Chapter 11 - Bab 11

Aku melambaikan tanganku pada pria asing itu itu dan mengisyaratkan nya supaya mendekat. Dia tampak terkejut, meletakkan bukunya dan berjalan ke arah kami. Saat dia tiba, aku meningkatkan tanganku di tubuhnya dengan akrab, memandangnya dengan tatapan yang mampu membuat raja berlutut.

"Apa kau sudah siap untuk pergi?"

Matanya yang, ngomong-ngomong, terlihat indah tampak berkilat heran. Mata berwarna biru kehijauan yang intens. Untunglah, dia pandai menangkapnya dan ikut memainkan perannya.

"Tentunya." Lengannya ikut merangkulku, tangannya diletakkan di pinggulku dengan sikap lancang yang mengejutkan. "Seharusnya aku bisa tiba lebih awal, tapi aku terjebak dalam kemacetan."

Menggemaskan. Aku melirik Warren. "Kita lanjutkan lagi kapan-kapan?"

Warren memandangku dan pria itu bergantian. "Tentu. Ya. Tentu saja." Warren punya perasaan memiliki terhadapku, tapi hal itu tidak cukup kuat untuk menantang saingan yang jauh lebih muda.

Beberapa rekan kerjaku juga melihat dengan penuh ketertarikan. Sama seperti Warren, tidak satupun dari mereka yang pernah melihatku berkencan sebelumnya. Seth Mortensen menyibukkan dirinya membereskan tas, tidak pernah menatapku lagi, seolah-olah tidak menyadari kehadiranku. Dia bahkan tidak menjawab saat aku mengucap selamat tinggal. Mungkin memang sebaiknya begitu.

Teman kencan ku dan aku meninggalkan toko, melangkah menembus malam yang dingin. Hujannya sudah berhenti, tapi awan dan lampu kota menutupi bintang-bintang. Memperhatikannya, aku sedikit berharap kalau kami memang berkencan.

Dia tinggi sangat tinggi.Mungkin setidaknya 20 senti lebih tinggi dari tinggiku yang 160. Rambutnya hitam dan berombak, ciri-ciri ke belakang dari wajah kecoklatannya yang membuat matanya yang berwarna biru laut tampak bersinar. Dia memakai mantel wol hitam yang panjang dengan sebuah sel bermotif kotak-kotak dengan perpaduan warna hitam, merah anggur, dan hijau.

"Terima kasih," kataku saat kami berhenti dan berdiri di ujung jalan. "Oh menyelamatkanku dari... Situasi yang tidak menyenangkan."

"Tidak masalah." Dia menyodorkan tangannya padaku. "Aku Roman."

"Nama yang bagus."

"Begitulah. Mengingatkanku akan novel roman."

"Oh?"

"Yeah. Tidak ada orang di dunia nyata yang bernama seperti itu. Tapi dalam novel roman, ada jutaan nama seperti itu. Roman Duke of Wellington kelima. Roman Sang Perompak yang Menawan juga gagah dan menakutkan dari laut lepas."

"Hei, sepertinya aku membaca yang terakhir itu. Aku Georgina."

"Aku tahu." Dia menganggukkan kepala ke arah tanda pengenal pegawai yang kupakai di sekeliling leherku. Mungkin juga sebuah alasan untuk melihat belahan dadaku. "Apakah itu pakaian seragam standar untuk seorang asisten manager?"

"Sebenarnya pakai yang ini sudah membuatku sangat kesal," kataku, memikirkan berbagai reaksi yang muncul akibat pakaian ini.

"Terpisah memakai mantelku. Kemana kau ingin pergi malam ini?"

"Kemana aku...? Kita tidak berkencan. Aku sudah bilang padamu: Kau hanya menyelamatkanku dari jeratan kecil, itu saja."

"Hei, itu tetap saja bernilai sesuatu," dia membalas. "Sebuah sapu tangan? Ciuman di pipi? Nomor telepon mu?"

"Tidak!"

"Oh, ayolah. Apa kau tidak melihat betapa hebatnya aku? Aku bahkan tidak berkedip saat kau mengikatku dengan pandangan memanggilmu itu."

Aku tidak bisa menyangkal itu. "Baiklah. Nomorku 555 -1200."

"Itu nomor telepon toko."

"Bagaimanakah kau tahu?"

Dia menunjuk papan penanda Emerald City di belakangku. Papan itu berisi semua informasi kontak toko. "Karena aku terpelajar."

