Chapter 20 - Bab 20

Erick segera muncul saat perawat yang ia tugaskan menghubungi dirinya kalau Soully sudah sadar. Dengan segera ia memutar kemudi mobilnya yang tadinya hendak menuju ke rumah sakit. Dengan cepat ia melajukan mobilnya secepat berteleportasi hingga ia sampai dengan cepat.

Erick berlari menghampiri Soully yang hendak membangkitkan badannya untuk duduk. Dengan cepat ia menopangkan bantal di belakang tubuh Soully agar menahan punggungnya.

"Kak Erick...?" ucap Soully heran.

"Kau baik-baik saja? Apa kepalamu sakit? Atau badanmu ada yang tidak enak?" tanya Erick menyerbu Soully dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya cemas.

"Aku baik-baik saja..." Soully menenangkan Erick dengan senyuman yang masih pucat di wajahnya. Menggenggam hangat tangannya. Erick menangkup tangan mungil Soully, mengelusnya pelan.

"Lalu...kenapa kau berkeringat sangat banyak, hm? Apa ruangan ini terasa panas?" tanya Erick yang perhatian lalu mengusap peluh yang ada di pelipis serta dahi Soully. Erick memperhatikan cahaya yang Yafizan buat sudah menghilang saat Soully bangun tadi.

"Aku...tadi hanya kaget saja. Mimpiku sangat aneh," ucap Soully ragu.

"Mimpi? Kau mimpi apa?"

"Emmh...itu...entahlah, itu sangat aneh dan membuatku kaget. Mimpi itu jadi susah diingat ketika aku bangun tadi. Dan...aww." Soully memegang kepalanya.

"Sudah, jangan paksakan dirimu untuk mengingatnya," cemas Erick lalu memeluk Soully yang merasa kesakitan di  kepalanya.

Erick menemani Soully. Sesekali Rona menghubunginya untuk menanyakan keadaannya. Raut kelegaan terpancar dari wajahnya, namun ia tak segera memberitahu Yafizan kalau Soully sudah tersadar.

***

Waktu menunjukkan pukul 11.00 tepat. Saatnya acara konferensi pers dimulai. Pintu aula terbuka, Yafizan dengan tegap berjalan ke atas mimbar yang sudah disediakan.

Para wartawan sudah memulai berbagai pertanyaan. Acara itu di konsep secara live, sehingga hal apapun yang dinyatakan nanti dalam acara itu tidak bisa di sensor atau di edit dalam penayangannya. Maka dengan sikap tegas dan profesional dia menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan jawaban singkat yang masih bisa ia lontarkan kepada para wartawan.

.

.

.

Soully meraih remot televisi yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya. Ia mulai merasa bosan, ia memilih menonton televisi untuk menghiburnya sejenak.

Acara televisi seketika membuat matanya membulat. Dia melihat Yafizan di sana, dengan tenang menjawab semua pertanyaan demi pertanyaan. Dia merasa kagum saat melihat sosok tampan yang kini jadi suaminya itu, sesekali tersenyum sendiri penuh khayal. Namun hati Soully terasa pedih ketika Yafizan menjawab hubungannya seputar Tamara, seperti di sengaja para wartawan menghujani pertanyaan awal mengenai hal itu.

Soully memutar saluran lain, yang tadinya hanya untuk menghindari mendengar pernyataan itu. Namun semua saluran acara televisi saat itu semuanya menayangkan konferensi pers secara eksklusif dan live yang dibawakan oleh Yafizan.

"Pertanyaan berikutnya, apa hubungan Anda dengan perempuan yang terlihat hampir meninggal di depan gerbang mansion Anda? Apa memang benar yang diberitakan orang-orang bahwa Anda orang yang tega dan berhati dingin tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar Anda?" salah satu wartawan mulai membuka pertanyaan seputar kejadian kemarin. Semuanya penasaran dan memulai pertanyaan yang sama.

Dengan penuh pertanyaan dan penasaran Soully memanggil perawat yang menjaganya. Perawat itu segera datang disusul dengan Erick sambil membawakan nampan berisi piring makanan dan segelas air untuk Soully.

Erick membelalakan matanya segera saat ia melihat televisi menyala, terpampang dengan jelas menayangkan acara eksklusif itu. Dia memandangi perawat itu dengan ekspresi kesal karena sebelumnya sudah ia peringati agar tak ada satupun media yang bisa Soully lihat kejadian saat ini.

"Apa yang sedang terjadi?" tanya Soully penasaran. "Suster, bolehkah aku meminjam ponselmu?"

Suster itu ketakutan. "Saya...emmh..." diliriknya Erick dengan ragu.

"Kak Erick jangan membuatnya takut. Ini bukan salahnya. Suster, tolong pinjamkan aku ponselmu atau aku pinjam ponselmu, Kak Erick," tegas Soully sudah menengadahkan tangannya kepada Erick.

