Chereads / Cinta yang (tidak bisa) Kutinggalkan / Chapter 20 - Why love so hurts?

Chapter 20 - Why love so hurts?

"Aku pun baru mengetahui kebenaran itu tadi malam, saat menghadiri pertemuan makan malam dengan pak Abdi," jawab Celine.

'Hufffh' Napasnya terasa berat.

"Mungkin dia memang sengaja menyembunyikan identitasnya dari kita," duga Nayla.

"Ya, mungkin saja. Hanya dia yang tahu tujuannya."

"Tapi ini terlalu berat gak sih? Maksudku, anak CEO dari perusahaan besar, jatuh cinta oada seorang karyawan biasa; kayak kita. Ini bagaikan dunia dalam novel-novel atau FTV di film-film. Terlalu sulit dipercaya, gitu."

"Ha ha ha…" Mendadak tawa Celine pecah.

"Lucu sih kalau dipikir-pikir. Aku juga terlalu sulit mempercayai kebenaran yang baru saja kuketahui ini, padahal aku melihat dan mendengarnya dengan jelas, tetapi hatiku masih enggan mempercayainya. Entahlah…"

"Hufff… aku tahu apa yang kamu rasakan. Itu pasti berat bagimu. Apalagi mengingat kejadian yang membuat kalian terpisah beberapa tahun lalu," ucap Nayla sambil menyentuh pundak Celine.

Celine menatap nanar Nyala. Matanya seakan memohon agar beban dalam pundaknya tersebut bisa terangkat. Sangat berat, hingga membuatnya terbungkuk pilu.

"Apakah salah jika aku jatuh cinta, walau itu pada seseorang yang berbeda kedudukannya dariku? Faktanya, bukan aku yang menaruh cinta itu dalam hatiku, kan? Lantas, kenapa aku yang merasa sakitnya? Juga bukan inginku harus jatuh cinta padanya. Jika saja aku bisa memilih, tentu tidak dia yang aku pilih untuk melabuhkan hati. Mana pernah ada seseorang yang mau memilih luka dalam hidupnya. Setiap insan pasti ingin yang terbaik menghampirinya, termasuk, cinta yang datang."

Celine tidak lagi menahan air matanya. Dengan bebas, ia memperbolehkan sumber bening itu mengalir membasahi pipinya yang sudah diberi blush-on.

Wanita kan pada dasarnya begitu, jika rasa sakit tepat datang, mengena di ulu hati, tanpa peduli tempat, maka kesakitan itu sendiri yang akan menunjukkan kehadirannya.

Percayalah, sang tuan pemilik rasa sakit itu pun tidak rela jika harus menunjukkan kesedihannya, minimal lihat tempat dulu. Namun kesakitan itu seakan tidak sabar ingin diagungkan dengan cara menunjukkan wujudnya yang secara garis besar berupa sebuah butiran bening dari sebuah kelopak yang kecil.

Ya, pada dasarnya kelopak yang terlihat itu sangat kecil, namun entah mengapa dia mampu mengeluarkan tetes demi tetes butiran bening yang jernih.

"Celine…" Nayla hampir merengek. Namun, dia harus menjadi penguat temannya itu saat ini, mengingat posisi mereka saat ini masih di kantor. Lain hal jika itu di rumah atau tempat mana pun, tidak akan jadi hambatan bagi keduanya menangis bersama.

"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir. Setelah ini udah, aku akan kembali fokus bekerja. Kembalilah ke mejamu. Nanti akan ada yang marah kalau kamu di sini terus." Celine menyeka air matanya dan mulai menekan-nekan keyboard komputernya.

Melihat Celine yang begini yang membuat Nayla tidak tahan menahan perasaan ingin memeluk dan membiatkan Celine menangis di pelukannya. Yang akan selalu berujung mereka beruda saling menangis bersama.

Tapi ini di kantor, walaupun tidak ada yang akan marah, setidaknya sebagai karyawan yang selalu mendapat piagam karyawan terbaik, harusnya bisa profesional, bukan? Mengesampingkan masalah pribadi, perasan yang terasa sakit.

Namun, seorang karyawan walau mendapat gelar karyawan terbaik off the year, tetap saja seorang manusia biasa yang hatinya mudah terkontaminasi oleh hal-hal sensitif. Ya, sensitifnya tiap orang berbeda-beda, hanya orang itu yang bisa nengukurnya.

"Ayo, ikut aku!" Nayla langsung menarik tangan Celine.

"Eh … akan ke mana kita?" Celine terperanjat.

"Ikut saja denganku, jangan lupa bawa pouch make-up milikmu."

"Haaa?" Celine berdecak kaget. Keningnya mengerut.

"Mana pouch make-upmu? Bawa itu, cepatan." Nayla sudah berdiri sementara Celine masih saja terheran-heran.

Walau begitu, dia tetap melakukan yang diminta temannya itu. Membawa pouch make-up dan mengikuti ke mana tangannya di bawa.

"Ini menuju toilet, bukan?"

"Hemp.." deham Nayla.

"Kita ngapain ke toilet? Kamu mau aku meriasmu di sana? Kalau hal itu kan bisa saja dilakukan di meja tadi, kenapa harus di toilet. Atau ... Bu Herdiana (senior personalia) mencetuskan paraturan baru; setiap karyawan dilarang make-up di meja pribadi, begitu?"

Celine terlalu banyak bicara membuat kepala Nayla sakit mendengar semua celotehnya.

"Kamu sangat banyak tanya. Mana ada yang membuat peraturan gila begitu. Kalau pun ada, memangnya siapa yang akan menurutinya kalau bukan kamu seorang saja. Lagipula, kamu pikir aku memerlukan bantuanmu untuk meriasku? Kamu saja gak seberapa pintar merias wajah. Make-upmu begitu-begitu aja. Polos dan bahkan hampir tidak terlihat," omel Nayla.

"Ya, maka dari itu aku cukup heran." Celine membenarkan pernyataan Nayla.

"Ini toilet, sepi dan sedikit tenang. Menangislah, tumpahkan semua kesakitanmu. Aku akan menemmu. Lagian toliet ini tidak bau, tidak masalah kalau kita berlama-lama di sini," papar Nayla.

"Nay …" Celine speechless. Hatinya dipenuhi rasa haru. Jika tadi dia menangis karena dadanya yang penuh bak ditimpa beban berton-ton beratnya, maka kali ini butiran bening itu ingin melepaskan diri karena diliputi rasa haru yang tebal.

☘️☘️☘️

Kini aku merangkum, tetapi yang paling pedih itu bukanlah tentang dia yang pergi dengan meninggal banyak luka kesakitan akibat pengkhianatan, kecurangan, tetapi yang pergi karena keterpaksaan demi kebaikan bersama.

Walau sebenarnya sulit dicerna, di mana letak kebaikan tersebut.

-Celine Eliasson-