Mata Soully membulat saat mendengar ucapan Yafizan yang sensual. Dihelanya nafas dalam, lalu Soully mengepal tangannya dan meninju bagian perut Yafizan.
"Aww, apa yang kau lakukan?" Yafizan mengerang kesakitan. Tangan Soully yang mungil ternyata cukup kuat untuk membuat Yafizan tersontak walaupun sebenarnya ia merasa pukulan Soully cukup geli baginya.
"Ini hukumannya jika kau berkata sembarangan. Aku kira cukup bagiku mengakui kesalahanku tapi bukan berarti kau seenaknya minta ini dan itu," ketus Soully lalu pergi meninggalkan Yafizan.
Yafizan tak gentar mengejar Soully. Dengan kepura-puraannya ia berjalan tertatih mengaduh kesakitan, sengaja menjatuhkan tubuhnya ke lantai lalu mengaduh-ngaduh agar perhatian Soully tertuju padanya.
Soully mulai khawatir ketika ia berbalik dan melihat Yafizan sudah tergeletak di lantai marmernya serta mengaduh kesakitan. Hatinya yang lembut membuat ia kembali berlari menghampiri suaminya yang sedang, berpura-pura.
"Apakah memang sakit? Apa pukulanku memang keras? Mana yang sakit? Maafkan aku, aku tak bermaksud..." panik Soully dengan segala kecanggungannya, ia salah tingkah apa yang harus dilakukan. Yafizan masih pura-pura mengaduh, diliriknya wajah Soully yang sedang panik. Sebisa mungkin ia menahan tawanya.
"Bagaimana ini? Apa sebaiknya panggil dokter saja? Sungguh...aku tak bermaksud menyakitimu...hiks..." mata Soully mulai berkaca-kaca seketika buliran-buliran bening di sudut-sudut matanya tak bisa dibendung lagi.
"Hiks...maafkan aku...hiks...maafkan aku...huhu..." tangis Soully tersedu-sedu.
Yafizan yang melihat Soully menangis tersedu-sedu membuat ia menghentikan kekonyolannya menjahili Soully. Perasaannya tak karuan saat melihat airmata Soully mengalir deras membasahi pipinya.
"Jangan menangis..." Yafizan menggelengkan kepalanya. "Jangan menangis..." dia bangkit lalu segera mendekap tubuh Soully dengan erat.
"Ma...afkan a..kuu..." ucap Soully sesenggukkan.
"Ssstt...tidak apa-apa...tidak apa-apa..." Yafizan menenangkan Soully lalu menepuk-nepuk pundaknya dengan perlahan.
Entah kenapa melihat Soully yang menangis akan dirinya membuat hatinya terasa terkoyak, Yafizan tak berdaya saat melihat airmata mengalir deras di wajah polos Soully.
Soully mulai menyadari sesuatu. "Apa kau sudah tak sakit lagi?" tanyanya curiga.
"Tak apa, kepalan tangan mungilmu itu hanya menggelitikku saja," jawab Yafizan sambil menahan tawanya. Soully segera melepaskan dirinya dari dekapan Yafizan sesaat merasakan tubuh Yafizan bergetar karena menahan tawanya itu.
"Kau, kau membohongiku?" tanya Soully lagi dengan serius. Yafizan tak bisa menahan tawanya lagi. Bukannya membuat Soully berlega, malah membuat Soully menangis kencang.
"Hwaaaaa...kau sungguh...huhu..." Soully menangis kesal sejadinya lalu ia berjongkok sambil menutup kedua mata dengan telapak tangannya.
Yafizan menghampirinya lalu mendekapnya lagi. Soully meronta, tak ingin disentuh, namun Yafizan tetap memaksa mendekap tubuh Soully pada akhirnya. Sambil menahan tawanya tetap saja ada rasa tak ingin melihat Soully menangis. Yafizan menenangkan Soully lagi.
"Kau tahu, aku sungguh takut jika kau kenapa-napa...aku sungguh..." ucap Soully yang tak bisa ia teruskan karena jika ia terus bicara maka airmatanya terus mengalir deras.
"Maafkan aku..." lirih Yafizan.
Sungguh, aku tak tahu kenapa perempuan ini begitu polos, dibalik pembangkangannya ia masih bisa mengkhawatirkan sesuatu yang seharusnya tak usah ia hiraukan.
Rona yang sedaritadi memperhatikan mereka hanya menyeringai dari kejauhan atas kekonyolan sikap mereka berdua. Berharap hubungan mereka akan lebih baik dan semakin baik lagi.
***
"Woww...ada pemandangan luar biasa rupanya!" sahut seseorang membuyarkan kedua insan yang sedang tenggalam dalam perasaan mereka berdua.
"Kenapa kau tak menghampiri bosmu saja, Rona? Aku rasa mereka takkan terganggu," ucap Tamara seraya menghampiri Yafizan.
"Tammy, ada apa kau kemari?" tanya Yafizan agak terkejut, kedatangan Tamara sungguh tak disangkanya.
"Kenapa asistenmu itu?" jawab Tamara yang dibalas dengan pertanyaan. Tatapannya tajam pada Soully.
"Dia..." jawab Yafizan ragu.
Soully mengusap bersih sisa-sisa airmata di wajahnya, lalu beranjak berdiri dan pergi meninggalkan mereka. Yafizan hanya diam mematung melihat perempuan yang beberapa menit lalu menghiburnya, pergi meningggalkannya tanpa menoleh lagi, ia berlalu hingga menghilang bersama Rona yang mengikutinya di balik pintu.
.
.
.
"Kenapa kau bisa masuk? Kurasa aku belum memberitahukan kode akses pintu masuk mansion ini," tanya Yafizan membuat Tamara gugup.
"Itu...tentu saja kau yang beritahu saat kita menginap di hotel waktu itu," jawab Tamara beralasan.
"Benarkah? Tapi aku rasa aku tidak mengatakan kode pin waktu itu..." Yafizan mengerutkan kening mencoba mengingat kembali. "Oh ya, kejadian di hotel waktu itu apa yang terjadi di antara kita? Apa aku melakukan sesuatu di luar batasanku?" tanya Yafizan yang sebenarnya masih penasaran dengan apa yang terjadi waktu itu.
"Baby, kau sangat mabuk waktu itu, tak mungkin kau mengingatnya, tapi waktu itu kau sungguh luar biasa..." ucap Tamara dengan nada sensual. Yafizan hanya terdiam.
"Baby, aku ingin jalan-jalan. Aku ke sini sengaja karena ingin pergi bersamamu, di apartement sendirian sungguh membosankan," ajak Tamara manja segera mengalihkan pembicaraan.
"Kalau bukan karena Miller sialan itu, aku pasti akan hangus terbakar oleh pria emosian ini. Tapi aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk mengambil milikku kembali. Yafizan harus jadi milikku lagi bagaimanapun juga, tak peduli orang macam apa kalian, tapi kekayaannya, bahkan kekuatan super khusus yang kalian miliki akan tetap menguntungkanku. Lihat saja, perempuan udik yang jadi istrimu itu, akan segera lenyap, selamanya..." Benak Tamara menyeringai licik.
***
Bersambung...
Jangan Lupa Like, Comment dan juga Vote ya kakak²
Makasih buat yang masih mau baca Novel'nya, ditunggu buat dukungannya 🙏