Hari demi hari telah berlalu. Satu, dua, tiga, dan bulan - bulan berikutnya telah terlewati. Cuaca dan musim terus berganti. Dan ini sudah ke tiga kalinya musim hujan di setiap tahunnya.
Ini sudah tiga tahun, namun Soully masih belum sadar dari komanya. Beruntung dokter seperti Erick yang selama ini merawatnya. Tanpa pamrih dan rasa lelah dia terus menjaganya. Erick sudah tidak peduli dengan apa yang orang - orang katakan tentang hubungannya dengan Soully. Dia perhatian dan menyayanginya, namun sampai detik ini pun dia masih mengosongkan nama Soully di papan nama pasien. Setiap kali orang bertanya siapa nama perempuan yang dijaga dan dilindunginya, dokter Erick hanya tersenyum. Seolah Erick sengaja membuat teka teki bagi mereka yang bertanya.
***
Selama tiga tahun ini Yafizan masih disibukkan dengan pekerjaannya sebagai pengusaha muda sukses dan terkenal. Nama dan foto - fotonya selalu terpampang di mana - mana, bahkan kerap kali wajahnya selalu muncul di majalah bisnis dunia. Yafizan selalu mengisi berbagai macam acara Talk Show bisnis di setiap stasiun televisi manapun, baik nasional maupun internasional. Seolah dunia harus tahu siapa dirinya. Bolak balik luar negeri baginya bagaikan shopping di mall besar, masuk ke counter satu lalu ke counter lainnya.
Hanya Rona yang selalu setia menemani ke manapun Yafizan pergi. Tak kenal lelah dia mengurus segala keperluan dan pekerjaannya. Yafizan kini menjadi orang yang semakin gila kerja, seolah pria dingin dan arogant masih menjadi predikatnya. Puing - puing dollar sampai rupiah juga harta yang terus menerus mengalir menggemukkan rekeningnya yang bertebaran di mana - mana, Bank luar maupun dalam negeri. Namun dia tidak peduli, karena bahkan dia tidak menggunakan hartanya untuk kepentingan pribadinya untuk berpoya - poya. Dia hanya pergi bekerja saat pagi hari dan pulang malam harinya ketika orang - orang sudah tertidur lelap. Fikirannya hanya tertuju pada satu orang, Tamara.
Bagaikan hidup tanpa jiwa Yafizan menjalani hari - harinya. Rona pun sudah kebal dengan sikap bosnya itu. Karena Rona fikir itu lebih baik daripada Yafizan yang dalam keterpurukan kejadian tiga tahun yang lalu. Setelah melihat tubuh Soully yang terbaring kala itu, Yafizan terus memaksakan dirinya mengingat hal - hal yang dipaksakan untuk mengingatnya sehingga terus menyiksa tubuhnya dengan kesakitan yang luar biasa. Bahkan dengan kekuatan yang masih ada sedikit dalam dirinya semakin membuat dirinya tak terkendali.
Ketika dia marah atau kesal dia bisa membakar apa saja yang ada di sekitarnya. Emosinya tidak terkontrol ditambah ketika dia masih saja mengingat Tamara yang meninggalkannya.
Untuk kesekian kalinya Rona meminta izin untuk menghilangkan sebagian memori Yafizan lagi demi kebaikannya. Dia memang lupa akan Soully dan kejadian yang menimpanya tiga tahun lalu serta tahun - tahun sebelumnya. Namun, memori tentang Tamara masih terukir jelas diingatannya. Rona pun tak mengerti, kenapa hanya Tamara? Bahkan Yafizan semakin merindukannya, sesekali ia mencari tahu keberadaan dan kabar Tamara dari orang yang sengaja ia sewa.
***
"Apa kau yakin ingin melepas alat - alat yang menempel pada tubuhnya?" tanya dokter Ryan pada Erick saat melihat kondisi Soully.
