hubungan dengan Persia muncul dan berhasil menyatukan semua partai untuk mengadakan perlawanan terhadap Dinasti Yuan.

Sesekali, Cheng Yu tanpa sadar mengelus dadanya yang terkena pukulan Suro. Ketika Suro melihatnya, tangannya buru-buru diturunkan. Ia tak ingin pemuda itu melihatnya masih dalam keadaan sakit.

"Apakah masih terasa sakit, Tuan Cheng?" tanya Suro.

Yang ditanya nampak gelagapan, dan ia menjawab dengan agak kikuk.

"Hmmm....sudah tidak apa-apa pendekar Luo," jawabnya. "Dalam beberapa hari, pasti sudah tidak masalah lagi."

Suro mengepalkan tangannya di depan dada dengan membungkuk sedikit, ia nampak sudah mulai terbiasa dengan cara hormat seperti itu.

"Saya mohon maaf, tuan Cheng. Sungguh saya mohon maaf..."

Buru-buru Cheng Yu menurunkan tangan Suro, kali ini dibarengi dengan senyum yang ramah "Jangan begitu pendekar Luo. Jika Anda berlaku begini, membuat saya merasa tidak enak..."

Yang Meng tiba-tiba mengangkat cangkir berisi teh dihadapannya dengan sepasang tangan, ia nampak tak mau pembicaraan yang seharusnya tak perlu jadi panjang.

"Sudahlah tuan-tuan. Sebelum malam ini berakhir, lebih baik kita nikmati saja teh ini..." selanya, yang kemudian disambut dengan gaya yang sama.

"Ngomong-ngomong, sebenarnya dari mana pendekar ini berasal?" tanya Cheng Yu pada Suro.

"Saya berasal dari negeri seberang di Samudera Selatan, di sebuah pulau yang disebut Jawi, mengenai asalku, berasal dari sebuah tempat terpencil yang sangat sepi, dan guruku menyebutnya sebagai Lembah Damai..."

"Jauh sekali..." katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "perjalanan yang sangat melelahkan tentunya."

"Benar tuan, Cheng," sahutnya kemdian. "Tapi bagi saya cukup menyenangkan. Perjalanan ini membuka mata dan fikiran saya. Selama ini, saya membayangkan dunia ini kecil, ternyata begitu luasnya," ujar Suro.

Cheng Yu tertawa kecil. Dia mengangkat cangkirnya, dan mereguk sedikit.

"Pertarungan ini juga membuka mata dan fikiran saya," katanya, "Terutama dalam hal beladiri.... Ternyata, jauh di luar sana ada juga Kung Fu yang sangat hebat...."

Saat membicarakan ini, sebenarnya alam fikiran Cheng Yu kembali mengingat pertarungannya dengan Suro. Ketika itu, Ia merasakan tekanan dari serangan yang dilakukan Suro begitu kuat, seperti melawan kekuatan yang besar dan tak tertandingi. Lebih-lebih yang membuatnya heran adalah, tanpa menyentuh tubuhnya sama sekali, Suro bisa menjatuhkannya. Bagaimana mungkin?

Sebenarnya inilah kesempatan untuk bertanya tentang masalah itu, bagaimana bisa kakinya yang tadinya dapat bergerak lalu dalam hitungan tidak sampai sedetik seperti diikat sesuatu yang tak tampak. Tapi, untuk mengorek itu, sangat jarang para pendekar mau memaparkannya kecuali ada hubungan antara guru dan murid.

Nampaknya Suro memiliki batin yang cukup peka, ia seperti bisa membaca isi hati lelaki kepala perompak itu. Lalu dengan senyum tipisnya, ia menyapa Cheng Yu yang memandang ke arahnya. Ya, pandangan Cheng Yu sebenarnya merupakan bahasa universal yang ingin meminta penjelasan dari Suro.

"Dalam setiap beladiri, saya meyakini dengan apa yeng disebut pelajaran tenaga dalam, dan tentunya untuk masing-masing aliran memiliki ciri khas tenaga dalam yang berbeda, ada keras, ada lembut, ada panas dan ada dingin. Dan yang saya pelajari itu melingkupi semua, tergantung situasi emosi penyerangnya...."

Cheng Yu agak terlonjak dari tempat duduknya. Lalu nampak manggut-manggut seolah mendapatkan informasi yang terhubung dalam otaknya ketika mendengar kalimat Suro yang terakhir.

