Yafizan memaksakan dirinya untuk mengingat, rasa sakit yang menusuk-nusuk kulit kepalanya begitu dahsyat hingga ia bergulang guling di tempat tidurnya. Rona yang melihatnya berusaha membantu untuk menenangkannya dan menyuruhnya untuk tidak memaksakan ingatannya.
"Lelaki itu...dia...muncul diingatanku, Ron..." ucap Yafizan dengan suara yang parau dan lemah. Ia masih meremas rambut kepalanya.
"Cukup, Bos. Aku mohon jangan pernah memaksakan ingatanmu. Maaf aku melakukan semua ini karena demi kebaikanmu," panik Rona karena melihat Yafizan yang kesakitan.
***
Seseorang membunyikan bel pintu apartement Yafizan. Rona yang dilema saat itu tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi yang ada dihadapannya. Sementara suara bel terus berbunyi seakan tak sabar ingin dibukakan pintu. Rona meninggalkan Yafizan yang sedang kesakitan lalu menghampiri layar monitor yang terpasang dengan apik di tembok dekat pintu utama. Dilihatnya seorang perempuan yang sedang berdiri menanti untuk dibukakan pintunya.
'Soully...' perasaan Rona campur aduk antara senang karena Soully yang datang tapi tak senang karena Yafizan sedang dalam kondisi yang tidak baik.
Soully hendak pergi karena difikirnya tidak ada siapapun di dalam apartement itu. Bunyi pintu terbuka ketika kaki Soully baru melangkah pergi. Dilihatnya daun pintu yang sudah sedikit terbuka, lalu ditengoknya dengan ragu. Rona mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka itu.
"Soully..." ucap Rona yang ragu-ragu. "Ada perlu apa?" tanyanya lagi.
"Apa kau tidak membiarkanku masuk?" tanya Soully mengerutkan keningnya.
"Emmh...sebenarnya..."
PRANGGG!!!
Tiba-tiba suara benda pecah terdengar keras yang Rona rasa suara itu terletak dari dalam kamar Yafizan. Sebelum Rona melanjutkan kata-katanya, ia bergegas berlari dan meninggalkan Soully yang masih berdiri di luar. Beruntung pintu itu terbuka lalu tanpa permisi karena penasaran Soully menerobos masuk ke dalam.
Di dalam kamar Yafizan bersikap layaknya seseorang yang dicekoki minuman keras tanpa ampun. Bagaikan orang mabuk, dia hilang kendali karena berusaha mengingat apa yang seharusnya ia ingat. Emosinya tak terkontrol tatkala ingatan yang mulai hinggap hanya sekedar mampir lalu hilang kembali.
Dari tangannya keluar cahaya merah yang berapi-api lalu tanpa perhitungan dia menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya. Beruntung hanya sebuah kekuatan telepati yang bisa menghancurkan sesuatu dalam sekejap kedipan matanya.
Rona sudah tiba di kamar saat Yafizan memporak-porandakan seisi kamarnya. Rona meraih tangan Yafizan supaya menghentikan aksinya, namun 'Aww' Rona segera melepaskan genggaman tangannya itu. Hawa panas terasa seolah tertanam di kedua tangan Yafizan bagaikan sebuah api yang berkobar-kobar siap untuk melahap apapun jika menyulutnya.
"Cukup, Bos. Hentikan!" teriak Rona memohon.
Namun sepertinya Yafizan sudah gelap mata dan tak mendengar apapun yang Rona katakan. Sakit di kepalanya pun semakin menjadi-jadi. Kali ini bola matanya menjadi merah pertanda kekuatan yang hampir maksimal akan ia arahkan dan tak terbendung lagi. Bagai harimau yang kelaparan, tatapannya seakan ingin segera menerkam mangsa yang ada di depannya.
"Tolong jangan seperti itu, Tuan..." Rona menggelengkan kepalanya dengan frustasi. Yafizan benar-benar sudah di luar kendali.
"Cukup dan hentikan semua ini, Paman." tiba-tiba seseorang berucap pelan, menghampiri dan menenangkannya.
Yafizan yang saat itu sedang membara, berubah menjadi lebih tenang. Cahaya biru keputihan melingkupi tangannya saat Soully menggenggam tangan Yafizan.
