Menghabiskan waktu hampir 2 jam untuk melayani pelanggan di barisan tanda tangan, dan saat itu, toko Lima belas menit lagi akan tutup. Seth Mortensen tampak sedikit lelah tapi terlihat bersemangat. Perutku berjungkir balik saat Paige memanggil kami yang tidak harus menutup toko untuk ikut dengannya dan berbicara dengan Seth.
Dia memperkenalkan kami semua tanpa berbelit-belit. "Warren Loud, pemilik toko. Doug Sato, asisten manager. Bruce Newton, manajer cafe. Andy Kraus, penjualan. Dan dan kau sudah mengenal Georgina Kincaid, asisten manager kami yang lain,"
Seth menganggur sopan, menjabat tangan semua orang. Saat dia menghampiriku, aku mengalihkan pandanganku, menunggu dia untuk melewatiku saja. Ketika dia tidak melakukannya, aku meringis dalam hati, memberanikan diri untuk menerima komentar tentang pertemuan pertama kami. Malahan yang dia katakan hanyalah, "G.K."
Aku mengerjap. "Hah?"
"G.K.," ulang Seth, seolah-olah huruf tersebut masuk akal. Saat ekspirasi pada aku tetap bertahan, dia menganggukkan kepala ke salah satu selebaran promosi untuk acara malam ini. Tulisannya:
Kalau kau belum pernah mendengar tentang Seth Mortensen, maka kau jelas tidak tinggal di planet ini selama 8 tahun terakhir. Dia adalah hal paling menakjubkan di pasar fiksi misteri atau kontemporer, membuat kompetisi itu tampak seperti sebuah coret-coretan dalam sebuah buku gambar anak kecil. Dengan beberapa judul yang meraih best seller, Mr. Mortensen yang ternama menulis novel yang hebat sekaligus episode lanjutan dari serial Cady dan O'Neill yang populer, The Glaslow Pact melanjutkan petualangan investigator pemberani ini ketika mereka berdua berpergian ke luar negeri kali ini, untuk melanjutkan membongkar misteri arkeologi dan terlibat dalam sebuah humor yang gigih dan seksual sehingga membuat kita mencintai mereka. Para pria, kalau kalian tidak bisa menemukan kekasih kalian malam ini, mereka ada di sini bersama The Glaslow Pact, berharap kalian selembut O'Neill.
_G.K._
"Kaulah G.K. kau yang menulis biografi itu."
Dia memandangku untuk memastikan, tapi aku tidak bisa bicara, tidak bisa mengatakan apapun yang terdengar cukup cerdas dari bibirku. Aku terlalu takut. Segala kekeliruanku sebelumnya aku takut mengatakan sesuatu yang salah.
Akhirnya, kebingungan karena sikap diamku, dia bertanya ragu-ragu, "apa kau seorang penulis? Tulisan bagus sekali."
"Bukan."
"Ah." Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang dingin. "Yah. Kupikir beberapa orang menulis cerita, yang lain menghidupkannya."
Itu terdengar seperti kalimat yang bodoh, tapi aku menggigit bibirku agar tidak merespon, masih berperan sebagai perempuan yang dingin, saya mau hapus rayuan sebelumnya.
Paige, yang tidak mengerti ketegangan Antara Aku dan Seth, masih merasakannya dan berusaha menenangkannya. "Georgina adalah salah satu penggemar beratmu. Dia begitu senang saat tahu kalau kau akan datang ke sini."
"Yeah," Doug menambahkan dengan licik. "Dia bisa diibaratkan sebagai seorang budak terhadap buku-buku mu. Tanyakan padanya berapa kali dia membaca The Glasgow Pact."
Aku melemparkan tatapan membunuh pada Doug, tapi perhatian Seth terfokus kembali padaku, tampak penasaran. Dia berusaha mengingatkan pembicaraan kami tadi, aku menyadari dengan sedih. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.
"Berapa kali?"
Aku menelan ludah, tidak ingin menjawab, tapi pandangan semua mata itu terasa berat. "Tidak sekalipun. Aku belum menyelesaikannya." Latihan membuatku bisa mengucapkan kalimat itu dengan tenang dan percaya diri, menyembunyikan ketidak nyamanan ku.
Seth terlihat bingung. Begitu juga dengan yang lain; mereka semua menatapku, tampak bingung. Hanya Doug yang memahami lelucon itu.
"Tidak sekalipun?" Tanya Warren mengernyitkan dahi. "bukankah buku itu sudah terbit sejak sebulan yang lalu?"
Doug, bajunya ini, menyeringai. "Ceritakan pada mereka sisanya. Ceritakan berapa banyak yang kau baca dalam 1 hari."
Aku berharap lantai akan terbuka dan menelanku bulat-bulat, agar aku bisa melarikan diri dari mimpi buruk ini. Sepertinya berusaha Aku di depan Seth Mortensen belum cukup buruk, sekarang Doug mempermalukanku agar mengakui kebiasaanku yang konyol.
"Lima," akhirnya aku berkata. "Aku hanya membaca 5 halaman per hari."
"Kenapa?" Tanya Paige. Dia jelas tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya.
