Pagi hari perjalanan mengarungi lautan, langit begitu cerah, angin berhembus cukup tenang dan gelombang lautpun tak begitu besar mengayun-ayun kapal milik Yang Meng si pedagang.
Suro membuka matanya, sesaat kesadarannya belum kembali hingga ia merasakan tubuhnya berayun-ayun. Lalu kemudian dia mengambil posisi duduk ditepi pembaringan.
Terakhir yang ia ingat, Yang Meng kembali menawarkan Suro untuk ikut bersamanya. Sementara, Suro sendiri sudah berniat untuk menetap, berlatih dan melakukan perjalanan mencari kelompok orang yang telah membakar padepokannya.
Tapi, setelah berfikir lagi, usianya juga masih cukup muda, perjalanan masih terlalu panjang dan ia ingin mengisinya dengan berbagai macam petualangan. Maka ia pun setuju dan memutuskan untuk menerima tawaran Yang Meng.
"Oh, iya..." batinnya,"Aku sedang berada di atas kapal."
Cukup lama ia terdiam di posisinya Hingga dirasa cukup, dengan sedikit meregangkan tubuh sejenak, lalu berdiri dan melangkah keluar dari ruangannya.
Begitu membuka pintu, dilihatnya orang-orang sudah sibuk berlalu-lalang dengan pekerjaannya masing-masing. Ia lalu mengambil arah berbelok ke kanan menuju pagar pembatas kapal.
Sambil berpegangan pada pinggiran kapal, ia melemparkan pandangan ke segala arah, dimana yang dilihatnya hanya lautan tak bertepi, dan burung-burung pemangsa ikan yang turun naik menukik ke dalam laut.
Dalam keasyikan melihat pemandangan, sebuah sentuhan pada bahunya membuat ia sedikit terkejut dan menoleh ke belakang. Tampak seorang lelaki setengah baya tersenyum hangat padanya, "Bagamaimana kondisimu hari ini?"
"Alhamdulillah, tuan," jawabnya sambil tersenyum, yang rupanya itu adalah Yang Meng.
Yang Meng kemudian mengambil posisi sejajar berdampingan berdiri di sebelah Suro. Matanya diarahkan ke lautan lepas.
Pagi itu, senyumnya tampak lebih lebar, raut wajahnya menampakkan kegembiraan yang tak bisa diungkapkan. Dan Suro pun melihat itu.
"Pagi ini, saya lihat, tuan tampak gembira. Kalau boleh tahu, apa kiranya yang membuat tuan sebegitu gembiranya..."
Yang Meng lalu menatap ke arah Suro, lalu tertawa kecil. Ia tak langsung menjawab, tapi pandangannya di arahkan kembali ke lautan. Menarik nafas lalu menghembuskannya, seoah-olah sedang mempersiapkan kata-kata yang harus dikeluarkannya.
"Hmm...Ada beberapa hal yang membuat aku gembira hari ini," katanya. "Pertama adalah, kau mau ikut dalam perjalanan ini bersama kami, dan kedua sebentar lagi aku akan berkumpul kembali dengan keluargaku."
Suro dalam hatinya membatin, ia menebak, kalau Yang Meng sebenarnya hanya memanfaatkan dirinya sebagai penjaga selama perjalanan. Mengingat kemampuan bela dirinya yang berada jauh di atas Tan Bu, tentunya akan sangat berguna nantinya ketika terjadi situasi menghadapi para penjahat.
"Selama beberapa hari ini, aku memperhatikan dirimu, mencoba mengenalmu lebih dalam dan berdiskusi dengan Tan Bu meminta pandangannya tentangmu. Akhirnya, kesimpulan kami sama. Kamu adalah seorang anak yang baik, sopan dan lemah lembut... itu membuatku tertarik padamu, oleh karena itulah aku berusaha agar kau mau ikut denganku..." katanya.
Suro tersenyum mendengar itu, lalu berkata, "Tuan terlalu berlebihan menilai saya."
Sejenak, lelaki itu tertawa lepas,"Berapa umurmu?"