"Maaf, maksudku Tuan..." sambungnya lagi karena entah kenapa setiap kali melihat Yafizan, mulutnya dengan refleks langsung ingin memanggilnya 'Paman'.
Yafizan menatap Soully dengan tajam. Ada rasa sejuk di hatinya yang sebelumnya sedang berapi-api. Ia merasakan hawa dingin di tangannya dan itu membuat dirinya terasa damai.
Rona menghela nafas dalam. Dengan keringat dingin Rona merasa lega karena Soully yang membuat Yafizan tenang. Dia melihat cahaya biru keputihan di tangan Yafizan dan bola matanya pun kini telah berubah seketika menjadi normal kembali.
"Duduk dan tenangkan dirimu dulu, oke!" ujar Soully sambil memapah Yafizan menuju tempat tidurnya.
Yafizan tak mengalihkan pandangannya untuk menatap Soully ketika berjalan. Dalam benaknya terus bertanya-tanya. Dengan tubuh kecilnya Soully berhasil membuat Yafizan menurutinya.
"Soully, maaf semua ini harus terjadi dan kau harus menyaksikan semuanya. Oh ya, apa tanganmu baik-baik saja?" maaf Rona dan penasaran jika Soully merasakan panas ketika menyentuh tangan Yafizan.
"Tanganku?" heran Soully mengangkat tangannya. "Tak apa...aku mengerti. Aku akan mengambil segelas air supaya anda tenang, Tuan." Soully hendak beranjak mengambilkan air namun Rona menyela dan mengatakan bahwa ia yang akan membawakannya.
Tak lama kemudian Rona datang dengan sebuah nampan berisi air putih dan segelas orange juice yang ia buat dengan spesial. Diberikannya segelas air putih kepada Yafizan. Soully membantu memberinya minum. Kemudian Soully meraba kening Yafizan untuk mengecek suhu tubuhnya dan ia rasa masih cukup dari normal.
"Oh iya, Soully bagaimana keadaanmu? Apa kepalamu merasa baikan? Kapan kau keluar dari rumah sakit?" Rona teringat jika Soully kemarin masih dirawat.
"Aku sudah baikan. Tadi pagi aku pulang. Aku menemui Mr.Govind untuk meminta maaf karena aku sudah membuat kacau padahal belum sehari aku bekerja di sana, " terang Soully dengan sendu. "Lalu aku mampir ke sini setelah menanyakan alamat tempat tinggal kalian karena kalian tidak datang ke kantor hari ini," imbuhnya. "Maaf atas kelancanganku. Aku hanya...ingin mengucapkan terima kasih banyak karena kalian yang membawaku ke rumah sakit kemarin. Dan maafkan aku tadi tak sengaja memanggilmu Paman lagi..." Soully mengangkat dan melipatkan tangannya memohon maaf pada Yafizan. "Kalau begitu aku pamit dulu. Oh ya, Mr.Govind masih menerimaku untuk bekerja. Terima kasih kak Rona atas bantuanmu selama ini," pamitnya.
Setelah itu Soully pergi diikuti oleh Rona yang hendak mengantarnya keluar.
Sekelebat ingatan tiba-tiba muncul. Dalam ingatannya seorang anak perempuan menghampirinya dan memanggil Yafizan dengan panggilan 'Paman'. Yafizan merasa kesakitan luar biasa lagi di kepalanya, ia meremas rambut kepalanya. Lalu mengerang kesakitan. Soully yang hendak keluar pun menghentikan langkahnya lalu dihampirinya kembali.
"Kau tak apa? Apa yang terjadi?" panik Soully.
Soully hendak menyentuhnya namun tangan Yafizan dengan cepat meraih tangan Soully sehingga badan Soully yang mungil ikut terhempas jatuh dalam pelukan Yafizan. Ada aura kuat yang menenangkan hatinya. Mata mereka saling bertemu. Hati Soully berdebar kencang antara kaget dan takut. Saat itu pula hati Yafizan berkecamuk tak karuan. Dipeluknya erat tubuh mungil Soully saat itu. Rasa sakit di kepalanya pun seketika dalam sekejap menghilang begitu saja.
"Tolong...jangan pergi..." Yafizan berucap parau dan lemah.
