Chereads / all will end / Chapter 3 - bab 3

Chapter 3 - bab 3

Hembus'an angin menggelitik kulit, rasa dingin menusuk tulang namun mata tetap terpejam, embun pagi mulai mengering, cahaya fajar telah lama menyingsing.

Meraba setiap sisi dinding rumahnya, ia berjalan menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan air yang dingin.

Siang datang, hari begitu panas, bayangan pohon kini tampak mengecil, langit berawan, ia hanya terbaring dikamar.

Daun-daun bergoyang ke sana-kemari karena hembus'an angin, mendung mulai datang, cuaca yang tadinya cerah kini berubah menjadi gelapnya mendung.

Angin kini mulai berembus kencang, atap rumah berbunyi seperti mau diterbangkan angin. Dingin, menusuk kulit, ia selimuti diri dengan.

"aku hanya ingin sekali lagi melihat cahaya". Kata ia dulu, tak ada pintanya selain itu kepada tuhan, ia tak meminta kekayaan, hanya itu saja pintanya.

Namun, sepertinya doanya itu belum tuhan kabulkan.

Ia kira hujan akan datang, namun sepertinya hujan mengurungkan niat untuk turun di daerahnya.

Langit kembali cerah, dengan jam menunjukkan pukul 3 sore, ia bergegas turun dari tempat tidur, dan mengambil tongkat yang tergeletak disampingi tempat tidur, kini ia tinggali rumah papan itu, berjalan ke tempat yang biasa ia singgahi, hanya sekedar menikmati senja tanpa bisa melihat silaunya cahaya senja.

Mentari senja yang begitu bulat dengan warna jingga terpancar darinya, tak bisa dinikmati keindahan nya oleh lisa, lambat laun hawa hangat mentari senja berganti menjadi dingin, lalu ia hendak beranjak pulang namun tertahan oleh suara sapa 'an seorang peria.

"kau ingin menikmati senja?".

Tanya peria yang sama di waktu itu.

Ia hanya diam, lalu duduk lagi dibangku panjang itu, dan di ikuti oleh peria itu.

Peria itu sedari tadi berbicara padanya, namun ia seperti biasa tak bicara, mengabari indahnya mentari senja itu ke padanya, ia seakan menikmati apa yang peria itu katakan.

Ia seperti terbawa dalam suasana indahnya senja, eloknya lukisan yang tuhan berikan.

Lalu mereka berpisah, karena waktu senja akan berganti, kini ia mulai tersenyum walau ia tak menyadari.

"kak!" kata adiknya saat melihat ia tersenyum, mungkin adiknya keheranan melihat kakaknya yang tersenyum.

Lampu pelita, selalu menemani malam yang gelap di rumah itu, dengan abu hitam yang masuk ke hidung, setiap pagi mereka selalu membersihkan tumpukan abu hitam di hidung mereka.

Jangan tanya mengapa tak ada listrik di rumah mereka.

Pagi lagi-lagi datang sinar pagi masuk dari sela-sela dinding papan, hangatnya mentari pagi membangunkan ia, dengan tertatih-tatih ia melangkah, membasuh muka, dalam pagi namun gelap dimatanya ia seperti biasa, mendengarkan adiknya yang sedari tadi sibuk di dapur menyiapkan sarapan.

Rumah itu begitu sunyi didalam-Nya, hanya ada suara tumbukan di lesung, didihnya minyak atau pun suara-suara peralatan memasak yang menyertai setiap gerakan yang dilakukan adiknya.

Pagi berganti siang, adiknya sudah lama berangkat bekerja.

Panas terik ia masih berbaring dikasur, menunggu senja datang dengan rasa, walau tak pasti.

Senja datang, ia bergegas pergi.

"apakah kau datang hanya ingin melihat senja?".

Kata peria itu yang sudah lama berada di tempat itu.

Ia hanya diam dan langsung duduk, seperti kemarin peria itu berbicara padanya mengabarkan sebuah senja hari ini dengan kata-kata yang terus ia ucap.

Bagai mana gumpalan awan menutupi mentari senja yang mulai tenggelam dalam lautan, dengan burung-burung terbang berlatar senja, langit mulai berwarna jingga kemerah-merahan, terpantulkan cahayanya oleh lautan biru.

Sungguh tuhan menciptakan itu tanpa sia-sia.

Ia memahami apa yang peria itu kata kan padanya, ia begitu menikmati senja walau pun hanya dari kata-kata yang diucap kan peria itu.