Mendengar pertanyaan itu, Suro nampak berfikir mengira-ngira tentang umurnya. Cukup lama ia terdiam, mengingat kejadian demi kejadian disetiap peristiwa yang dialaminya untuk menghitung berapa tahun sekarang usianya.
"Terus terang, pastinya saya tidak tahu," jawabnya,"Waktu itu, Ki Ronggo Bawu menemukan saya dalam keadaan yatim piatu, terlantar menyelamatkan diri dari perampokan terhadap orang tua saya. Lalu saya tinggal bersama beliau entah juga beberapa tahun. Jadi kalau saya perkirakan, usia saya baru lima atau enam belasan tahun."
Yang Meng nampak berfikir sejenak sebelum kemudian berkata,"Aku mempunyai seorang puteri, saat ini sudah berusia 15 tahun. Kupikir, kamu tidak salah menebak usiamu, tidak salah kalau kau bilang berusia antara 15 atau 16 tahun. Karena secara fisik, tdak jauh berbeda dengan puteriku."
"Lalu, kenapa tuan gembira dengan ikutnya saya bersama tuan?" tanya Suro memancing.
"Kau tahu? Berapa usiaku?" Yang Meng tak langsung menjawab, malah bertanya balik sambil menatap ke arah Suro.
Suro diam sejenak, memperhatikan Yang Meng, memandangnya dari ujung kaki sampai kepala. Lalu menggelengkan kepala.
"Saya tidak tahu, yang jelas kalau saya bisa menebak usia tuan sudah berada di atas 50 tahun..."
Lagi-lagi Yang Meng tersenyum, lalu manggut-manggut.
"Tidak salah, usiaku sudah lebih dari yang kau sebutkan."
Lalu Yang Meng melanjutkan penuturannya,"Aku hanya memiliki seorang anak perempuan, seperti yang kusampaikan barusan, usianya 15 tahun. Sementara, sudah lama aku juga ingin memiliki seorang putera. Rasanya sudah tak mungkin kudapatkan dengan usiaku sekarang ini..."
Mendengar penuturan itu, sontak saja Suro merasa jantungnya berdegup kencang. Ia mulai bisa menebak apa yang akan diutarakan Yang Meng. Barangkali itulah alasan mengapa lelaki itu nampak gembira. Suro merasa berdosa sudah berburuk sangka jika memang tujuan Yang Meng membawanya bukan seperti yang ia sangkakan.
Cukup lama mereka saling diam, masing-masing menunggu kalimat yang keluar dari mulut satu sama lain.
Suro sebenarnya ingin mengetahui lebih banyak tentang lelaki disebelahnya, termasuk keluarganya. Namun, ia putuskan menunggu lelaki itu menuturkannya sendiri.
Semakin jauh, kapal berlayar, angin lembut berdesir membelai kulit, ombak pun tetap bergelombang dengan santun, sementara matahari perlahan sudah mulai meninggi.
"Oh, ya..." tiba-tiba Yang Meng berkata, "apa yang kau ucapkan saat aku menanyakan kabarmu tadi?"
Suro coba mengingat sejenak, lalu katanya, "Oh, Alhamdulillah..."
Remaja itu memang dididik selama dipadepokan untuk selalu menerima apa pun yang bentuknya itu bermanfaat dan kebaikan dengan bersyukur, yang diimplementasikan dalam bentuk ucapan Alhamdulillah. Oleh karena itulah, siapapun yang menyapanya dan dirasa itu kebaikan, respon diotaknya langsung dilontarkan dalam ucapan itu.
"Kalimat apa itu?" tanya Yang Meng.
"Itu adalah ungkapan syukur masih diberi kesehatan, keamanan, maupun kekuatan oleh Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, Tuhan yang disembah oleh seluruh mahluk di semesta ini. Artinya segala Puji Bagi Allah..."
Yang Meng tampak berfikir, ia berusaha mencerna apa yang disampaikan Suro. Tiba-tiba wajahnya berubah seperti menemukan jawaban,
"Apakah itu ucapan di dalam ajaran Islam?" tanyanya kemudian.
"Benar, tuan..." jawab Suro.
