"Kau tahu, Luo," Yang Meng berucap. Saat itu mereka sedang bersantai menikmati suasana malam di atas kapal, bercahaya pelita kapal di sana-sini ditambah cahaya bulan yang terang, duduk mengelilingi meja persegi empat yang memang sudah disediakan. Tak lupa pula, Tan Bu, pelayan setia Yang Meng juga hadir, duduk disamping kiri Suro.
Teh panas dalam teko dan cangkir terhidang dihadapan masing-masing. "Jika tidak ada halangan, beberapa hari lagi kita akan sampai di Cina Daratan, perjalanan dilautan lebih dari dua bulan ini, tentu membuatmu merasa jenuh dan bosan"
"Alhamdulillah, ananda menikmatinya, Ayah," jawabnya, "Banyak yang bisa Saya lakukan, selain berlatih Silat dan belajar berbahasa Cina..."
Suro kini nampak lebih dewasa. Selama dua bulan perjalanannya mengarungi lautan, suaranya berubah lebih berat. Dan hal lainnya, Suro sudah mulai fasih berbahasa Cina.
Yang Meng tertawa ringan, lalu menyeruput teh panas didepannya.
"Tuan Yang," Tan Bu membuka suara, "Adik Luo ini sangat tekun. Tiada hari tanpa latihan bela diri walaupun sehari. Wajar jika ilmu bela dirinya sangat hebat, jauh diatas kemampuanku,..."
Lelaki yang sekarang menjadi ayah angkat Suro itu manggut-manggut sambil menatap Suro, "Kung Fu aliran apa yang kau pelajari itu, Luo?"
Suro berfikir sejenak, ia nampak mencoba mencari padanan kata yang pas untuk menjelaskan jenis bela diri yang dikuasainya.
"Kalau di negeri saya, nama bela diri ini disebut Pencak atau Silat," jelas Suro memulai kalimatnya, "Mempunyai makna berbeda tetapi mempunyai tujuan yang sama, maka digabung dan disebut dengan nama Pencak Silat. Pencak merupakan bahasa yang diartikan melompat kesana kemari, hinggap sana-hinggap sini, dipelajari dari cara hewan menyelamatkan maupun membela diri dari musuh yang lebih kuat. Silat berarti salaman, menghubungkan, menyodorkan tangan satu-sama lain yang merupakan adab seseorang untuk saling menghargai dan menghormati dalam persaudaraan, yang berasal dari kalimat Silaturahim. Jadi sebenarnya, Pencak Silat diciptakan bukan hanya bergerak, tetapi bertujuan saling menyambung persaudaraan. Di negeri saya sendiri, aliran bela diri pencak silat sangat banyak dengan berbagai macam nama, ada yang murni dari gerakan fisik maupun batin, ada juga yang bercampur dengan mistik. Barangkali hal ini sama dengan yang ada di negeri kalian."
"Lalu, yang kau pelajari sendiri aliran apa?" tanya Tan Bu.
"Saya mempelajari aliran beladiri Kantil Putih dari guru saya, alm.Ki Ronggo Bawu. Diambil dari nama bunga yang harum berwarna putih, melambangkan kerendahan dan kesucian hati."
Tan Bu manggut-manggut, lalu berkata,"Pantas gerakannya begitu lembut."
"Ya," sahut Suro,"Jurus-jurusnya sederhana, diibaratkan seorang murid yang melakukan gerakan jurus-jurus memposisikan dirinya seperti bunga Kantil Putih, dia pasrah mengikuti apa yang angin lakukan, tetapi sekali angin berhenti bertiup, dia akan melenting dengan cepat."
"Wow! Mirip dengan Kung Fu Tai Chi Chuan!" serunya,"Tetapi kekuatannya juga mirip Kung Fu Bhajiguan!"
"O,Ya?.... Saya tak tahu tentang itu," ucap Suro.
Yang Meng tiba-tiba tertawa, membuat keduanya menoleh.
