Soully mulai membuka matanya saat nafas hangat serta irama dada seseorang beraturan naik turun melingkupi wajahnya. Tangan seseorang mendekap tubuhnya erat. Dilihatnya dengan kaget lelaki yang kemarin melancarkan aksinya secara paksa. Kejadian itu mendera seluruh ingatannya yang secara refleks membuat tubuhnya melepas dan menghindar dari dekapan lengan-lengan yang kekar itu. Soully menjauh segera ke tepi tempat tidurnya, menutup segera tubuhnya dengan selimut.
Yafizan seketika membuka matanya saat ia merasakan lengannya tergerak karena Soully melepas diri dari dekapannya. Malam itu, Yafizan ketiduran dan tanpa sadar naluri bawah sadarnya membawa tubuhnya ingin mendekap erat tubuh mungil Soully mendekat kearahnya.
Ekspresi Soully menunjukkan aura ketakutan yang luar biasa. Dia menundukkan kepalanya lalu menenggelamkan wajahnya dibalik dekapan selimutnya. Yafizan menghampirinya, didekapnya segera tubuh Soully yang gemetar ketakutan saat Yafizan bangun dan menatapnya.
"Jangan...tolong...jangan..." Soully memohon gemetaran dengan bersembunyi dibalik selimutnya.
"Tenanglah...kumohon tenanglah...aku tidak akan melakukan apapun padamu..." ucap Yafizan memeluk Soully.
Lalu disingkirkannya segera selimut yang menutupi tubuh Soully, Soully semakin ketakutan. Ia tak tahu harus bersembunyi ke mana lagi, Soully memalingkan wajahnya tak mau menatap Yafizan. Segera Yafizan memeluk Soully erat, meskipun Soully memberontak karena ketakutannya.
"Tenanglah, kubilang tenanglah! Maafkan aku, kemarin aku hilang kendali..." ucapan Yafizan menghentikan pemberontakan Soully. Seolah tak percaya lelaki yang memeluknya kini meminta maaf padanya.
Soully mulai tenang, perasaannya campur aduk saat itu. Ada kekalutan rasa dalam hatinya. Soully menghela nafas dalam, melepaskan lengan-lengan yang memeluknya erat. Tanpa sepatah katapun Soully beranjak dari tempat tidurnya lalu masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Yafizan yang hanya memandangnya cemas.
Soully menatap dirinya di cermin, buliran bening dari sudut-sudut matanya keluar begitu saja tanpa permisi. Dilihatnya luka memar yang kini sudah membiru keunguan yang ada di tubuhnya.
Tidak apa-apa, tidak apa-apa...
***
Di meja makan mereka sarapan seperti biasa, suasana terasa hening saat itu. Rona melirik kearah pasangan suami istri yang sedaritadi tak mengucapkan sepatah katapun.
"Apa mereka baik-baik saja?" gumam Rona dalam hati.
"Kami baik-baik saja," sahut Yafizan menjawab pertanyaan yang ada di benak Rona. Rona tercengang tak mengira Yafizan bisa mendengar suara hatinya. Sementara Soully hanya terus menikmati makanannya tanpa peduli dan mengerti apa yang sedang terjadi.
"Soully, apa tubuhmu..." Rona ragu untuk bertanya tentang keadaan Soully.
"Aku baik-baik saja, obat yang diberikan Kak Erick cukup bisa mengurangi rasa sakit yang ada di tubuhku," jawab Soully datar seolah ia tahu apa yang hendak Rona tanyakan. "Apa kalian tidak pergi ke kantor?" imbuhnya.
"Ini hari libur, apa kau lupa?" sahut Yafizan.
Soully menekuk wajahnya merasa malu, ia lupa kalau hari ini adalah akhir pekan. "Maaf aku lupa..."
Yafizan dan Rona saling pandang, mereka melupakan apa yang di amanatkan Erick. Kondisi Soully pasca bangun dari komanya memang tak bisa dipungkiri lagi kalau mereka harus memaklumi keadaan Soully sekarang.
"Apa kau mau melakukan sesuatu, Soully?" tanya Rona memecah suasana saat itu.
"Tidak, sebaiknya aku di rumah daripada menyebabkan masalah baru untuk kalian, lagipula aku harus memulihkan tubuhku kembali, aku hanya ingin istirahat," jawab Soully membuat suasana menjadi lebih canggung.
Yafizan masih merasa tak enak akan perlakuannya kemarin. Soully beranjak dari tempat duduknya, ia sudah menyelesaikan sarapannya. Lalu pergi meninggalkan dua lelaki yang masih merasa canggung menghadapinya.
.
.
.
"Bos, apa keahlianmu bisa mendengar suara hati sudah kembali? Bagus sekali, kalian melakukan 'itu' sekali dan kau langsung bisa mendengar suara hati, apalagi kalau kalian...(tangan Rona saling bertemu) hehehe..." ujar Rona girang.
