Pagi datang menyapa lagi, dunia tak lah berubah sama sekali, pohon-pohon dan tumbuhan lain bertumbuh begitu lambat.
Titik-titik embun kini mulai menguap, air yang dingin kembali menjadi hangat, nelayan sudah pulang dari menangkap ikan dilautkan.
Burung-burung berkicau sangat merdu, angin hangat berhembus menerpa tubuh nya, termenung entah apa yang ia termenungkan itu, sebab ia tak bisa melihat.
Tanah berpasir putih di depan rumahnya tak lah begitu subur untuk tanaman/tumbuhan.
Hanya ada tumbuhan khas pesisir yang tumbuh di dekat rumahnya.
"Bisakah senja cepat datangnya?".
gumam nya, lalu melangkah mendekati jendela dengan cara meraba-raba sisi dinding papan.
"Ayah. Gendong..." ucap ia waktu kecil dahulu, begitu senang bermanja dengan ayah nya, penuh ke imutan seperti anak kecil pada umumnya.
"Ayah, aku dapat nilai seratus".
Ucap ia sambil memperlihatkan nilai ulangan kepada ayahnya itu, ayah nya tersenyum bahagia, lalu mengusap-usap rambut anak kecilnya itu.
Sungguh itu adalah kenangan yang begitu berharga, andai itu bisa diulang.
"Aku hanya ingin Tuhan memberi rahmat kepada ku, agar aku bisa menjalani sisa hidup dengan penuh senyuman". Ucap ia kepada peria itu, ia tak tahu bahwa peria itu menangis akan ucapan tulus darinya, hati peria itu menjadi tersentuh akan ucapan itu.
"Huh... Kamu tau bayak orang yang lebih baik dari mu, namun mereka tak pernah mensyukuri apa yang Tuhan berikan".
"Kadang mereka bilang hidup mereka lebih menderita dari orang lain, padahal jika sedikit saja mereka membuka mata hati mereka dan melihat di sekeliling mereka maka masih ada yang lebih menderita dari mereka".
Ucap peria itu dan menghapus sisa air matanya.
Senja kali ini terasa sangat indah dan bermakna, langit kini berwarna jingga laut biru pun kini berpadu dengan warna jingga mentari senja.
"senja kali ini cukup menarik, coba kamu dengar perkataan ku ini, langit berwarna jingga, karena warna dari mentari senja, delius hijau berada ditengah warna jingga itu sungguh indah bukan? begitu juga lautan ia memantulkan warna mentari senja, tuhan menciptakan ini semua tak lah sia-sia saja, karena ada makna di balik itu semua, sama dengan cobaan yang kamu hadapi saat ini lisa, mungkin ia ingin meninggikan derajat mu lewat cobaan ini". Ucap peria itu, lalu menuntun nya dalam perjalanan pulang.
daun-daun mulai berjatuhan di jalanan mereka pulang dengan tangan lisa di genggam oleh peria itu, mengantarkan ia untuk pulang ke rumahnya, dalam perjalanan pulang, ada terbesit rasa yang tak bisa diungkapkan.
Seperti memaknai sebuah senja hari ini. Malam datang, langit gelap, tanpa bintang karena awan menutupi langit malam.
Dingin, sunyi, adik nya telah lama tertidur di pangkuan-nya, dengan sedikit mendengkur mungkin itu dengkuran kelelahan dari adiknya.
"Ayah, ibu! kalian tau hari ini aku cukup merasa bahagia".
ucapnya lalu menyenderkan tubuhnya di dinding rumahnya, tak lama sesudah itu ia tertidur melewati malam.
"Aku selalu saja merasa bahwa diri ku tak berguna, ingin rasanya aku mengakhiri ini semua, namun nyatanya niat ku tak lah kuat dari rasa cinta kepada adik ku, aku tak ingin meninggalkan nya sendiri di sini, maka dari itu aku terus menjalani ini semua tanpa ada senyuman, sampai ada satu pengacau yang selalu mengacaukan ku, namun ia begitu baik hatinya, ia selalu menemani ku, mengabari senja kepada ku."