Erick pun mau tak mau mengulurkan tangannya, memberikan ponsel yang Soully pinjam. Dengan cepat Soully menjelajah ke dunia internet, ekspresinya berubah seketika, jari-jarinya terus menyentuhkan layar ponsel yang kini digenggamnya erat, menelisik setiap hal, setiap kata demi kata yang di beritakan di dalamnya.

"Tidak...ini tidak benar..." Soully menggelengkan kepalanya. Segera ia menyingkapkan selimutnya, mencoba melepas infusnya.

"Apa yang kau lakukan? Jangan seperti ini!" setengah berteriak Erick menahan Soully.

"Kak Erick aku harus segera ke sana. Ini tidak seperti yang dibicarakan orang-orang, kejadiannya tidak seperti itu..." Soully mulai panik. "Tolong...aku harus segera ke sana..." mohon Soully dan Erick pun pasrah ia mengangguk setuju. Dia menyuruh suster itu untuk pergi keluar.

"Soully, dengarkan aku. Apapun yang terjadi, dan apapun yang kau lihat dan yang kau rasakan, maka anggap saja itu sebuah delusi yang kau alami pasca bangun dari pingsanmu. Sekarang pejamkan matamu." Erick memejamkan matanya mengajak Soully dengan berteleportasi. Dengan sekejap mata mereka sampai di gedung aula tempat Yafizan melakukan konferensi pers.

***

"Tuan Yafi tolong jawab pertanyaan kami, siapa perempuan yang ada di depan mansion Anda waktu itu?"

Yafizan masih terdiam, terlebih kini ada Tamara duduk tepat di depannya. Tamara menatap Yafizan tajam, seolah dirinya ingin mengungkapkan bahwa tidak hubungan apapun dengan Soully. Kini para awak media masih menunggu jawaban pasti keluar dari mulutnya.

Soully tiba tepat di depan pintu aula acara itu berlangsung. Erick menggenggam tangan Soully erat dengan cemas. Soully menopangkan tangan satunya ke tangan Erick yang masih memegang tangannya erat.

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja." Soully tersenyum menenangkan lalu melepaskan genggaman tangannya.

Pandangan Yafizan tertuju langsung kearahnya. Wajah yang masih pucat dan tubuh yang masih lemah itu berjalan perlahan memasuki aula menuju mimbar.

"Soully..." panggilnya pelan yang langsung membuat para reporter dan wartawan itu tertuju pada perempuan yang sedari tadi ditanyakan.

Cahaya kamera mulai menerangi ruangan aula. Tamara melihat Soully dengan penuh kebencian.

***

Seseorang terlihat gemetar saat melihat Soully berjalan menuju mimbar. Pria yang sejak tadi mengikuti acara itu berlangsung, duduk disudut paling belakang bersembunyi di antara para reporter. Matanya terus terfokus pada sosok mungil yang sedang berjalan dengan lemah, matanya mulai berkaca-kaca. Mayra...

.

.

.

Soully menutup wajahnya menghindari serangan jepretan kamera yang menyilaukan dirinya. Yafizan segera menghampiri lalu melindunginya, membantu memapah dirinya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Yafizan pelan.

"Membantumu," jawab Soully singkat.

Soully dan Yafizan berdiri di atas mimbar. Suasana sesaat tenang. Lalu seseorang yang duduk dikursi wartawan tiba-tiba menyahut.

"Apakah dia perempuan yang hampir mati itu?" tanyanya dengan nada ketus dan sedikit menyinggung.

"Siapa sebenarnya perempuan itu?"

"Tolong jawab Tuan Yafizan."

Yafizan terlihat bingung, bukan karena ia tak ingin mengakui identitas sebenarnya tentang Soully yang adalah istrinya, tapi karena ia masih menghargai Tamara untuk tidak dipermalukan dan dianggap sebagai orang ketiga dalam hubungan mereka.  Terlebih jawaban demi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan di awal acara. Bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Sesaat hatinya bimbang.

Suasana menjadi hening, lalu seseorang menyahut dengan lantang. "Apa anda takut mengakui tentang kebenaran mengenai siapa sebenarnya perempuan yang kini di sampingmu itu? Oh, jangan-jangan anda adalah seorang laki-laki yang tak bertanggung jawab lalu tanpa ampun bahkan tega membuang seseorang yang menurut anda pantas dibuang setelahnya?" tanya seseorang di sudut ruangan itu.

Yafizan terlihat geram, ia mengepal tangannya erat. Soully memandang ekspresi Yafizan yang menahan amarahnya. Cahaya jingga muncul di telapak tangannya. Seakan siap menyerang orang yang melontarkan pertanyaan dengan nada sembrono.

Segera Soully meraih tangan Yafizan menggenggamnya dengan erat. Sentuhan dingin nan sejuk lagi-lagi meresapi dalam dirinya lewat genggaman tangan Soully. Cahaya kebiruan berkabut putih terlihat jelas oleh kedua matanya. Dipandangnya wajah Soully, dan Soully hanya menggeleng. Seakan berkata 'Biarkan saja,tenanglah'. Segera Soully meraih microphone yang ada di atas mimbar.