"Bagi kalian yang menguasai Kung Fu, berbicara beladiri memang menyenangkan. Tapi jangan lupa, nikmati dulu tehnya...."
Akhirnya mereka berdua juga turut tertawa, lalu masing-masing mengambil cangkir dihadapannya yang sudah terisi dengan teh dan menyeruputnya dengan nikmat.
"Dulu, tidak ada para pedagang yang berani berlayar ke negerimu, negeri di Samudera Selatan, kecuali para pasukan kerajaan yang dikirim dalam rangka kunjungan khusus," cerita Yang Meng.
"Apakah karena ombaknya yang besar?" tanya Suro
"Bukan," sambung Tan Bu, "Adanya perompak atau bajak laut bengis dan brutal bernama Chen Zuyi. Dia merompak barang-barang setiap kapal pendatang yang melintas memasuki Pulau Jiu Gang. Dia punya pasukan yang banyak dan ratusan kapal, oleh karena itu banyak yang tak selamat jika berhadapan dengan Chen Zuyi."
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" tanya Suro penasaran.
"Ya, itu kejadian yang sudah sangat lama, barangkali ada ratusan tahun yang lalu. Zaman Dinasti Ming, seorang laksamana bernama Zheng He Zhuan atau dikenal dengan nama Cheng Ho diutus untuk menangkap Chen Yuzi dan komplotannya. Mereka berhasil ditaklukkan. Pasukan Zheng He Zhuan terpaksa membunuh ratusan orang anak buah Chen Yuzi, menawan 7 kapal dan merampas harta hasil rompakannya. Akhirnya Chen Yuzi di bawa ke pusat kekaisaran di Nangking dan dihukum pancung."
"Jika tidak ada peristiwa itu, barangkali anak turunan mereka akan meneruskan jejak Chen Yuzhi menjadi perompak," ujar Yang Meng.
Agak lama tak terdengar suara percakapan, seolah membiarkan masing-masing untuk menikmati pemandangan malam memanfaatkan suasana di atas kapal yang sangat tenang dan aman mengarungi lautan.
"Tapi suasana daratan saat ini agak kacau, kemiskinan dan kelaparan dimana-mana, kejahatan juga merajalela. Pemerintahan sudah sangat korup seolah tak peduli rakyat," papar Tan Bu tiba-tiba memecah kesunyian.
Yang Meng menghela nafas panjang, hingga suara helaannya terdengar oleh mereka, seolah-olah prihatin akan kondisi yang terjadi saat itu.
"Sejak runtuhnya Dinasti Ming, lalu diganti dengan Dinasti Qing yang dipimpin Kaum Manchuria, kaum Han sungguh mengalami intimidasi di sana-sini, salah satunya adalah cara berpakaian dan gaya rambut kami seperti yang kau lihat sekarang ini, kepala depan dicukur dan rambut belakang dikuncir," sambil bercerita demikian, Yang Meng menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ada slogan, 'Ingin rambut penggal kepala, ingin kepala pangkas rambut' yang disebut Taucang."
Sebenarnya dalam hati, Suro sudah lama ingin menanyakan perihal demikian, namun selalu tertunda, dan akhirnya masalah itupun akhirnya terjawab.
"Rambut ananda saat ini panjang terurai, hanya diikat selendang kain. Apa yang akan terjadi jika ananda sampai di daratan? Apakah nantinya tidak menjadi pusat perhatian orang-orang disana Terutama tentara-tentara kerajaan Qing?" tanya Suro.
Ia sudah membayangkan betapa lucu dan aneh dirinya nanti jika gaya rambutnya dibuat seperti Ayah angkatnya. Tanpa sadar, tertawanya meledak dan membuat terkejut Yang Meng dan Tan Bu. Mereka sama menatap Suro dengan heran.
