Soully membuka matanya ketika lagi-lagi mimpi itu menghampiri alam bawah sadarnya. Mimpi dirinya yang terus memanggil 'Paman' pada seseorang yang ditolongnya. Ditatapnya langit-langit di mana ia berbaring sekarang.
"Di mana aku?" benaknya sambil ditengoknya kanan kiri, ia merasa asing karena tempat ini baru dikenalnya.
Erick membuka pintu kamarnya. Dilihatnya dengan kaget dan penuh cemas saat melihat Soully sudah sadarkan diri. Ia lalu meletakkan piring makanan dan segelas air minum di atas nakas samping tempat tidurnya.
"Apa kau merasa baikan? Mana yang sakit?" tanya Erick cemas.
"Kak Erick, apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?" tanya Soully lemah dan berusaha mengingat yang terjadi sebelumnya.
"Oh ya, bagaimana dengan..." ujar Soully lagi bertanya ketika ia mulai mengingat kejadian sebelumnya. Pertanyaan yang tak diteruskannya karena ia bingung harus memanggil lelaki yang jadi suaminya dengan sebutan apa, karena biasanya ia memanggilnya dengan sebutan 'Tuan Mesum' ataupun 'Mr.Arogant'.
"Sudahlah, kau tak usah memikirkan dia lagi!" Erick sedikit bernada keras. "Lebih baik kau fikirkan dirimu sendiri," sambungnya lalu beranjak berdiri karena kesal.
"Kenapa memangnya? Kenapa Kak Erick bersikap seperti ini? Ini bukan Kak Erick yang aku kenal," sahut Soully yang tak percaya pria dihadapannya kini terasa asing.
Erick yang biasanya bersikap hangat dan menenangkan kini seperti di luar kendali, sikapnya tak jauh berbeda dengan Yafizan yang notabene memang emosian.
Erick menghela nafas dalam, ia tersadar sikapnya kini bisa membuat Soully ketakutan.
"Maaf..aku tak bermaksud seperti itu," ucapnya lirih lalu dipandangnya kearah Soully yang sudah memasang aura ketakutan padanya.
"Tidak tidak...Soully, aku mohon jangan memasang ekspresi seperti itu padaku. Maaf karena membuatmu takut. Tapi percayalah aku bukan seseorang yang kau fikirkan saat ini," ucap Erick lagi tengah menghampiri Soully yang mulai ketakutan padanya. Erick mengcengkram bahu Soully erat. Mencoba meyakinkan Soully kalau dugaannya salah besar.
"Kak Erick...aku sudah baikan sekarang. Kurasa aku harus pulang. Tuan me..." lagi-lagi Soully tak meneruskan kalimatnya mengingat ia tak seharusnya memanggil Yafizan dengan sebutan Tuan Mesum. "Maksudku suamiku bisa-bisa melakukan sesuatu yang buruk terhadapmu dan aku tak mau jika itu terjadi," imbuh Soully beralasan karena tahu bagaimana sifat Yafizan.
Erick tak berkata apapun lagi. Sesaat keheningan melingkupi ruang mereka saat ini.
"Aku akan mengurus dokumen perceraianmu dengan lelaki brengsek itu," ucap Erick tiba-tiba sontak membuat mata Soully membulat penuh.
"Apa maksudmu?" tanya Soully tak percaya.
"Ya, kau akan segera terbebas dari kesengsaraanmu. Kau harus kembali ceria seperti ketika pertama kali kau membukakan mata cantikmu itu. Penuh binar dan kebahagiaan menghiasi wajahmu," terang Erick.
"Terimakasih Kak Erick sudah sangat memperhatikanku. Terimakasih karena hanya Kakak yang selalu mendukung dan berada didekatku. Tapi entah bagaimanapun juga aku tak ingin pernikahanku retak tak jelas hanya karena kami sering berselisih paham apalagi aku baru menikah dengannya, aku masih menyesuaikan diriku sendiri," jelas Soully dan Erick hanya terdiam.
"Kenapa? Kenapa kau mau menikah dengannya sedangkan kau menolakku yang jelas-jelas pertama kali melamarmu dan bahkan menjagamu selama ini? Kenapa kau bisa menerima dan menikah dengan lelaki itu padahal kau baru bertemu dengannya?" tanya Erick membuat Soully tak bisa berkata apapun juga.
