Chereads / all will end / Chapter 4 - bab 4

Chapter 4 - bab 4

Mata hari senja perlahan menghilang, ditelan lautan. Ia pulang ke rumah dengan sebuah kebahagiaan yang terpancar dari hatinya.

"cukup begini, tak ada yang lain".

Kata ia dalam hati, mungkin tuhan tak mengabulkan doanya, namun rahmat tuhan masih terus bersama nya.

"apa yang kakak bahagia kan?".

pertanyaan terlontar dari adiknya, saat melihat ia tersenyum-senyum kecil, ia tak menjawab, adiknya keheranan tanpa ada jawaban.

Pagi itu hujan deras mengguyur, atap rumah yang bocor meneteskan air hujan yang tertampung diwadah.

Ia sepertinya berharap-harap cemas agar hujan cepat berhenti.

Ia lisa, berselimutkan kain menahan dingin yang menusuk kulit nya.

Namun, sepertinya hujan kali ini begitu awet hingga menjelang malam, tak terasa pagi sudah datang hawa dingin perlahan menjadi hangat.

Suara jangkrik perlahan-lahan hilang tergantikan suara merdunya burung-burung, langit pagi ini cukup cerah. namun, itu belum memastikan bahwa hujan tak kan datang.

Lisa sekarang wajahnya berseri, ia kini bersenandung entah apa yang disenandukan-nya.

Adik nya kini tak merasa keheranan, baginya ini sebuah kebahagiaan karena melihat kakaknya yang begitu bahagia.

"cukup itu saja".

begitulah kata dalam hati adiknya.

Pagi berganti siang, hawa panas mulai terasa begitu menyengat dikulit, peluh keringat bercucuran di sekujur tubuh, namun ia tak terganggu akan hal itu.

Berbaring dikasur kusam, kepala beralas kan bantal sambil menunggu senja datang,

dari mana ia tahu senja akan datang?

Padahal ia tak dapat melihat?

Hanya ia lah yang mengetahui nya.

Senja datang, ia sudah lama berada di sini, menikmati senja tanpa bisa melihat nya. "kamu sudah lama di sini?".

tanya peria itu, ia hanya tersenyum mengangukan kepala.

Seperti biasa peria itu mengabari apa yang ia lihat kepada lisa, mengabari bagai mana eloknya senja.

Namun karena waktu yang terbatas mereka pun harus menyudahi semua nya, pulang ke rumah dengan senyum lebar.

Adiknya hanya ikut tersenyum menyaksikan kakaknya yang begitu tersenyum bahagia.

Angin berembus melewati celah dinding papan tak begitu ia rasakan dikulitnya.

Padahal begitu dingin.

Suara jangkrik tak begitu ia dengarkan, ia mengkhayal, bisa kembali melihat senja, walau pun sepertinya khayalannya sedikit tak terwujud.

Hari-hari di waktu senja, dihabiskan ia dan peria itu bersama, menikmati senja walau dalam gelap.

Namun ia tetap bahagia, ada kala mereka tak bisa bertemu untuk melihat senja, karena sebab, seperti hujan atau peria yang ia tunggu tak kunjung datang, namun itu tak begitu lama.

Karena keesokan harinya mungkin berubah.

Daun-daun kini mulai berjatuhan tertiup angin, semak kan jalanan yang ia lalui, tapi ia tak tau bahwa jalan yang ia biasa lalui begitu beda.

Ia masih terus berjalan, ada kala ia terjatuh karena tersandung atau pun menabrak orang lain.

Namun ia masih ingin melanjutkan perjalanan.

Cuaca hari ini cukup berangin, embusannya cukup kencang menerpa tubuh.

Laut berombak tinggi.

Deruan ombak terdengar ke telinga.

Hempas kan batu karang di tepi pantai.

Ia hari ini begitu berseri di wajahnya. Menikmati senja dengan kata-kata yang didengar.

Kaki melangkah pasti di jalan, dengan tongkat terpegang tangan, menyusuri jalan.

Ketukan demi ketukan tongkat kesisi trotoar, menghitung setiap langkah.

Hidup dalam gelap tanpa cahaya, hanya ada suara dan rasa yang menemani hidupnya.

Senandungkan lagu yang ia dengar, memang tak begitu merdu. namun senandung itu pertanda bahwa ia begitu bahagia.

Kadang-kadang ia menjentikkan jari sebagai ekspresi darinya, selain raut wajah.

Pertama kali melihatnya mungkin orang tak menyangka ia buta, dengan mata masih terbuka dengan wajah berparas ayu, tak ada pikir tentang itu bagi sebagian orang.

Namun, tongkat lah yang menandakan itu.