"Aku pernah dengar, komunitas orang Islam juga ada di salah satu propinsi di negeriku. Konon, ajaran itu dibawa oleh orang-orang Persia yang sekaligus juga mengajarkan keahlian beladiri."
Perlahan, raut wajahnya yang semula ceria berubah sedih dan putus asa, dan Suro menangkap gejala itu.
Yang Meng menarik nafas pendek dan menghembuskannya dengan cepat. "Apakah didalam ajaran itu melarang seseorang membuat atau mengikat hubungan keluarga?"
Suro tersenyum, ia bisa membaca isi hati Yang Meng. Lalu sambil tersenyum, ia bertanya,"Sebenarnya, apa yang tuan inginkan dari saya?"
Yang Meng agak berhati-hati memulai bicara, ia khawatir Suro akan tersinggung, "Seperti yang sudah kamu ketahui tentang saya dan keluarga saya, sekarang saya ingin minta pendapatmu....Menurut Islam, apakah bisa jika saya menganggapmu sebagai anak angkatku?"
Suro mengangkat bahunya, tanpa berfikir, sambil tersenyum ia langsung menjawab, "Bisa."
Yang Meng sontak memandang wajah Suro, ia terkejut mendengarnya.
"Benarkah?" tanya Yang Meng kemudian, wajahnya kembali terlihat gembira, tatapan matanya nampak bersinar.
"Tak ada masalah," jawabnya,
"Lelaki itu diam sejenak, agak berat dia ingin berkata-kata. Khawatir nanti tidak berbeda dengan yang diharapkannya.
"Apakah kau mau menjadi anak angkatku?" suaranya agak lirih, namun cukup bisa didengar oleh Suro.
Suro menghela nafas pendek, melemparkan pandangan kelautan lepas. Dia berfikir, bagaimana nantinya kedepan jika mengiyakan permintaan Yang Meng. Tugasnya belum selesai di negerinya. Dia berusaha tidak ada ikatan yang bisa menghambat tujuannya mencari orang-orang yang telah membunuh guru dan rekan-rekannya di padepokan. Lain hal jika dirinya masih anak-anak dan masih membutuhkan kasih sayang dari orang lain, saat ini ia sudah merasa cukup dewasa untuk hal itu. Tapi,...
"Jika tuan Yang tidak keberatan dengan apa adanya saya,...."
"Apa yang membuatku berat? Aku sudah cukup tua, dan perjalanan ini adalah perjalanan terakhirku. Aku tidak menemukan yang lain di negeriku..."
Suro menatap sejenak Yang Meng, lalu mengangguk sambil tersenyum.
Senyum Suro bagai sebuah energi bagi Yang Meng. Raut mukanya langsung berubah gembira, senyumnya mengembang.
"Sungguh?" Tanyanya lagi untuk lebih meyakinkan.
"Alhamdulillah, tak masalah," sahutnya lagi
"Al..ham...???" Yang Meng mencoba mengikuti ucapan Suro...
"Alhamdulillah..." lanjut Suro
"Alhamdulillah...hahahhahhaha," seru lelaki itu disusul suara tawanya yang panjang, karena berhasil mengucapkan kalimat itu walaupun masih dengan logat Cinanya yang kental.
Lalu tiba-tiba dia meraih tubuh Suro, dan memeluknya erat sekali. Cukup lama, dan Suro membiarkan itu terjadi. Entah mengapa, Suro merasakan sesuatu berdesir dalam dadanya, rasa haru dan bahagia yang tiba-tiba saja muncul membuatnya hampir meneteskan air mata.
Yang Meng, merenggangkan pelukannya, sambil masih memegang bahu Suro, dipandanginya remaja itu dari atas sampai bawah, nampak aliran air matanya membasahi kedua pipinya...
"Anakku," katanya sambil menyeka air mata dipipinya.
Suro lalu meraih tangan kanan Yang Meng, menariknya lalu mencium tangan lelaki bahagia itu.
"Ayah," katanya,"Terima kasih banyak mau menganggapku anak."