Bukannya merasa pamrih atas perlakuannya selama ini, hanya saja ini merasa tidak adil bagi Erick.
Drttt...drrttt...
Ponsel Erick bergetar. Membuat Soully lega karena ia tak harus menjawab pertanyaan Erick sementara ini. Di layar ponselnya tertuliskan nama Rona. Erick memandang layar ponselnya lama dan tak mengangkatnya. Soully hanya menatap tajam dan penasaran siapa yang menghubungi Erick. Seolah mengerti Erick hanya mengisyaratkan bahwa ini tak penting.
Drrttt...drrttt...
Sekali lagi ponselnya bergetar dan lagi-lagi nama Rona yang muncul. Erick sengaja tak ingin mengangkatnya lagi. Namun karena penasaran akhirnya dia memutuskan menjawabnya dan meninggalkan Soully sendirian.
"Ya, ada apa?" tanya Erick.
"Tuan Erick, ini saya Rona. Bagaimana keadaan Soully?" jawab Rona yang dibalas dengan pertanyaan lagi.
"Dia baik-baik saja. Hanya itu yang ingin kau ketahui? Kalau begitu kita sudahi pembicaraan ini, aku harus mengurus Soully karena kurasa dia akan tenang bersamaku," jawab Erick yang dengan malas ingin segera mengakhirinya.
"Tunggu. Tunggu sebentar Tuan Erick. Jika Soully sudah sadar, bisakah kau berikan ponselmu padanya? Aku ingin membicarakan hal yang sangat penting dengannya. Hanya lima menit. Setelahnya aku janji tak akan menggangumu lagi," seru Rona memohon.
Erick terdiam sejenak lalu dengan setengah hati memberikan ponselnya kepada Soully yang berada dalam kamarnya. Dengan isyarat Soully bertanya 'siapa?' namun Erick tak bicara, ia hanya mengulurkan ponselnya kearahnya untuk segera diraih. Soully mengambil ponsel Erick lalu menyahut seseorang yang ada di ponsel tersebut.
"Ha-hallo..." sapa Soully.
"Soully, ini aku Rona," sahut Rona lega.
"Oh, Kak Rona, ada apa?" tanya Soully.
"Soully, Bos Yafi dia...dia..." ucap Rona bergetar.
"Kenapa dengan dia?" tanya Soully cemas.
"Bos Yafi pingsan lagi dan dia baru sadar. Namun dia tak bisa mengontrol emosinya. Kurasa hanya kau yang bisa meredakannya. Kumohon, tolonglah Soully, segeralah pulang..." pinta Rona berharap Soully akan luluh.
"Aku...aku tak tahu, Kak..." ucap Soully ragu. Ia canggung karena sedari tadi Erick menatap Soully dengan tajam.
"Kumohon Soully..." iba Rona memelas berharap Soully setuju untuk pulang. Soully tak menjawabnya.
Tuuuttttt...nada telepon yang terputus. Soully mematikan ponselnya dengan sengaja. Dia bingung harus bagaimana. Disisi lain, ia tak enak pada Erick yang selalu membantunya, disisi lain pun ia memang ingin pulang lalu menemui Yafizan terlebih karena Rona terdengar memang ada sesuatu yang terjadi pada suaminya itu. Soully teringat bagaimana terakhir kali ia melihat Yafizan begitu kesakitan.
Soully memberikan ponselnya pada Erick. Dia langsung menunduk takut Erick menginterogasinya. Tanpa bicara lagi Erick segera mengambil piring makanan lalu menyuapi Soully, menyodorkan sendok berisi makanan penuh kearah Soully. Soully menatapnya dengan ragu-ragu membuka mulutnya lalu menyantap makanannya.
Mata Soully langsung berbinar cerah karena rasa nikmat makanan yang berbaur dalam mulutnya itu terasa sungguh menyenangkan indera perasanya. Dikunyahnya cepat-cepat seolah ia tak ingin kosong dalam mulutnya. Dengan begitu telaten Erick menyuapi Soully, menatap kearah wajah perempuan yang memang disayanginya sejak dulu. Suasana saat itu menjadi hangat, terlihat Erick kini menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya karena melihat ekspresi Soully makan dengan lahap. Hatinya merasa tenang, keegoisannya membuat ia ingin moment itu selalu ada, dia tak ingin melepas Soully lagi.
Erick memberikan minum setelah Soully selesai menghabiskan makanannya dengan lahap.