"Hai, saya, Soully Angel..." ucapnya memulai buka suara. Seketika suasana menjadi hening kembali. Orang yang duduk di sudut ruangan itu tampak tertegun saat mendengar suara Soully dan menyebut namanya. Ada getaran yang tak bisa ia jelaskan dalam hatinya, seperti rasa kerinduan yang sudah terbendung lama sekaligus rasa penyesalan.

"Mohon maaf atas kejadian kemarin yang sudah membuat heboh semua orang. Sungguh kejadian kemarin bukan karena hal yang di sengaja. Dan ini bukan salah..." Soully berfikir sejenak, entah apa yang harus ia sebutkan dalam memanggil Yafizan. "Bukan salah...kak Yafi..." Soully berucap canggung. Panggilan 'Kak Yafi' membuat Yafizan tertegun. Ada getiran rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Ini pertama kali Soully memanggil namanya, ditambah ada slogan 'Kakak' yang ia tautkan sebelum namanya.

"Kak Yafi? Apa hubungan anda dengan tuan Yafi?" tanya salah satu wartawan.

"Dia...dia..." Soully melirik Yafizan ragu, apakah dia harus jujur atau mencari alasan baru.

Wartawan mulai mendesak pertanyaan demi pertanyaan memaksa Soully dan Yafizan berkata jujur. Yafizan mulai tergerak hatinya dan ingin mengungkapkan identitas serta status yang mereka miliki. Dengan bangga ia ingin mengumumkan kalau perempuan yang ada di sebelahnya itu adalah istrinya.

"Dia asisten pribadiku," sahut Tamara tiba-tiba saat melihat Yafizan ingin mengungkapkan kebenaran. "Maksudku dia asisten pribadi kami. Orang yang membantu segala urusanku dan Yafi," ucap Tamara gugup.

"Ya, saya asistennya," sahut Soully membenarkan dengan berat hati.

"Lalu, kenapa anda terlihat seperti orang yang hendak meninggal? Apa Tuan Yafi dan Nona Tamara menyakiti anda?"

"Tidak tidak...itu salah paham. Semua murni kesalahan saya. Majikan..." Soully manghentikan ucapannya karena kata majikan itu membuatnya terasa ada beban berat yang harus ia pikul. "Majikan saya sudah memberitahu dengan jelas bahwa saya seharusnya berjaga-jaga di dalam rumah saja. Majikan saya pergi keluar kota dan saya seharusnya dengar kata-kata mereka...saya dengan ceroboh pergi meninggalkan rumah lalu berjalan-jalan di sekitar taman. Dan yang lebih bodohnya lagi, saya...lupa kode pin untuk membuka kunci..." Soully menjelaskan. "Saat itu saya tidak membawa ponsel dan pada akhirnya ketiduran di luar..." sambungnya.

Sekelebat ingatan tentang kejadian bersama Tamara menghinggapi memori Yafizan. Matanya memerah menahan rasa panas dan airmata yang hampir keluar membasahi matanya. Dia membayangkan bagaimana hujan lebat dengan buliran es serta angin topan menyerang tubuh Soully yang rentan.

"Mohon maaf karena semua sudah jelas, acara kami tutup." Tamara mengakhiri walapun para awak media masih bersikeras dan penasaran akan apa yang terjadi antara hubungan mereka.

Para reporter dan wartawan mulai pergi berhamburan dari ruang aula

Seorang pria masih terduduk di sudut ruangan. Dia masih menatap Soully dengan penuh kerinduan. Ingin rasanya ia pun lebih dekat dengan Soully.

Matanya sekejap bersinar saat ia melihat Soully. Dia hendak bertanya lalu menghampiri Soully.

Erick masuk kedalam aula dengan sikap tak sabar. Ia segera meraih tangan Soully yang masih lemah.

"Apa yang kau lakukan?! Lagi-lagi kau!..." Yafizan dengan marah saat melihat tindakan Erick

"Sudah cukup, Soully ayo kita pulang. Kau masih sakit, jangan sia-siakan lagi tenagamu hanya untuk hal yang tak berguna seperti ini," ucap Erick sudah meraih tangan Soully untuk mengajaknya pergi.

Seketika Yafizan menggelap, ia mengepalkan tangannya lalu menghantam tepat ke wajah Erick. Lalu diraihnya tangan Soully dan menariknya pergi.

Pria yang hendak menghampiri Soully itu menyeringai dan menghentikan langkahnya saat melihat kejadian yang tak terduga. Matanya melihat Soully tajam saat Yafizan menariknya keluar aula dan melewatinya.

***

Bersambung...

Biasakan Like, Comment dan juga Vote setelah baca yaa...

Terimakasih 🙏🏻