"Jadi Duane benar-benar mati?" Tanyaku.
"Ya," kata Jerome, teringat aku masih ada disana.
"Begitulah."
"Siapa yang membunuhnya, kalau begitu? Setelah sekarang kita tahu bukan aku pelakunya?"
Keduanya saling berpandangan dan mengangkat bahu, tidak ada yang menjawab. Mereka benar-benar orang tua yang lalai. Carter mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakannya. Tuhan, aku benci saat mereka begini.
Akhirnya Jerome berkata, "Seorang pemburu vampir."
Aku memandangnya. "Sungguh? Seperti gadis yang ada di TV itu?"
"Tidak juga."
"Jadi kemana kau akan pergi malam ini?" tanya Carter riang.
"Ke acara tanda tangan seth mortensen. Dan jangan mengganti topik. Aku ingin tahu soal pemburu vampir ini."
"Apa kau akan tidur dengannya?"
"Aku... apa?" Selama beberapa saat, kupikir sang malaikat bertanya soal pemburu vampir. "Maksudmu Seth Mortense?"
Carter mengembuskan asap. "Tentu. Maksudku, kalau aku succubus yang terobsesi pada seseorang pengarang manusia, itu yang akan kulakukan. Selain itu, bukankah kaummu selalu menginginkan sedikit ketenaran?"
"Kami sudah mendapatkan banyak ketenaran," kata Jerome dengan suara rendah.
Tidur dengan seth mortensen? Ya, Tuhan. Itu adalah hal paling gila yang pernah kudengar. Itu mengerikan. Kalau aku menyerap kekuatan hidupnya, tidak bisa dipastikan kapan buku selanjutnya akan terbit.
"Tidak! tentu saja tidak."
"Lalu apa yang akan kau lakukan agar dia memperhatikanmu?"
"Memperhatikan?"
"Tentu. Maksudku, pria itu mungkin sudah melihat ribuan penggemar secara teratur. Apa kau tidak ingin sedikit tampil berbeda?"
Rasa kaget menyerangku. Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Haruskah? Sifat pemalaskulah yang membuatku kesulitan untuk mencari sedikit kesenangan akhir-akhir ini. Buku-buku set mortensen adalah salah satu pelarianku. Haruskah aku mengakui hal itu Dan berusaha berhubungan dengan sang pengarang novel? Pagi ini, aku sudah mengejek penggemarnya yang biasa. Apakah aku akan menjadi salah satu dari mereka?
"Yah...maksudku, paige mungkin akan memperkenalkan para staf secara pribadi padanya. Aku pasti akan kelihatan kalau begitu."
"Ya, tentu saja." Carter membuang rokoknya di bak cuci piring ku. "Aku yakin dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan pegawai toko buku."
Aku membuka mulutku untuk memprotes, tapi Jerome memotong kalimatku. "Cukup." Dia memandang Carter dengan pandangan penuh arti itu lagi. "Kita harus pergi."
"Aku... tunggu sebentar!" Carter sudah berhasil mengalahkanku dari topik yang sebenarnya. Tidak bisa kupercaya. "Aku ingin tahu lebih banyak soal pemburu vampir ini."
"Yang perlu kau tahu hanyalah kalau kau harus berhati-hati, Georgie. Sangat berhati-hati. Aku tidak main-main soal ini."
Aku menelan ludah, dengan kekerasan dalam suara sang iblis. "Tapi aku bukan vampir."
"Aku tidak peduli. Pemburu macam ini terkadang mengikuti vampir ke mana pun, berharap menemukan yang lain. Kau bisa saja terlibat karena pergaulan. Tetaplah merendahkan. Jangan sampai sendirian. Tetaplah bersama yang lain... manusia atau makhluk abadi, itu tidak penting. Mungkin kau bisa melanjutkan bantuanmu pada Hugh dan mengumpulkan lebih banyak jiwa untuk kami sementara melakukannya."