Karena pembicaraannya adalah masalah rambut, Yang Meng dan Tan Bu pun akhirnya menyadari apa yang ditertawakan oleh Suro. Tak ayal, mereka pun ikut tertawa.
"Sementara, biarkan saja rambutmu sambil berjalannya waktu, dengan menyamar mengaku sebagai pedagang...." jawab Yang Meng.
Sedang asyiknya mereka berbincang-bincang, tiba-tiba seorang anak buah kapal datang dengan terburu-buru, lalu membungkuk memberi hormat. Ia tak langsung bicara, melainkan mengatur nafasnya yang tersengal sejenak.
"Tuan, kami melihat beberapa titik cahaya di sebelah selatan, tak jauh tepat di belakang kapal kita dan ketika kami teropong, itu adalah iring-iringan kapal berbendera merah," lapornya.
Tak pelak, Yang Meng dan Tan Bu berdiri berbarengan meninggalkan Suro yang tak mengerti hal apa yang membuat mereka terkejut dan terlihat panik. Lalu mereka bergegas menuju ke tingkat atas bagian dari kapal, dan Suro pun langsung mengikutinya dari belakang.
Dari tempat itu, mereka semua melihat beberapa titik cahaya berayun-ayun tak jauh berada di belakang kapal, nampaknya kian lama kian mendekat mengejar kapal pedagang itu.
Bendera berwarna merah yang dilihat oleh anak buah kapal Yang Meng merupakan bendera perompak, dipimpin oleh seorang lelaki bernama Cheng Yu. Menurut berita, Cheng Yu ini sebenarnya berasal dari Suku Han, dan dicap sebagai pemberontak karena menentang dan membuat rusuh di wilayah kekuasaan kerajaan. Karena ketinggian ilmu bela dirinya, beberapa pendekar kungfu yang dikirim untuk meringkusnya selalu gagal.
Dalam perjalanannya, Cheng Yu lalu mengumpulkan orang-orang yang memiliki perasaan dan kondisi yang sama dengannya yang merupakan korban ketidakadilan dan ketidakpuasan pemerintahan saat ini. Melakukan perampokan di darat, menjarah para pedagang, memberinya pilihan apakah ikut bergabung atau mati.
Tak butuh waktu lama, akhirnya kelompok Cheng Yu ini berhasil memiliki beberapa buah kapal yang digunakannya untuk merampok di lautan.
"Cepat matikan semua pelita!" perintah Yang Meng pada anak buah kapalnya, yang langsung memberi hormat dan bergegas pergi melaksanakan perintah.
"Ada apa, Ayah?" tanya Suro.
"Cahaya itu," tunjuk Yang Meng ke arah beberapa buah cahaya di lautan."Itu adalah kapal perompak berbendera merah, merupakan bendera lambang kapal perompak bengis yang dipimpin oleh Cheng Yu!"
Pelita yang ada di atas kapal dimatikan, Suro menyipitkan matanya, mencoba memandang ke arah beberapa cahaya yang berada dibelakangnya. Setelah memfokuskan pandangan, ia bisa menebak, kapal itu jauh lebih kecil dari kapal yang ia naiki, jumlahnya ada 4 buah kapal.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Yang Meng berkata panik, suaranya terdengar bergetar.
"Perompak Cheng Yu memang terhitung baru sebagai perompak, namanya lebih dulu terkenal didaratan. Namun begitu, kemampuan beladirinya yang konon sangat tinggi mampu membuatnya dikenal sebagai perompak tangguh. Penjahat tetaplah penjahat, dan harus kita hadapi!" sahut Tan Bu. Nampaknya ia sudah bertekad untuk melawan.
"Tapi,..." Yang Meng berkata lagi, "Jika ia memaksa kita untuk menyerahkan barang-barang kita, biarlah ia bawa."
Suro hanya diam, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali bersikap tenang, sefatal-fatalnya yang terjadi jika memang tidak ada peluang hidup adalah mati. Itu saja.