Sementara, Tan Bu lebih merapatkan badannya mendekat ke tubuh Suro. Dari wajahnya Ia nampak tertarik dengan informasi yang disampaikan anak angkat majikannya itu.

"Hmmm.... Tergantung situasi emosi penyerangnya...." gumam Cheng Yu dengan suara lirih, tapi masih bisa terdengar.

Suro mengangguk. Lalu melanjutkan, "...dan itu juga diawali dengan niat hati yang diserang, ..."

"Pada saat itu, aku melihat mulutmu mengucap sesuatu, apakah itu mantera sihir?" kali ini Tan Bu tak bisa lagi menahan penasarannya, lalu mengejarnya dengan pertanyaan.

Cheng Yu sontak menunjuk ke arah Tan Bu, tanda ia sepaham dengan pertanyaan itu.

"Nah, itu juga yang hampir lupa kutanyakan," sahutnya.

Tertawa kecil Suro kembali terdengar, ia merasa lucu dengan kedua orang seniornya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ketika tuan Cheng terakhir menyerang, tubuh tuan sudah terluka cukup parah, dan serangan itu dibantu dengan tenaga dalam agar kuat untuk bergerak. Maka jika saya biarkan itu terjadi, tenaga dalam yang dipaksakan akan menghantam tuan sendiri dan pastinya akan menghantam paru-paru tuan yang sudah terluka."

Kali ini, tidak hanya Cheng Yu dan Tan Bu yang mengangguk-anggukkan kepala, tetapi Yang Meng yang tidak belajar Kung Fu atau beladiri juga ikut mengangguk tanda mulai faham akan penjelasan Suro.

"Pastinya dalam kondisi itu tuan juga sangat emosi, saat itulah saya berniat mengikat kaki tuan dengan ikatan tenaga dalam dibarengi dengan ucapan "Bismillah' seperti yang tuan lihat."

Kalimat itu, barangkali bagi Yang Meng maupun Tan Bu sudah tidak begitu asing lagi terdengar. Masalahnya, mereka berdua sering mendapati Suro dalam beberapa waktu dan keadaan selalu mengucapkannya. Berbeda dengan Cheng Yu yang baru pertama kali mendengarnya, makanya, ketika mendengar kalimat itu, mulutnya nampak bergerak mencoba menirukan kalimat yang diucapkan Suro.

"Hmmm....Sangat asing di telinga saya," katanya."lalu bagaimana hubungannya dengan emosi?"

"Seperti yang saya ucapkan tadi, bahwa tenaga dalam itu terkait dengan emosi lawan. Dan tenaga dalam yang saya kuasai itu bisa saya gunakan sesuai niat saya. Emosi terkait dengan sifat api, maka untuk menguasainya saya harus mengkondisikan tenaga dalam saya bersifat air maupun udara untuk mengikat. Semakin kuat emosi lawan, maka ikatan itu juga akan semakin kuat. Tak bakal bisa dilepaskan sampai dengan emosi penyerangnya stabil atau pasrah. Tak cukup sampai di situ, jika yang mengikat itu tidak melepaskannya, suatu saat jika emosi terjadi kembali, ikatan itu akan muncul dengan sendirinya..."

Lelaki kepala perompak itu terperangah dan lidahnya berdecak kagum. Ia tak menyangka jika ada ilmu seperti itu.

"Tentunya ilmu ini sangat rahasia, dan tidak boleh disalahgunakan," katanya berpendapat.

"Saya tidak tahu," sahut Suro,"Menurut guru Saya, ilmu tenaga dalam ini tidak bisa dipelajari oleh orang yang berhati jahat."

"Oh ya?"

Suro mengangguk, lalu melanjutkan, "Ilmu tenaga dalam ini, tidak bisa disalah gunakan. Tak akan berfungsi. Termasuk orang yang sudah menguasainya, jika dia melanggar perintah dari Tuhan, maka akan hilang dengan sendirinya..."

Tiba-tiba, Yang Meng memukul meja. Semua yang mendengar itu, tentu saja menjadi kaget dan memandang ke arah Yang Meng, dan lelaki itu nampak gelagapan atas perbuatannya. Rupanya Ia tanpa sadar melakukannya.

"Oh, maaf!" katanya sambil tersenyum simpul, "Saya baru memahami sesuatu."

Spontan semua yang hadir tertawa.

"Itulah sebabnya Luo tak mau meminum arak, karena arak dalam keyakinannya termasuk salah satu larangan Tuhan, melakukannya termasuk dosa besar!"