"Ini sudah malam. Beristirahatlah. Besok badanmu akan segar kembali," perintah Erick lalu pergi meninggalkan Soully sambil membawa piring dan gelas kosong bekas Soully makan. Tanpa berkutik lagi Soully hanya menuruti Erick.
***
Drrttt...drrttt...
Ponsel Yafizan bergetar cukup lama. Bukan karena panggilan, tapi serentetan pesan masuk membuat ponselnya bergetar terus.
Siapa yang memberikan pesan begitu banyak? Hampir terdengar seperti telepon masuk saja.
Diambilnya segera ponsel yang bergetar di atas nakas samping tempat tidurnya. Terpampang jelas pada layar ponselnya nama Naomi mengirimkan 36 pesan, 1 kata-kata dan 35 foto. Dibukanya perlahan pesan pertama yang ia lihat dan baca.
'Show Time!!! Aku akan segera mengirim bingkainya yang asli segera, sementara kau bisa lihat bagaimana hasil karyaku. Oh, sungguh aku sangat iri, pengantinmu sangat cantik, bahkan terlalu cantik dan kalian memang pasangan paling serasi. Semoga selalu berbahagia...'
Di-scroll-nya ke bawah dan ia mendownload keseluruhan foto yang dikirim Naomi. Tangannya bergetar ketika ia dengan jelas melihat satu persatu foto yang sudah jelas terbuka itu. Matanya tak berhenti memandang layar ponselnya itu bahkan berkali-kali ia memutar balikkan foto hanya untuk dilihatnya berulang-ulang.
Matanya berkaca-kaca, seolah tak percaya ia memang menikahi Soully waktu itu. Naomi benar, pengantinnya begitu cantik dalam balutan dress putih yang membuatnya begitu bersinar.
Sangat cantik...
Hasil karya Naomi memang patut diacungi jempol karena foto-foto yang dia kirim terlihat natural seolah mereka pasangan yang paling romantis dan harmonis. Padahal yang terjadi saat itu adalah debatan-debatan kecil yang terjadi di antara mereka.
Yafizan menyunggingkan senyuman tipis ketika mengingat kejadian itu. Lalu ia menatap dengan lekat foto itu ketika ia mengangkat tubuh mungil Soully lalu menciumnya yang terlihat natural seakan mereka adalah pasangan penuh cinta. Seluruh adegan dalam foto-foto tersebut membuat Yafizan melupakan baranya sejenak.
Tamara yang sedaritadi ada di dalam kamar Yafizan terus memperhatikan ekspresi wajah pria yang tak ingin ia lepaskan itu. Dengan kesal ia menghampiri dan merebut ponsel yang ada di tangan Yafizan karena ia penasaran hal apa yang membuat pria keras kepala ini menjadi lunak.
Dilihatnya baik-baik gambar yang terpampang jelas di layar ponsel yang ia rebut paksa itu. Matanya membulat seakan ingin keluar, lalu tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu.
Demi apapun Tamara tak percaya lelaki yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya bisa melakukan hal yang romantis seperti yang ia lakukan dalam foto tersebut. Tamara sungguh iri, karena selama berhubungan dengannya tak pernah sekalipun Yafizan melakukan hal itu padanya. Ia menyesal seharusnya dia yang ada dalam moment indah dan bersejarah tersebut. Andai saja ia tak meninggalkan Yafizan dulu mungkin ia sudah berbahagia menjadi Nyonya Yafizan Aldric yang dikenal orang-orang di seluruh dunia.
Yafizan meraih ponselnya kembali dan Tamara tak bergeming karena setelah melihat foto-foto mesra tersebut seolah tak punya kekuatan untuk menggengam erat ponsel yang ada di tangannya.
"Apa...jika aku yang menjadi pengantinmu saat itu. Apakah kau akan melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan padanya?" tanya Tamara lirih karena hatinya kini terlalu ingin menjerit kesakitan karena iri.
Yafizan terdiam. Ia sadar karena dulu memang ia sangat memuja Tamara dan tak ingin pisah darinya. Bagai orang gila ia menerima segala macam bentuk tawaran acara talkshow hanya sekedar untuk mencari Tamara di seluruh penjuru dunia agar Tamara keluar dari tempat persembunyiannya.
***
Bersambung...
Jangan Lupa tekan Like ❤ & VOTE setelah baca
Comment kalian juga dinanti niihh
Terimakasih 🙏🏻