"Sebenarnya...aku bisa mendengarnya lagi sebelum aku menikahinya," ucap Yafizan.
"Benarkah? Kapan tepatnya itu? Jadi...apa karena itu kau bertekad menikahinya?" tanya Rona semakin penasaran.
"Ya, tapi lebih tepatnya lagi aku memang sengaja menikahinya hanya untuk membuat Tamara keluar dari tempat persembunyiannya," jawab Yafizan mengelak.
"Kau sungguh-sungguh ingin Tamara kembali padamu? Dan apa rencanamu meninggalkan Soully setelah Tamara kembali, akan tetap dilakukan?" tanya Rona yang semakin penasaran.
Yafizan terdiam sejenak. "Mungkin ya, mungkin juga tidak."
"Kau akan terkena hukuman yang teramat pedih jika kau melakukannya. Kau tentu tahu resiko apa yang akan kita ambil jika kita menyakiti seorang manusia apalagi orang itu sudah terikat dengan kita. Kalau sampai kau menyakiti istrimu maka perlahan dia akan benar-benar meninggalkanmu, karena sedikit saja rasa sakit yang kau tanamkan terhadapnya, maka rasa sakit itu akan terus berakar dalam. Seharusnya kejadian hujan badai kemarin itu cukup menegurmu, apa kau tidak kasihan atau khawatir akan istrimu itu? Dia begitu karena kesalahanmu dan entah apa yang sudah terjadi malam itu karena istrimulah yang akan menanggung dosa-dosamu," tutur Rona mengingatkan hukum takdir alam mereka jika melanggarnya.
"Bahkan aku tidak yakin, apa hukumanmu akan segera berakhir atau selamanya kau malah akan terjebak di bumi ini." Rona pergi meninggalkan meja makan. Yafizan masih terdiam memikirkan kata-kata yang Rona ucapkan.
***
Soully duduk di sofa santai di luar balkon atas mansion itu. Dia menikmati pemandangan sekitarnya. Sambil terduduk dia mengambil kotak merah muda yang berisi obat-obatan yang akan diminumnya setelah ia selesai sarapan tadi. Ia hendak mengoleskan salep bening pada lengannya yang memar akibat cengkraman Yafizan yang kasar malam itu, tiba-tiba seseorang mengambil salep itu, Yafizan duduk di sebelah Soully, menarik lengan Soully lalu dioleskannya perlahan salep bening itu dengan penuh hati-hati pada lengan Soully, sesekali ia pun meniupnya.
"Apa masih sakit?" tanya Yafizan yang masih mengoleskan salep pada bagian-bagian yang memar. Soully menjawabnya hanya dengan menggeleng. Ia merasa canggung karena Yafizan mulai mengoles ke area sekitar lehernya.
"Biarkan aku saja..." Soully menahan tangan Yafizan saat ia hendak mengoleskan kembali pada bagian lehernya. Namun Yafizan tak bergeming, ia terus mengoleskan salepnya.
"Maaf karena perbuatanku, kau..." tutur Yafizan tak meneruskan kata-katanya, suaranya sedikit parau.
"Tak apa, ini semua memang salahku," tukas Soully membuat Yafizan terhenti.
"Apa maksudmu? Jelas-jelas ini semua karena keegoisanku," sela Yafizan.
"Ini salahku. Sebagai seorang istri memang sudah seharusnya aku melayanimu dengan baik. Aku sadar, tidak seharusnya aku membantahmu terlebih aku yang secara tidak sopan membanding-bandingkan suamiku sendiri dengan lelaki lain. Aku..." ucap Soully terhenti ketika tiba-tiba bibir Yafizan mendarat di bibirnya. Mata Soully membulat. Lalu dengan refleks menjauhkan kepala serta tubuhnya segera.
.
.
.
Ketika wajah Soully tertunduk mengucapkan kata-kata penyesalannya membuat Yafizan secara tidak langsung menatap Soully penuh kagum. Ia tak mengira wanita yang ada di depannya dengan gamblang mengakui perbuatan salahnya. Padahal jelas-jelas dia sendiri yang menyakiti perempuan yang memang sudah jadi istrinya yang sah serta memaksakan kehendaknya secara kasar.
Pandangannya semakin mendalam, ada rasa keteduhan melingkupi relung hatinya. Yafizan melingkarkan lengannya pada pinggang Soully, menarik tubuhnya lalu mendekatkan kearahnya. Soully mendongakkan wajahnya, mata mereka saling bertemu, jantung mereka berdegup kencang.
Yafizan mendekatkan wajahnya kearah Soully, Soully menutup mata dengan takut.
"Bolehkah...aku melakukannya sekali lagi? Kali ini dengan lembut dan berhati-hati..." bisik Yafizan di telinga Soully.
***
Bersambung...