"Ya, kurasa sudah saatnya. Mungkin kita harus menyerah. Ini sudah tiga kali musim hujan namun dia tidak pernah memberikan responnya bahkan sekalipun. Mungkin ini yang terbaik," tutur Erick. "Tinggalkan selang oksigen dan tetap beri dia infus, karena itu satu - satunya untuk menopang nutrisinya. Mungkin kita hanya bisa mengandalkan keajaiban," imbuhnya pasrah.
"Baiklah aku akan memanggil petugas untuk segera mencabut semua alat bantu di tubuhnya. Semoga keajaiban itu ada," ucap dokter Ryan menepuk pundak Erick seraya berpamitan yang lalu disusul jalan oleh Erick setelahnya sesaat ia memandang Soully begitu dalam.
.
.
.
Tengah hari ketika hujan turun dengan lebatnya. Suara gemuruh dan petir saling bersahutan membuat suasana siang hari yang sebelumnya cerah itu seakan malam hari yang akan menjelang.
'Paman hati - hati!!' sekelebat bayang - bayang tentang kecelakaan itu menghampiri mimpi Soully yang sudah tiga tahun terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya cemas dan ketakutan, keringat dingin membasahi dahinya. Ini pertama kalinya lagi dia mulai bergerak. 'TIDAK!!' teriaknya dalam mimpi itu tiba - tiba membuka matanya karena terkejut, dengan nafas yang masih terengah - engah dia melihat di sekelilingnya. Nuansa putih dan mint menghiasi ruang kamar perawatannya.
"Di mana ini?" benak Soully bertanya - tanya.
Penglihatannya masih remang - remang saat menatap atap putih yang pertama kali di lihatnya memudar.
Tubuhnya merasa kaku dan mati rasa, tentu saja ini sudah tiga tahun dia berbaring. Pelan - pelan dia mengangkat tangannya. Dilepasnya perlahan alat bantu oksigen yang ada di mulutnya. Lalu selang - selang yang menempel di dada dan kepalanya.
"Aku harus segera pergi dari sini," benaknya yang terbersit dalam fikirannya. Dia mengangkat tubuhnya perlahan untuk duduk, namun rasa linu menjalar di seluruh tubuhnya. Luka di kepalanya memang sudah mengering tapi pusingnya baru terasa. Soully menyingkirkan selimutnya dan mengarahkan kedua kakinya untuk turun dari tempat tidurnya.
Dicabutnya jarum infus yang menempel di punggung tangannya dengan paksa dan tegesa - gesa, seolah mati rasa hingga membuat darah segar terus menetes keluar.
"Bagaimana ini? Arrggh...bodoh. Aku tidak hati - hati," jengkelnya Soully saat itu. Dia panik karena darah terus menetes padahal ia sudah mencoba menutupnya dengan telapak tangan yang lain.
Soully turun dari tempat tidurnya lalu terjatuh karena kedua kakinya yang mati rasa ternyata tidak kuat menopang tubuhnya. Ia meringis kesakitan. Rasa linu semakin bertambah ketika tubuhnya terhempas jatuh ke lantai yang dingin. Dia mencoba meronta - ronta di lantai berusaha merangkak saat melihat pintu. Darah segar terus berceceran. Dia berusaha untuk membangkitkan tubuhnya dan berjalan dengan tertatih - tatih menuju pintu untuk segera keluar.
Soully membuka pintu lalu ditengoknya kanan dan kiri di sepanjang lorong yang sepi dan tak terjamah orang karena ruangan itu memang kawasan VVIP.
Dia berjalan pelan dengan dinding - dinding yang menjadi sandarannya karena tangannya sibuk menahan darah yang masih menetes di tangan satunya.
Soully menuju pintu yang menuju tangga darurat. Karena fikirnya dia harus keluar melewati tangga itu. Tidak memungkinkan dirinya keluar lewat lift karena seseorang pasti akan melihatnya kabur diam - diam.
.
.
.