Aku bisa merasakan pipiku merona. Paige dan Warren menatapku seolah aku berasal dari planet lain sementara Seth terus diam dan terlihat sangat bingung. Aku menarik napas dalam dan bicara dengan cepat: "karena... Karena bukunya begitu bagus, dan karena hanya ada satu kesempatan membaca buku untuk pertama kalinya, dan aku ingin hal itu bertahan selamanya. Pengalaman itu. Aku bisa menyelesaikannya dalam 1 hari, dan hal itu seperti... Seperti memakan satu kotak es krim dalam sekali duduk. Terlalu banyak kesenangan yang berakhir terlalu cepat. Dengan cara ini, aku bisa berlama-lama. Membuat buku itu bertahan lebih lama. Menikmatinya, aku harus melakukannya karena bukunya tidak terbit terlalu sering."
Aku langsung terdiam, sadar kalau aku baru saja menghina kecepatan menulis Seth... Lagi. Dia sama sekali tidak memberikan respons atas komentarku, dan aku tidak bisa membaca ekspresi di wajahnya. Sedang berpikir, mungkin. Sekali lagi, aku diam-diam memohon agar lantai menelanku dan menyelamatkanku dari rasa malu ini. Tapi tempatnya lantai tetap menolak.
Doug tersenyum yakinkanku. Menurutnya kebiasaanku itu menggemaskan. Paige, yang jelas tidak menganggapnya begitu, terlihat seolah-olah dia memiliki keinginan yang sama denganku bahwa aku ada di tempat lain. Dia berdahan sopan dan memulai topik percakapan yang. Setelah itu, aku hampir tidak memperhatikan apapun yang dikatakan orang orang. Yang aku tahu hanyalah bahwa Seth Mortensen mungkin menganggapku orang sinting, dan aku tidak sabar mengakhiri malam ini.
"...Kincaid akan melakukannya."
Mendengar namaku disebut membawaku kembali pada kenyataan beberapa menit kemudian.
"Apa?" Aku berpaling pada Doug, yang berbicara.
"Bukan begitu?" Dia mengulang.
"Apa?"
"Mengajak Seth berkeliling kota besok." Doug berbicara dengan sabar, seperti pada anak kecil. "Agar dia terbiasa dengan daerah ini".
"Adik laki-lakiku terlalu sibuk," menjelaskan.
Apa hubungan adiknya dengan ini? Dan kenapa dia perlu membiasakan diri dengan daerah ini?
Aku terdiam, tidak ingin mengakui kalau baru saja aku tidak mendengarkan sambil mengasihani diri sendiri.
"Aku..."
"Kalau kau tidak mau..." Kata Seth ragu.
"Tentu saja dia mau." Doug mengikut ku. "Ayolah keluar dari lubang mu."
Kami bertukar pandangan sok pintar, seperti Jerome dan Carter. "Yeah, baiklah. Terserah padamu."
Kami mengatur detail pertemuanku dengan Seth, dan aku bertanya-tanya apa yang sudah ku perbuat. aku tidak lagi ingin terlihat. Sejujurnya, Aku lebih suka kalau dia melupakanku dari pikirannya selamanya. pergi mengelilingi seattle besok tampaknya bukan cara terbaik untuk mewujudkan hal itu. Kalaupun ada, kemungkinan besar hal itu adalah perbuatan yang makin bodoh dari pihak ku.
Percakapan akhirnya usai. Begitu kami akan pergi, seketika aku menyadari sesuatu. "Oh. Hei. Mr, Mortensen, Seth."
Dia berbalik menghadapku. "Yeah?"
Jalan Bani Aku berusaha untuk mengatakan sesuatu yang bisa mengakhiri kecanggungan dan rasa malu diantara kami. Sayangnya, satu-satunya hal yang terpikir olehku adalah: dari mana kau mendapatkan idemu? Dan apakah ah Cady dan O'Neill akan pernah bersatu? Menjauhi kebodohan semacam itu, aku hanya menyodorkan buku padanya.
"Bisakah kau menandatangani ini?"
Dia mengambilnya. "Yg, tentu." Dia terdiam. "Aku akan mengembalikannya besok."
Memisahkanku dari buku malam ini? Belum cukupkah aku menderita?
"Tidak bisakah kau menandatanganinya sekarang?"
Dia mengedikkan bahu tidak berdaya, seolah-olah hal itu diluar kendalinya. "Aku tidak bisa memikirkan apapun untuk ditulis."
"Tulis aja namamu."
"Aku akan mengembalikannya besok," ulangnya, berjalan menjauh dengan buku The Glasgow Pact milikku seolah-olah aku tidak mengatakan apa-apa. Bingung, aku benar-benar berpikir untuk mengejar dan menyerangnya habis-habisan karena itu, Warren tiba-tiba menarik tanganku.
"Georgina," katanya dengan gembira saat aku menatap putus asa pada buku yang menjauh, "kita masih perlu mendiskusikan masalah itu di kantorku."
Tidak. Tidak akan. Aku jelas tidak melakukannya setelah bencana yang terjadi malam ini. Sambil membalikkan tubuhku perlahan ke arahnya, aku menggelengkan kepalaku. "Sudah kubilang, aku tidak bisa."
"Yeah, aku sudah tahu. Kencan fiktif."
"Itu tidak fiktif. Itu..."
mataku dengan putus asa mencari jalan keluar saat aku bicara. sementara tidak ada pintu ajaib yang muncul di bagian buku masakan, tiba-tiba aku bertatapan dengan seorang pria yang sedang melihat-lihat koleksi buku bahasa asing kami. Dia tersenyum penasaran melihat perhatianku, dan dalam sekejap, aku membuat pilihan nekat.
" ... dengannya. Aku berkencan dengannya."