Aku memutar bola mataku mendengarnya saat keduanya berjalan ke pintu.
"Aku bersungguh-sungguh. Hati-hati. Tetaplah merendah. Jangan ikut campur dalam masalah ini."
"Dan," tambah Carter dengan kedipan mata, " Sampaikan salamku pada seth mortensen."
Kemudian, keduanya pergi, menutup pintu dengan pelan di belakangnya. Sebuah kesopanan saja karena keduanya bisa saja berteleportasi keluar. Atau meledakkan pintuku sampai hancur berkeping-keping.
Aku berpaling pada atau Aubrey. Dia menyaksikan seluruh hal tadi dari balik sofaku, ekornya berkedut.
"Yah," kataku padanya, merasa pusing. "Apa yang harus ku simpulkan dari pembicaraan tadi?"
Duane yang benar-benar mati? Maksudku, yeah, dia memang badjingan dan aku berdosa saat tadi malam, tapi aku sebenarnya tidak ingin dia benar-benar mati. Dan bagaimana soal pemburu vampir ini? kenapa aku harus berhati-hati saat...
"Sialan!"
Aku baru saja melirik jam microwaveku. Jam itu dengan tenang memberitahuku kalau aku perlu kembali ke toko buku segera. Mengeluarkan Duane dari otakku, aku berlari ke kamar tidurku dan menatap diriku di cermin. Aubrey mengikuti dengan malas.
Apa yang harus ku kenakan? Aku bisa saja memakai pakaianku yang sekarang. Kombinasi sweater dan celana khaki tampak terhormat dan pasif, meski warnanya terlalu bercampur dengan rambutku yang berwarna coklat terang. Tipe pakaian seorang pustakawan. Apakah aku ingin terlihat pasif? Mungkin. Seperti yang kukatakan pada Carter, aku tidak terlalu ingin melakukan sesuatu yang mungkin mendapatkan ketertarikan romantis dari pengarang favoritku di seluruh dunia.
Tetap saja...
Tetap saja, aku ingat apa yang dikatakan sang malaikat soal diperhatikan. Aku tidak ingin menjadi wajah lain dalam kerumunan set mortensen. Ini adalah pemberhentian terakhir dalam turnya kali ini. Tidak diragukan lagi bahwa dia telah melihat ribuan penggemar selama sebulan terakhir ini, penggemar yang semuanya tampak samar dalam kerumunan wajah-wajah, sambil mengeluarkan mengeluarkan komentar yang bodoh. Aku sudah memberi saran pada pria di konter agar lebih inovatif dalam pertanyaannya, dan aku bermaksud melakukan hal yang sama pada penampilanku.
Lima menit kemudian, aku berdiri di cermin sekali lagi, kali ini sudah berpakaian dengan tanktop sutra berwarna ungu tua dan berpotongan rendah, dipadu dengan rok sifon motif bunga. Rok itu hampir menutupi pahaku dan berayun saat aku berputar. Cocok sebaagai pakaian untuk berdansa.Memakai sepatu tinggi bertaliku yang berwarna coklat, aku melihat Aubrey untuk meminta persetujuannya.
"Bagaiman menurutmu? Terlalu seksi?"
Dia mulai membersihkan ekornya.
"Memang seksi," kuakui, "tapi ini seksi yang anggun. Tatanan rambutnya membantu, menurutku."
Aku menggelung rambut ku yang panjang menjadi sebuah sanggul mini yang romantis, membiarkan rambut ikal membingkai wajahku dan memperjelas mataku. Mengubahnya sementara agar terlihat lebih hijau daripada biasanya. Berubah pikiran, aku membiarkannya tetap berwarna hazel dengan sedikit kilasan emas dan hijau.
Saat Aubrey tetap menolak mengakui berapa luar biasanya penampilanku, aku menyambar mantel kulit ular ku dan menatapnya tajam. "Aku tidak peduli pada pendapatmu. Pakaian ini pertanda baik."