Mendengar kalimat Yang Meng tentang larangan meminum arak, Cheng Yu langsung menatap Suro penuh tanda tanya.

"Apakah Pendekar Luo ini murid Shao lin?" tanyanya.

Menurut pengamatan Cheng Yu, aturan dalam keyakinan Shao Lin juga melarang untuk meminum arak, bahkan daging. Makanya ia menanyakan itu untuk memastikannya.

Suro tertawa lebar, ia sendiri sebenarnya tidak tahu apa itu Shao Lin. Lingkup pergaulannya hanya sebatas padepokan di Lembah Damai. Untuk informasi diluar itu, ia sama-sekali tdak mengetahuinya.

"Saya tak tahu tentang Shao Lin. Saya adalah seorang muslim, ajaran yang saya anut adalah Islam, sebuah agama yang diturunkan di tanah Arab. Sebagai muslim, saya tidak boleh meminum minuman keras yang memabukkan, kemudian memakan bangkai atau daging yang disembelih tidak disebut nama Allah, dan bergaul rapat memadu kasih dengan perempuan yang belum sah saya nikahi."

"Itulah sebabnya pendekar Cheng, kami tidak menyuguhkan arak disini untuk menghormati Luo," potong Yang Meng menjelaskan.

Cheng Yu nampak manggut-manggut, lalu katanya, "Apakah termasuk adab dan prilaku yang pendekar Luo tunjukkan pada waktu pertarungan juga termasuk dalam ajaran itu?"

Suro nampak bersemangat, wajahnya terlihat cerah. Ia merasa lelaki yang baru saja dikalahkannya tertarik dengan apa yang diyakininya. Harapannya, dia bisa membuat Cheng Yu bertobat dan tidak kembali menjadi perompak.

"Iya," jawabnya, "Yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, selama hidup menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang oleh tuhan, selalu melakukan perbuatan baik kepada semua mahluk sebagai bekal nanti ketika meninggalkan dunia ini..."

"Jika anda perhatikan, dampak prilaku dan perbuatan baik adik Luo itu terpancar dari wajahnya yang tenang dan teduh," kali ini Tan Bu menyampaikan kesimpulan pada Cheng Yu yang dijawab dengan anggukan kepalanya.

"Hmmm... benar, saya juga melihatnya ketika pertama kali bertemu..." sahutnya, "Sesuai juga dengan asalnya, seluruh tubuhmu seolah gambaran dari kedamaian. Kalimat yang keluar dari mulutmu sederhana tapi memiliki aura yang berbeda jika orang lain yang mengatakannya. Wajar saya memberikan gelar 'He Pinggu Jianke' (Pendekar Lembah Damai)."

Selesai berkata begitu, ia berdiri sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan membungkuk dalam.

"Salam untukmu Pendekar Lembah Damai!" katanya.

Suro langsung berdiri, lalu melakukan gerakan yang sama dengan Cheng Yu, "Bagi saya, apapun gelar yang melekat pada diri ini adalah sama saja. Tapi, saya menghormati gelar yang diberikan tuan Cheng Yu sebagai kenang-kenangan dan persahabatan."

Mereka kembali duduk, Cheng Yu nampak tersanjung. Ia merasa dihargai sekaligus dihormati sebagai orang yang lebih tua. Kembali ia kagum pada Suro, pemuda belia yang baru dikenalnya langsung merubah prilakunya tanpa paksaan hanya sekali pada pertemuan pertama.. Senyum mengembang menghiasi wajahnya yang cukup sangar.

"Pendekar Luo memiliki tata krama yang tinggi. Walaupun saya ini dikenal sebagai seorang perampok dan pembunuh kejam, tapi anda tetap meninggikan saya sebagai sebagai orang yang lebih tua, anda sungguh-sungguh memanusiakan saya..."

Suro tersenyum, ia menarik nafas terlebih dahulu dan melepaskannya dengan lembut.

"Saya diajarkan oleh guru saya demikian, mengikuti apa yang tertulis dalam kitab suci kami yang disebut Al Qur'an, 'Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu' ...." papar Suro sambil membacakan sebuah ayat dari Al Qur'an.

Semua yang ada disekeliling Suro nampak terperangah. Nampak tak bisa berkata apapun untuk sesaat mendengar apa yang dibacakan oleh Suro.

"Saya ingin bertobat!" tiba-tiba Cheng Yu berkata dengan penuh kesungguhan.