Dengan nafas yang terengah-engah dia berusaha untuk berucap. "Menikahlah denganku, besok, dan jangan banyak bertanya. Karena aku tak membutuhkan jawaban penolakan apapun. Mau atau tidak, kau harus menikah denganku!" ucapnya lagi dengan nada perintah yang tegas. Sedang tangannya entah dalam keadaan sadar atau tidak, ia masih mendekap erat tubuh Soully.
Soully tercengang kaget. 'Apa-apaan lelaki ini? Lelaki ini kurang waras'. Segala macam pertanyaan tiba-tiba menggerayangi fikirannya. Soully hendak melepaskan diri dari dekapan Yafizan. Namun kekuatannya tidak cukup melepaskan pelukan Yafizan yang erat.
"Lepaskan, aku susah bernafas."
"Tidak, sebelum kau mengatakan IYA dan bersedia menikah denganku."
"Tidak, karena kita baru bertemu tiga kali termasuk hari ini."
"Tapi aku merasa kita sudah bertemu sebelum tiga kali ini."
"Tolong lepaskan aku!"
"Aku bilang tidak ya tidak! Sebelum kau mengucapkan IYA untuk menjadi istriku."
Soully dan Yafizan malah berdebat dalam pelukan. Soully yang meronta untuk dilepaskan dekapannya, Yafizan malah semakin erat mendekapnya hingga menyesakkan nafasnya.
Rona yang melihat tingkah kedua orang yang ada dihadapannya merasa bingung. Antara senang tapi tak masuk di akal, ia tak mengerti kenapa sikap Yafizan seperti itu.
Lamaran jenis apa yang dia utarakan kepada seorang perempuan yang ingin dia nikahi?
"Paman, lepaskan! Aku tidak akan menikah denganmu. Kau menikahiku bukan karena cinta!"
"Paman?" Yafizan segera mendorong Soully dan melepaskan pelukannya.
"Maksudku, Tuan." ekspresi Soully berubah salah tingkah. Ia seketika memukul pelan mulutnya yang selalu keceplosan memanggil Yafizan dengan 'Paman'. Yafizan menatap tingkah Soully lalu menyunggingkan senyuman disudut bibirnya. Untuk kali ini ia ingin tertawa lepas, namun dengan kesombongan dan sikap dinginnya dia menahan tawanya agar ia tetap menjaga pencitraannya yang tegas.
"Kau akan tetap menikah denganku besok, dengan atau tanpa persetujuanmu. Cinta bukanlah sesuatu yang aku harapkan. Jika kau masih ingin bekerja di perusahaanku maka kau harus setuju!" Perintah Yafizan tegas. "Ron, besok kau atur semuanya."
"Tapi bos..."
Yafizan mengangkat tangannya memberi isyarat agar Rona tidak protes dengan apa yang diperintahkan kepadanya.
"Bukankah ini saranmu? Dan ini yang kau mau? Me.Ni.Kah."
Soully dan Rona tak bisa berkata apapun lagi. Menolaknya atau memberontaknya malah akan mempersulit kehidupannya. Terlebih dia harus mengganti semua uang yang sudah ia pinjam dari Erick untuk biaya sewa kontrakannya dan semua biaya rumah sakit selama dia koma. Walaupun sebenarnya Erick tak pernah menganggapnya sebagai hutang tapi Soully tetap merasa hal itu tidak baik baginya menerima semua hal secara cuma-cuma.
"Oke. Aku akan menikah denganmu. Tapi aku punya beberapa syarat," ujar Soully menerima tawaran untuk menikah.
"Kau tak harus mengajukan syarat karena aku yang akan memberikan syarat kepadamu. Besok saat dokumen sudah siap, maka artinya kau harus menerima semua yang tertulis di dalamnya. Setiap poin dan pasal yang ada di dalamnya, maka kau harus patuh. Kau bukan berada dalam situasi untuk bernegosiasi denganku," tegas Yafizan beranjak pergi.
"Tidak! Aku juga akan mengajukan syarat-syaratku. Jika kau tak setuju, maka silahkan cari perempuan lain yang mengantri ingin menikah denganmu." tanpa basa-basi lagi Soully pulang.