"Wow. Itu membuatmu, seperti, 10 langkah lebih maju daripada semua pria  yang pernah merayuku."

Dia tampak penuh harap. "jadi apa ini berarti kita bisa berkencan kapan-kapan?"

"Tidak. Aku menghargai bantuanmu malam ini, tapi aku tidak berkencan."

"Jangan anggap seperti sebuah kencan kalau begitu. Anggap saja sebagai... Pertemuan pikiran."

Cara dia memandangku memperlihatkan kalau dia menyimpan lebih dari sekedar pikiranku. Aku menggigil tanpa sebab, tapi aku tidak kedinginan. Sebenarnya, aku mulai merasakan kehangatan yang membingungkan.

Dia membuka kancing mantelnya. "Ini. Kalau kedinginan. Pakai ini sementara aku mengantarmu pulang. Mobilku ada di ujung sana."

"Aku tinggal dekat sekali."

panas tubuhnya masih terasa di mantelnya dan aromanya menyenangkan. Kombinasi cK One dan, yah. Pria. Tim.

"Kalau begitu biarkan aku mengantarmu pulang."

Kegigihannya menawan, dan hal itu adalah alasan yang cukup untuk mengakhiri semuanya sekarang.ini adalah jenis pria berkualitas yang harus kuhindari.

"Ayolah," Roman memohon saat aku tidak menjawab. "Ini bukan permintaan yang berat. Aku bukan penguntit. Yang kuinginkan hanyalah berjalan mengantarmu pulang. Lalu kau tidak akan melihatku lagi."

"Dengar, kau bahkan tidak mengenalku..." Aku berhenti, mempertimbangkan yang sudah dia katakan."Oke."

"Oke apa?"

"Oke, Kau boleh mengantarku pulang."

"Sungguh?" Dia berbinar.

"Yap."

Tiga menit kemudian, saat kami tiba di gedung apartemen ku, dia mengangkat tangannya putus asa. " Ini tidak adil. Oh bisa dibilang tinggal di sebelah."

"Satu perjalanan mengantarku pulang. Hanya itu yang Kau minta."

Roman menggelengkan kepalanya. "Tidak adil. Benar-benar tidak adil. Tapi..." Dia mendongak penuh harap menatap gedung ku, "... Setidaknya aku tahu di mana kau tinggal sekarang."

"Hei! Katamu kau bukan seorang penguntit."

Dia menyeringai, gigi putih yang indah bersinar kontras dengan kulitnya yang kecoklatan. "Tidak pernah terlambat untuk memulai." Membungkuk, dia mencium tanganku dan mengedipkan mata. "Sampai bertemu lagi, Georgina yang cantik."

Dia berbalik dan berjalan menuju malam di Queen Anne. Aku melihatnya pergi, masih merasakan bibirnya di kulitku.betapa mengejutkan dan membingungkan berbanding terbalik dengan kejadian malam ini.

Saat dia sudah tidak terlihat, aku berbalik dan masuk ke gedung. aku baru setengah jalan menaiki tangga saat menyadari kalau aku masih memakai mantelnya. Bagaimana aku bisa mengembalikan nya? Dia melakukannya dengan sengaja, aku menyadari hal itu. Dia membiarkanku menyimpannya.

Saat saat itu juga aku tersadar kalau aku akan bertemu dengan Duke Roman yang licik lagi. Mungkin tidak lama lagi.

Sambil terkekeh, aku terus berjalan menuju apartemenku, berhenti setelah beberapa langkah.

"Tidak lagi," gumamku jengkel.

Sensasi yang kukenal berputar di balik pintu apartemenku. Seperti angin yang bercahaya. Seperti dengungan lebah di udara.

Ada sekelompok makhluk abadi di dalam rumahku. Apa-apaan ini? Apa aku perlu mulai membebankan biaya masuk untuk apartemenku?kenapa tiba-tiba semua orang berpikir kalau mereka bisa masuk begitu saja saat aku tidak ada?

Terpikir olehku, meski sesaat, kalau aku tidak merasakan kehadiran Jerome dan Carter sebelumnya. Aku sama sekali tidak sadar. Itu aneh, tapi aku terlalu terganggu pada berita yang berita yang mereka bawa daripada memperhatikan hal-hal lain.

Dengan cara yang sama, amarahku saat ini tidak mengizinkanku untuk menjawab teka-teki sepele itu sekarang. Aku terlalu kesal. Mengayunkan tasku di satu bahu, aku bergegas masuk ke rumah.