"Itu pasti dari Darren kan, makanannya?" ulang Nayla bertanya.
"Bukan, Nay. Dari Papaku, beliau yang mengantarnya."
"Haa...? Papamu? Kok bisa?"
"Kok bisa? Apa-apaan itu? Jadi salah kalau Papaku mengantar bekal makan siangku, begitu?" Celine menjawab Nayla dengan ketus.
"Ihh... Kamu kok jadi sewot begini sih? Jangan marah dong. Aku kan hanya heran saja, soalnya selama ini Papa kamu tidak pernah mengantar bekal untukmu," ucap Nayla, tampaknya dia merasa bersalah.
"He he he... Kamu yang terlalu sensitif. Bukannya begitu, ya jawabanku biasanya?" Celine memasang senyum manisnya.
Ya, senyum Celine memang teramat manis, apalagi ada tahi lalat di dagu kiri, yang seakan menambah aura di setiap senyum Celine, menjadi penyempurna senyum indah itu. Sebenarnya, itu hanya sebagian kecil saja, yang paling mendukung senyum manis Celine itu adalah karena wanita yang kini berusia dua puluhan itu selalu melontarkan senyuman yang tulus, sehingga setiap orang yang melihatnya merasa teduh.
Dreett... Dreett...
Ponsel itu bergetar kembali. Bagusnya kali ini Nayla yang super kepo tidak mendengar. Kalau tidak, pasti rasa ingin tahunya akan mengalahi langit.
"Aku akan ke memilih makanan dulu. Kamu pilih meja kita," saran Nayla.
"Ah... Okay. Itu ide yang bagus." Celine langsung mencari tempat duduk paling pojok. Itu kesukaan Celine, dan tentunya Nayla sudah tahu pilihan posisi kursi yang seperti apa di pilih Celine.
Saat akan membuka paper bag yang baru saja diterima dari staf resepsionis, yang pengirimnya masih tanda tanya, walau mungkin sudah dapat menerka siapa pemberinya, Celine membuka ponselnya.
Barangkali, ada hubungan si pengirim makanan ke isi text yang masuk tadi.
Di layar ponsel, semua yang tertera hanya mendominansi nama Darren; dari panggilan tidak terjawab, text masuk.
"Sudah kuduga," gumam Celine dan membuka isi pesan Darren.
"What? Sejak kapan text darinya tidak kubaca? Sampai ada 15 pesan yang tidak terbaca." Kembali Celine bergumam.
{Tolong dengarkan aku!}
{Aku sungguh terluka melihatmu diam padaku! Biarkan aku memperjuangkanmu, asal tolong, jangan tolak kehadiranku.}
{Okay, silakan terus marah, tidak masalah. Aku tahu kamu kecewa berat padaku. Tapi jangan pernah tinggalkan aku ya. Aku mencintaimu, sepenuh hatiku.}
{Aku tahu, kamu paling tidak suka membawa bekal dari rumah. Aku titipkan makan siang di pos resepsionis. Nanti jangan lupa ambil. Makanan kesukaanmu tentunya, gadis penggemar mi instan. Ada juga cokelat panas dan beberapa dim sum seafood. Tidak lupa, mi instannya juga aku sertakan. Makan yang banyak, jangan takut berat badan naik.}
Membaca text itu, tanpa sadar Celine menyunggingkan senyum indahnya. Eh, ralat! Senyum itu memang selalu indah.
"Dia memang paling tahu kalau aku suka makanan itu." Cepat-cepat Celine membuka bag paper itu. Mendadak perutnya berkhianat, melupakan kesakitannya karena sogokan makanan yang dapat memanjakan para cacing-cacing nakal yang sudah demonstrasi, tidak sabar ingin disuguhkan makanan lezat itu.
GLEG!
Air liurnya pun ikut memperdayai hatinya, mengalir keluar saat membayangkan kelezatan makanan yang akan dicecapnya. Dasar, si pengecap rasa yang tidak adil! Sempat-sempatnya malah mendambakan makanan itu agar segera mendarat ke mulutnya. Kurang ajar sekali!
"Waahh... Aku lupa membuka kamera ponselku," sosor Nyala saat datang setelah selesai mengambil makanannya.
"Haaa? Untuk apa? Jangan bilang kalau kamu ingin memfoto makanan-makanan yang dijual penjaga kantin?" tuduh Celine.
"Enak saja! Aku bukan anak alay! Anak-anak zaman yang up to date; yang sikit-sikit posting tentang apa pun yang dialami, dimakan, dll." Nayla melakukan pembelaan.
Belum lagi Celine sempat menjawab pernyataan Nayla mengenai dirinya, Dia sudah melanjutkan perkataan, "Aku ingin menangkap wajahmu yang berseri-seri saat membuka bungkusan makanan itu. Dasar wanita yang selalu menomor satukan urusan perut dalam segala hal! Melihatmu yang begitu bersemangat saat membuka bungkusan makanan, tidak ada yang percaya kalau kamu baru saja menangis berjam-jam lamanya; mengeluarkan air mata berpuluh liter di toilet," cibir Nayla.
"Itu wajar, bukan? Biasanya habis menangis, energi seseorang akan terkuras, dan rasa lapar pun akan menghampiri. Jadi wajar kalau saat ini aku melihat makanan seperti melihat jodoh di depan mata. Datang dengan gagah untuk meminangku."
"Cih! Apa-apaan itu? Wanita memang selalu melakukan pembenaran konyol" decak Nayla.
"Eh, wait … bukannya kamu juga wanita?" Celine berbalik mencibir Nayla.
"Setidaknya aku masih berbeda dari wanita di luar sana yang penuh halusinasi! Kayak kamu yang tadi; jodoh datang melamar begitu aja. Apaan dah!"
"Ha ha… tapi kamu gak bisa menganggap gurauanku yang tadi salah. Banyak juga yang keadaannya seperti itu. Ketimpuk sayur, eh jadi jodoh. Parahnya lagi, Princess Aurora, hanya tidur-tiduran saja, dapat pangeran gagah nan tampan. Bisa dipastikan, dia kaya raya versi fantasi. Darren Theodore, belum apa-apa." Mata Celine langsung menerawang, siap untuk berkhayal.
Namun, saat itu juga, Nayla langsung mengusap wajah Celine. "Bangun! Memiliki hubungan kisah cinta yang tidak direstui membuatmu semakin gemar berhalusinasi ria!"
Celine mamancungkan mulutnya. "Tidak! Kenapa kau malah menilai begitu. Jahat sekali!"
"Ha ha… Sebaiknya hentikan menonton film drama fiksi atau fantasi seperti itu."
"Memangnya apa yang salah dengan tontonan seperti itu? Hidupmu saja yang terlalu serius!" ketus Celine.
Sesaat kemudia, matanya langsung terfokus pada makanan di depannya.
🥀🥀🥀
Sekalipun hanya dalam dunia khayalan, izinkan aku memilikimu secara utuh. Tolong, jangan biarkan kenyataan menyadarkanku dari mimpi tentangmu🥀