Chereads / all will end / Chapter 11 - bab 11

Chapter 11 - bab 11

Semua tak ada beda dalam kegelapan itu, ia tesus berjalan menjalani kehidupan ini, selalu bercerita kepada peria itu. Daun-daun mulai bejatuhan terhembus angin kencang jatuh di atas kepalanya.

"andai saja..."

Menikmati senja dalam setiap kata begitu lah ia.

15 desember angin begitu kencang berhembus.

Lautan ini begitu berombak

penuh dengan suara deruan ombak tenangkan jiwa dalam hati yang merana.

Matahari mulai terbenam namun masih terasa begitu hangat.

"Aku selalu dalam hal yang sama, selalu merasa sepi dalam dunia ku".

"menyambut pagi tanpa senyuman, aku terus dalam hal itu".

"apa yang dikatakan itu benar, maksudku penyesalan tetap berada dalam kata akhir perbuatan".

"Walau aku terus menguatkan diri untuk tak larut dalam penyesalan".

"Namun ia terus ada dalam setiap tindakan ku".

Hujan mulai turun mereka berteduh di sebuah tempat yang begitu kecil.

Angin tak behenti berhembus, membuat disekeling menjadi dingin.

Memandangi hujan yang tak kunjung berhenti.

mereka berpikir akan apa yang terjadi selanjutnya.

"Huh...!".

hembusan napas ketelapak tangan lalu mengusap kedua telapak tangan.

Jalan begitu sepi luas memandang dunia namun ia tak begitu, hanya lah peria itu sendiri yang bisa memandangi ini.

Adakah ini tak begitu seperti ini, dalam suara tetesan air hujan, angin yang berhembus kencang, atau pun kesunyian ini.

"Mungkin hujan tak akan berhenti dalam waktu dekat, biskah kita pulang saja?".

"Tapi..."

Belum sempat ia meneruskan bicara, tiba-tiba tubuhnya digendong peria itu di punggung.

Melewati hujan yang begitu derasa peria itu mengendongi dirinya, menyusuri jalan yang pernah ia lewati bebarapa waktu belakangan ini.

"Kita sudah sampai, sebaiknya aku pulang dulu". Ucap peria itu, namun ia cegah dengan menarik pelan baju peria itu.

"bukankah lebih baik kamu memberisihkan diri dan mengganti pakaian basah mu, mungkin aku masih punya pakaian punya ayahku untuk kamu kena kan".

Ucap nya lalu menyuruh peria itu untuk membersihkan diri.

Hujan masih tak mau berhenti, sembari menunggu hujan redah menyeruput teh adalah hal yang tepat untuk menghangatkan tubuh.

"Maaf aku tak bisa berbuat apa-apa", ucap lisa kepada peria itu.

"Tak apa, lagian dengan begini rasa nya teh buatan ku tak terasa enak".

Menunggu hujan berhenti, atap rumah yang bocor setiap hujan melanda jatuh ke wadah penampungan, titik suara menentramkan jiwa, ia dan peria itu bercerita dalam waktu itu.

Tiba pada saat itu adiknya baru saja pulang, dengan pakaian yang setengah basa.

"Eh... Ada tamu rupanya".

Ucap adiknya lalu melangkah pergi dari mereka berdua.

Hari berganti semua tetap sama, tak ada beda.

Eloknya alam mampu membuat kebahagian bagi siapa saja yang bersukur atas semua ciptaan-nya.

"Jangan berpikir semua tak berubah".

Mungkin kata itu seperti sebuah kata yang tak ada arti.

"Jangan katakan tidak, disetiap penyesalan".

Apa yang ada tak akan berpengaruh.

"Coba bangkit dari ini".

Ucapan begitu mudah dari pada tindakan.

"Jangan larut atas yang sudah terjadi".

Semua lagi-lagi tak ada yang berubah, sedikit pun!

"Aku bisa, namun..."

Bagai lampu yang kehilangan daya, begitu lah dirinya, dulu begitu bercahaya, menerangi setiap apa yang ada disekitarnya, kini lampu itu mulai redup makin redup.

"Dalam hal itu aku masih saja ingin berubah, namun aku tak begitu kuat untuk itu".

Langit biru, awan begitu putih, burung-burung terbang di atas sana.

Menukik lalu terbang lagi, dalam warna biru dan putih begitu indah untuk dipandang.

"Mencoba untuk bangkit, namun terjatuh lagi".

bisakah?