Ia lisa.
Seperti sebuah gunung es, begitu dingin, tanpa banyak kata.
Baginya tak ada cahaya tak ada juga yang lainya.
Namun, biar sebegitu dingin-nya ia, ia tak lah begitu buruk hati.
"apa yang ingin kamu pinta pada tuhan, jika ia benar-benar mengabulkannya?".
tanya peria itu, ia hanya tersenyum ke arah depan tanpa bisa ia melihat indahnya senja.
"aku hanya ingin tuhan selalu memberi rahmatnya pada ku".
kata ia begitu tulus tersenyum.
Peria itu tertegun matanya berkaca-kaca ia tak menyangka permintaan si gadis itu, namun kini ia tersenyum lalu menoleh ke arah gadis itu.
"kau begitu putih".
sebuah kata ambigu ia katakan pada gadis itu.
Senja sendu berwarna jingga, mengantarkan sebuah cerita dalam waktu itu.
Hari pun kini beranjak gelap mereka berjalan pulang dengan tangan lisa ia tuntun. menuntun lisa untuk melangkah, mereka berjalan pulang namun harus berpisah karena arah jalan pulang yang tak sama.
"bukankah esok hari jum'at?".
kata ia bertanya pada adiknya, di tengah makan malam itu, ia bermaksud jika adiknya tak ada kegiatan yang ia lakukan, ia ingin sekali mengunjungi makam kedua orang tua nya.
"baik lah, kita memang sudah lama tak ke sana". ucap adiknya tersenyum padanya, walau Ia tak bisa melihat senyum adiknya.
Pagi datang dari upuk timur, suara kokok-kan ayam terdengar nyaring hingga membangunkan-nya, padahal matahari masih baru setengah terbangun dari tidurnya.
Embun masih belum kering namun ia bangun dan berjalan ke arah dapur dengan memegangi setiap sisi dinding papan.
Mencuci muka sebelum mandi.
Lalu basah kan tubuh dengan air yang begitu dingin.
Pagi ini begitu cerah matahari yang awalnya malu-malu menampakkan cahayanya, kini perlahan-lahan mulai menyinari dunia.
Embun mulai mengering, ayam-ayam mulai mencari makan, jangkir pun mulai tak bersuara.
"kakak! Apakah kau sudah ba..."
belum sempat adiknya melanjutkan katanya, adiknya tertegun melihat kakak nya yang begitu cantik hari ini dengan pakaian begitu serasi putih bersih.
Adiknya tersenyum sambil menuntun kakak nya.
"wow... kak... kakak sungguh cantik." ucap adiknya yang memuji dirinya.
"Ayah, ibu! Apakah kalian mendengarkan ku berbicara dan bercerita kepada kalian". dengan menghelus lembut sisi papan nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya, yang terkubur berdampingan.
"Adik selalu menjaga ku, ia selalu tersenyum dalam kesedihan, namun untuk sekarang aku tak bisa lagi melihat senyumannya. Ka, kalian tahu. (Ia senderkan kepala-nya di papan nisan ibu-nya) aku, aku, aku selalu merindukan kalian".
Air matanya berurai tak kala ia merindukan sosok kedua orang tuanya.
Adiknya hanya diam melihat kakak-Nya yang menangis sendu, meratapi semua yang telah terjadi, kemudian adiknya papah kakak-nya untuk berdiri.
"Bisakah aku bertemu kalian, ayah ibu?".
ucap ia dan mulai melangkah dengan adiknya yang memeganginya.
"Kakak...!" cegah adiknya saat ia mendengarkan ucapan sang kakak-Nya itu.
"jika kamu menyusul kedua-nya, aku bagai mana?".
"Ayah..."
panggilnya dari kejauhan, memanggil ayahnya dengan teriakan anak kecil, lalu ia melompat ke tubuh ayahnya untuk meminta digendong.
Ayahnya hanya tersenyum melihat putri kecilnya yang begitu manja pada dirinya sambil tangan yang satunya memegangi jaring ikan lalu ia taruh jaring ikan itu dipundak, kemudian diciumi anaknya yang masih kecil itu.
"Ayah, kamu baru saja dari laut, jadi jangan dicium dulu".
Cegah istrinya lalu ia ambil anaknya dari gendongan suami nya.