Erick dan beberapa petugas lainnya hendak keluar dari lift menuju kamar Soully untuk segera melepas alat - alat bantu yang selama ini menempel di tubuhnya. Soully sudah memasuki pintu menuju tangga darurat saat Erick hendak masuk ke dalam ruangan di mana Soully dirawat.
"Ya ampun apa ini?" teriak kaget salah satu suster saat melihat ruangan itu berantakan dan kosong.
Semua orang terfokus pada alat -balat yang sudah tak terpasang dan bercak darah yang berceceran di lantai.
"Shit! Cepat cari pasien itu segera! Pasti dia belum pergi begitu jauh," perintah Erick yang panik saat dia tidak melihat tubuh mungil nan cantik yang selama ini dirawatnya.
Sebagian orang pergi mencari, sebagian lagi sibuk membereskan kekacauan di ruangan itu. Erick begitu khawatir, rasanya seperti ada sebuah belati yang ditusuk - tusuk ke dalam dadanya, seakan - akan ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Padahal Soully hanyalah orang asing yang menghiasi hari - harinya selama tiga tahun ini.
Pencariannya adalah mengikuti bercak darah yang berceceran di lantai, Erick mengikuti ke mana arah bercak darah itu. 'Kemana kau pergi?' benaknya terus bertanya - tanya, lalu pandangannya terfokus pada pintu yang menuju tangga darurat. Jelas sekali karena terlihat noda darah yang menempel di gagang pintunya.
Soully terus berjalan sedikit demi sedikit menuruni anak tangga. Dia sudah merasa kelelahan padahal baru satu lantai ia turun. Ia berhenti dan duduk sejenak.
"Lantai berapa ini? Kenapa masih terlihat tinggi?" ucapnya sendiri dengan nafas yang terengah - engah karena pengap dan capek. Dia hendak berdiri melanjutkan perjalanannya, namun tiba - tiba saja kepalanya merasa pusing. Wajah dan bibirnya semakin pucat. Soully hampir pingsan dan terjatuh, beruntung seseorang menangkapnya dengan segera. Dipeluknya dengan erat tubuh Soully yang lemah itu.
"Bodoh! Hampir saja kau mencelakai dirimu sendiri, hah?!" Erick setengah berteriak, membuat Soully yang lemah itu sedikit menegang. Erick merasakan ketegangan itu. Ia sadar jika perkataanya mungkin membuat Soully takut.
"Maaf..." lirihnya. "Lagipula kamu mau ke mana? Kenapa kamu pergi sendiri tanpa seizinku?" ucapnya pelan di samping kepala Soully yang masih dipeluknya erat, ia merasa lega karena berhasil menemukannya.
"Si-apa...kamu...?" tanya Soully lemas. "Aku hanya ingin pulang...Bibiku...dia akan menghukum dan...memarahiku..." ujar Soully yang berada dalam pelukan Erick. Soully sedikit meronta, namun kakinya seakan lemas tak bertenaga.
Erick merasakan rontaan Soully. Seakan tak ingin dilepasnya pelukan yang menyejukan hatinya itu. Penat di dadanya tiba - tiba menghilang saat dia mendekap tubuh lemah Soully, melepaskan perasaan hati dahaga yang selama ini menyiksanya. Tanpa berkata apapun Erick memangku tubuh Soully ala bridal style menuju kamarnya lagi tanpa mempedulikan pekikan Soully yang lemah.
Dibaringkannya kembali Soully di atas tempat tidur yang sebelumnya sudah dirapikan oleh suster. Erick dengan cepat tanggap segera menghentikan pendarahan yang ada di tangan Soully.
Soully tertidur kembali sesaat sebelumnya Erick sudah menyuntikkan obat penenang dan perawat lain mengurusnya. Para petugas mulai meninggalkan ruangan itu membawa alat - alat yang sudah dicabut dari tubuh Soully. Hanya jarum infus yang menempel lagi di punggung tangan Soully yang satunya.