Tidak butuh waktu lama, kapal yang ternyata memang berjumlah empat buah itu sudah mendekat. Mereka dapat melihat, puluhan orang yang berada disetiap kapal perompak sama mengacungkan pedang dan golok ditangan kanan, dan sambil tangan kirinya beberapa dari mereka memegang obor sambil berteriak-teriak menakut-nakuti para penumpang di kapal Yang Meng.
"Ayah," berkata Suro, "Percuma pelita dimatikan, mereka sudah tahu posisi kita, maka lebih baik dinyalakan saja."
Lelaki itu tak menyahut, ia mengikuti saran Suro untuk menyalakan pelita di atas kapal mereka dengan memberi isyarat kepada Tan Bu agar segera melaksanakan apa yang diucapkan Suro.
Sementara, Suro berlari ke dalam kapal menuju ruangannya, dan tak lama kembali dengan sebuah tongkat rotan yang disisipkan dipunggungnya.
Sambil melaksanakan perintah, Tan Bu sudah memerintahkan para anggotanya yang berjumlah puluhan orang itu untuk mengeluarkan senjata masing-masing untuk bersiap-siap melawan jika terjadi pertempuran.
Empat kapal perompak langsung mengepung dan merapat di depan, kiri kanan dan belakang sambil melemparkan pengait ke kapal yang Suro tumpangi, disusul kemudian dengan merayap pada tali, satu persatu dari mereka sampai ke sisi badan kapal.
"Bersiap pada sisi-sisi kapal, jatuhkan mereka yang berusaha naik!" perintah Tan Bu pada anak buah kapal yang disambut dengan teriakan patuh mereka.
"Biarkan mereka naik!" tiba-tiba Suro berseru, "Jangan ada perlawanan dulu!"
Tan Bu terkejut mendengar seruan Suro, lalu katanya, "Kalau tidak melawan, kita yang akan dihabisi dan mati sia-sia, kita kalah banyak!"
Suro tak menjawab. Ia mengamati sekeliling, melihat sisi mana yang muncul duluan, memikirkan suatu cara bagaimana ia harus menaklukkan kepala perompak secara langsung terlebih dahulu agar tidak timbul banyak korban.
Beberapa orang perompak berhasil naik, dan langsung mengayunkan goloknya ke arah seorang anak buah Tan Bu yang terdekat.
Sontak, Suro bergerak dengan sangat cepat. Sekali lompat, ia menghalau beberapa ayunan golok perompak dengan satu kali sabetan rotannya, lalu menarik kepala salah satu perompak dan menyeretnya ke tengah.
Setelah berada di tengah, perompak itu ia banting dengan keras, menarik lengan si perompak ke belakang dengan tangan kirinya dan menguncinya hingga tak dapat bergerak. Tangan kanannya yang bebas menusukkan tongkat rotannya di belakang kepala perompak dan menekannya hingga berteriak kesakitan.
Kejadian yang sangat cepat itu begitu menyita perhatian semua orang hingga serangan terhenti sejenak. Tak ada hitungan beberapa detik. Decak kagum tentu muncul dari bibir anak buah kapal, dan suara kaget tertahan campur waspada terjadi pada para perompak yang berada di atas kapal. Mereka sadar, bahwa yang dihadapi itu bukanlah orang sembarangan.
"Mana pemimpin kalian!!!" bentak Suro pada para perompak, sambil memandang ke sekeliling.
Tak ada yang menjawab, maka tongkat rotan kembali menekan dengan lebih keras hingga perampok yang disandera Suro kembali menjerit kesakitan.
Melihat gaya Suro yang diluar dugaan mereka, masing-masing perompak tak ada yang berani maju, namun masih bersikap siap dengan memutar-mutarkan senjata tajamnya masing-masing.
"Oh, ada yang mau menantangku rupanya!!!" satu suara cukup keras terdengar, disusul kemudian sesosok tubuh muncul dari sisi kapal.