Dibantingnya pintu kamar dengan keras sehingga orang yang mendengarnya terperanjat kaget. Yafizan menghela nafas dalam. Ada rasa kelegaan dalam hatinya, seberkas cahaya cerah terpancar di wajahnya yang dingin. Dia mungkin tidak mencintai Soully, karena difikirannya tetap ada Tamara. Namun hati berkata lain saat Soully setuju untuk menikah dengannya. Dia merasakan sesuatu di hatinya yang meloncat-loncat kegirangan.
"Kuharap itu keputusan yang terbaik, Bos. Tapi aku berharap kau akan benar-benar mencintai Soully kelak ketika kalian sudah sah jadi suami istri. Dan apa kau tahu, ketika seseorang seperti kita menikahi seseorang yang memang dari kalangan manusia asli? Kau tentu tahu resiko apa yang akan kau ambil dan terima jika kau menyakitinya, bukan?"
Yafizan hanya terdiam mendengarkan celotehannya Rona. Sebagian benar apa yang Rona katakan.
"Aku tahu Ron, sebenarnya kita tidak bisa sembarangan menikahi wanita dari kalangan manusia. Tapi, aku tidak tahu memangnya resiko apa yang terjadi jika aku menikahi seorang manusia lalu menyakitinya?" dengan ekspresi datar Yafizan berucap.
Rona seketika menepuk keningnya. "Ya ampun, Bos...jadi selama ini kau sama sekali tidak mengetahui resiko apa yang akan terjadi?"
Yafizan hanya menggeleng kepalanya. Rona menghela nafas dalam, dia berfikir apakah efek menghilangkan sebagian memori di masa lalu membuat Yafizan juga melupakan semua ajaran yang dia pelajari semasa pendidikan di negerinya? Rona rasa Yafizan tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahui semua hal yang diajarkan di alamnya.
"Pokoknya kau siapkan saja semuanya besok. Aku harus menikahi perempuan itu dan mengetahui semua kebenarannya. Itu hukumanmu karena kau terlalu ikut campur dengan seenaknya mencabut semua kenanganku." Yafizan berubah serius dengan kata-katanya. Rona terdiam menyadari akan perbuatannya.
"Satu hal lagi, soal cinta ataupun tidak itu urusanku. Ketika Tamara kembali maka aku tidak akan pernah melepaskannya lagi. Dan perempuan itu? akan kubiarkan dia bebas karena aku tidak membutuhkannya lagi."
"Kau hanya menjadikan Soully sebagai tameng saja? Apa kau fikir ini tidak terlalu kejam? Kau hanya memanfaatkan Soully memancing agar Tamara keluar dari persembunyiannya?" Rona berdebat kaget tak percaya tuannya melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh bangsanya, terlebih menyakiti hati manusia biasa.
"Jangan banyak protes dan jangan menceramahiku lagi, Ron. Aku membiarkanmu tetap berada di sisiku karena kau memang Panglima paling kompeten di negeri kita. Aku membiarkanmu bicara tak sopan terhadapku yang seharusnya tidak seperti itu. Karena aku tetap tuanmu." Yafizan beranjak pergi.
Rona tahu membantahnya akan membuat Yafizan semakin tak berperasaan. Mungkin hanya pasrah yang bisa dia lakukan.
"Oh ya, tolong kau atur seseorang untuk membereskan kamarku," perintah Yafizan lagi setelahnya dia benar-benar menghilang dari pandangan Rona.
"Oh, Yang mulia, apa yang harus aku lakukan? Tuan muda bersikap semaunya dan tidak mempedulikan perasaan orang lain. Soully maafkan aku karena menyeretmu ke dalam masalah ini. Tapi kurasa kau memang perempuan yang cocok dan ditakdirkan bersama tuan muda."
Suara kilatan petir seketika menggelegar di udara. Semua orang kaget dibuatnya karena cuaca sedang cerah saat itu. Soully yang saat itu tengah berada di halte bus pun ikut membungkukkan badan dan menutup telinganya seakan suara petir itu menggelegar di relung hatinya.
Rona hanya terus memohon ampunan karena dia tahu apa yang terjadi dengan suara petir yang tiba-tiba muncul itu.
Yafizan hanya terdiam, seolah dia pun tahu. Dia hanya menyunggingkan senyuman sinis, menantang apa yang akan dikehendaki-NYA.
***
Bersambung...
Jangan lupa tekan Like, comment dan Vote juga yaa
Terima kasih 🙏🏻