Erick tetap di sisi Soully untuk berjaga - jaga, dirinya merasa takut jika sewaktu - waktu Soully bisa kabur lagi saat dia lengah. Dipegangnya tangan Soully yang terbalut plester di punggung tangannya yang tadi terus meneteskan darah. Kemudia ia memandangi wajah Soully yang mulai memancarkan rona merah di kedua pipinya. Sungguh cantik.
Erick tersenyum getir saat membayangkan Soully berusaha kabur, dengan tubuh kecil dan lemahnya itu berusaha menuruni anak tangga yang setinggi 20 lantai.
"Dasar gadis bodoh. Apa kau bertekad menuruni anak tangga sampai tubuhmu tak berdaya?" lirihnya. "Selama ini aku menunggumu. Harusnya kau menyapaku saat pertama kali kau membuka kedua matamu. Bukan dengan melarikan diri dan membuat luka baru di tubuhmu," cicit Erick saat melihat memar di pelipis wajah Soully ketika dia terbentur jatuh ke lantai serta plester yang ada di tangannya.
"Ma-af..." Soully tiba - tiba menyahut. Sontak membuat Erick salah tingkah karena ia mengira Soully masih tidur lelap. Dilepasnya segera tangan Soully yang ia genggam. "Te-rima kasih..." ucap Soully lemah.
"Kau sudah bangun? Apa ada yang sakit?" Erick salah tingkah namun cemas dan Soully hanya menggeleng pelan.
Erick menghela nafas dalam. "Aku yang seharusnya minta maaf karena tidak menjagamu dengan baik. Bahkan aku berterima kasih karena akhirnya kamu terbangun," ucapnya bersyukur dengan mata yang berbinar senang. "Namaku Erick, Erick White." Erick mengenalkan dirinya, mengulurkan tangannya kepada Soully.
"E-rick White..." beo Soully pelan. "Aku...Soully Angel," membalas uluran tangan Erick.
"Soully Angel..." Erick mengulang mengucap nama Soully.
Mendengar namanya membuat Erick benar - benar tercengang. Ini pertama kalinya dia mengetahui nama gadis mungil yang selama tiga tahun ini dirawatnya. Bukan Mayra melainkan Soully.
Nama itu seketika bagaikan mantra yang ia sebut berulang - ulang dalam hatinya. Erick tersenyum puas dan senang.
***
Sementara di tempat lain suara kilat menyambar saat Soully menyebutkan namanya. Tiba - tiba getaran kencang dalam hati Yafizan terus berguncang. Ingin lari dan marah tapi dia tak tahu apa yang harus dia sesalkan. hatinya terus bergejolak sesak. sekelebat bayangan sesosok tubuh perempuan yang terkapar tak berdaya lalu sesosok tubuh perempuan yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.
"Bos, apa kau baik - baik saja?" seru Rona saat melihat Yafizan meronta - ronta di bawah lantai.
"Ron, siapa gadis itu?" tanya Yafizan sambil menggelengkan kepalanya yang terasa pusing.
"Gadis yang mana?" tanya Rona sedikit ragu.
"Gadis satu ada di pangkuanku tapi tak bergerak lalu satunya lebih jelas lagi, gadis itu berlumuran darah tepat di atas wajahku namun aku tak berdaya meraihnya. Aku melihat tubuhnya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Lalu...aww..." ucap Yafizan terbata lalu mengerang kesakitan hingga membuat Rona kaget bercampur panik.
"Sudah Bos. Jangan paksakan dirimu. Aku rasa kau hanya bermimpi saja," sanggah Rona gugup.
"Aku tidak bermimpi Ron, jelas itu ada di memoriku dan ini membuat kepalaku sakit," tepis Yafizan yakin.
Rona hanya terdiam, bagaimana ia menjelaskan kejadian demi kejadian yang menimpa bosnya itu. Sedang pencarian gadis yang merupakan tulang rusuk dan cinta sejati Yafizan saja belum berhasil ditemukannya.
***
Bersambung...