Yang Meng terseyum, dia biarkan tangan kanannya dicium oleh Suro,"Apa yang kau lakukan? Apakah itu bagian dari ajaran yang kamu anut?"
Perlahan Suro melepaskan genggaman tangannya, lalu mengangguk.
"Ini adalah adab dalam Islam, hormat kepada orang yang lebih tua, terutama untuk orang tua..."
"Woww....." ucapnya kagum, senyumnya mengembang, "tidak kusangka Tuhan mempertemukanku dengan anak baik sepertimu. Tunggu berapa bulan lagi, Ibu dan adikmu pasti gembira mendapat anggota baru."
"Insyaallah," sahut Suro.
"Hmmm.... Insyaallah," tiru Yang Meng,"Kelak, kau harus mengenalkan kami dengan bahasa-bahasamu itu,"
Suro menggangguk senang.
Dalam hati ia bersyukur dan berdoa, Allah mempertemukannya dengan orang yang mau menganggapnya sebagai keluarga, dan bahkan sebagai anak angkat, meskipun dari ajaran agama dan bangsa yang berbeda. Dia berharap, perlahan-lahan Allah akan membukakan pintu hatinya menerima apa yang disampaikan kepadanya. Hidayah menerima ajaran Islam. Tapi itu nanti, pikirnya.
"Pertama-tama, aku ingin sampaikan," Yang Meng berkata,"Kebanyakan, kami akan kesulitan menyebut namamu, maka tanpa merubah arti nama pemberian orang tuamu dulu, namamu disesuaikan dengan dialiek Cina. Siapa nama panjangmu?"
"Suro Bawu," jawabnya,
Yang Meng sejenak berfikir sambil mengusap janggut didagunya.
"Luo Bai Wu,....Ya, Luo Bai Wu. Ditambah dengan nama marga Yang. Yang Luo Bai Wu... Bagaimana pendapatmu?"
Dalam hati, Suro tertawa geli mendengar namanya disebut dengan dialek Cina, lucu pikirnya, lalu tanpa membantah, ia pun mengangguk tanda setuju.
"Wah...." tiba-tiba satu suara terdengar dari belakang mereka, sehingga keduanya yang sudah mengangkat ayah dan anak itu sama menoleh. Dilihatnya Tan Bu berjalan mendekati ke arah mereka.
Begitu sudah berada pada jarak pembicaraan yang dapat terdengar, Tan Bu mengepalkan kedua tangannya di depan dada sebagai tanda sapaan atau hormat pada mereka berdua sambil sedikit menundukkan kepala dan badannya.
"Tuan Yang, Suro," katanya.
"Eit,.." sahut Yang Meng mengangkat tangannya sambil senyum kecil,"Mulai saat ini, Kau harus memanggilnya Tuan Luo.... Tuan Yang Luo Bai Wu!"
Tan Bu nampak bingung dan gelagapan sejenak. Tapi tiba-tiba dia sadar dan raut wajahnya berubah gembira, lalu kembali memberi hormat kepada Suro dengan cara yang sama.
"Oh, eh....Selamat berbahagia Tuan Yang dan Tuan Luo Bai Wu!" katanya dengan mata berbinar-binar.
Remaja itu nampak kikuk, hal ini diluar kebiasaannya. Lalu memegang kedua lengan Tan Bu dan memisahkannya dengan perlahan.
"Saya fikir ini terlalu berlebihan," ujarnya, "bolehkah kau panggil saya Adik Luo dan saya memanggilmu Kakak Tan?"
Mendengar itu, Tan Bu tak langsung menjawab. Ia terlebih dahulu menoleh ke arah Yang Meng. Sementara, Yang Meng Cuma manggut-manggut beberapa kali sambil menyungging senyum. Ia mengisyaratkan tanda setuju atas permintaan anak angkatnya itu.
"Baiklah kalau tuan, eh, adik berkata seperti itu..." jawabnya kemudian.
Sejenak, mereka saling pandang, akhirnya tertawa lepas dalam suasana bahagia.
"Luo, mulai sekarang, kau harus belajar bahasa kami. Biar masalah ini kuserahkan pada Tan Bu untuk mengajarimu..."