"Hu'um … ada apa?" tanya Celine ramah.
"Ini ... Tadi ada datang seorang pria tinggi nan gagah mengantar makanan untukmu," ucap Cilla, sang resepsionis.
"Untukku? Kamu tidak salah?" Celine memastikan. Karena ini sangat jarang terjadi. Bahkan tidak pernah.
"Namanya jelas ditulis di sini. Untuk Celine, sekretaris General manajer. Kamu kan orangnya," balas si resepsionis.
"Eh ... Iya sih. Benar. Tapi dari siapa?" Celine terlihat sedikit bingung, hal itu terlihat dari dahinya yang berkerut.
"Mana aku tahu. Mungkin pacarmu. Ngomong-ngomong, dia sangat tampan, tapi wajahnya terlihat familier sekali. Kayak tidak asing begitu."
Deg!
Pikiran Celine langsung tertuju pada Darren.
Benarkah demikian? Tapi mana mungkin? Kenapa dia harus mengirim makanan?
"Cil, aku ambil makanannya, ya. Terima kasih."
Buru-buru Celine langsung pergi. Dia tidak ingin percakapan itu semakin larut dan menjauh. Takut jika tebakannya salah.
"Celine ... Ada apa? Kenapa terlihat sangat buru-buru seperti itu?" tanya Nayla.
Dari jauh saat melihat Celine dengan langkah yang bagaikan dikejar oleh massa, rasa penasaran Nayla kumat, dan langsung mengejar Celine dengan langkah yang tidak kalah lebih cepat.
"Eh, Nay?"
Kembali lagi Celine memasang wajah linglungnya.
"Ada apa, aku tanya! Tinggal jawab saja apa yang sebenarnya terjadi, apa susahnya? Kenapa harus linglung seperti itu? Kayak orang yang ketahuan mencuri saja!" cibir Nayla.
Baru saja Celine akan menjawab, ponselnya bergetar kembali.
"Darren lagi," ucap Nayla saat melihat nama yang tertera di layar persegi panjang itu.
Bukan sengaja ingin melihat, ketepatan saja ponselnya saat itu dipegang Celine.
"Angkat gih, sejak tadi dia menghubungimu terus. Mungkin dia sangat khawatir. Dia juga sama terlukanya denganmu." Nayla mencoba mendekatkan hubungan Celine dan Darren.
Karena dia memiliki keyakinan, bahwa kisah temannya itu tidak mungkin berakhir begitu saja.
Cinta di antara mereka terlalu nyata, tidak mungkin itu sesederhana harus berakhir begitu saja.
"Ya, aku juga memang ingin menjawab panggilannya. Ada sesuatu hal yang harus kuluruskan," ucap Celine.
Saat ingin menjawab panggilan telepon itu, ternyata sambungannya sudah terputus.
"Yah... Kamu sih, kelamaan menjawab panggilan telepon Darren. Padahal hanya menekan saja,"
"Kan kamu yang mengajakku berbicara, kenapa malah memarahiku." Celine tidak mau mengaku salah.
"Ya, maaf. Aku pikir kamu tidak akan mau menjawab panggilan telepon Darren, makanya aku memberimu sedikit masukan agar tidak terlalu membencinya," ucap Nayla.
"Yeee... Mana mungkin aku membencinya. Aku kan paling tidak bisa benci orang lain." Celine membela diri.
"Ya sudah, kamu telepon dia kembali. Karena kali ini kamu yang terlambat menjawab panggilannya." Nayla mendominasi, seakan memang ingin menuntut Celine.
"What? Tidak mau! Biarkan saja nanti saat dia meneleponku, baru aku akan menjawab teleponnya. Sekarang aku gak maulah."
Celine mencoba jual mahal.
Saat Nayla akan menjawab. Getar ponsel Celine menghentikannya.
"Woooo ... Panggilan masuk lagi. Tampaknya anak si Presdir tidak mau berhenti," goda Nayla.
"Bukan panggilan masuk, tetapi getar tanda notifikasi pesan masuk," ucap Celine.
Saat melihat nama kontak yang mengirimnya pesan, jantung Celine bak di buru; berdetak kuat. Bukan tanpa sebab, faktanya, segala sesuatu yang bersangkutan mengenai Darren selalu saja berhasil membuat jantung Celine bergetar hebat. Seakan ingin menunjukkan bahwa getaran jantung itu hanya ditujukan kepada Darren seorang.
Ya, Darren adalah pemilik jantung itu.
"Hei, kamu malah bengong! Lihat isi pesannya apa?" tegur Nayla.
Sejak tadi tampaknya ia sedang menanti untuk mengetahui isi pesan tersebut.
"Dari Darren, kan? Itu sudah pasti!" Nayla menjawab pertanyaan yang dilontarkan sendiri.
"Apaan sih! Kenapa kamu langsung berpikir kalau itu pesan dari Darren? Memangnya isi kontak ponselku hanya dia," ketus Celine.
"Huuu... Jika bukan dari Darren, artinya kau punya selingkuhan? Astaga ... Wanita sangat jahat! Kau telah menista cinta tulus Darren Theodore." Nayla sengaja berbicara dengan nada kuat. Basicnya memang sangat jahil.
Melihat aksi Nayla yang keterlaluan, tidak membuat Celine tinggal diam begitu saja. Tangkas, Celine menutup mulut Nayla. "Nay, hei ... Hentikan! Nanti orang dengar, bagaimana? Bisa-bisa aku diburu satu office karena berita hoax-mu! Vincent Theodore saat ini sedang hangat diperbincangkan publik! Kalau kau menyebut marga Darren dengan begitu jelas, bahaya akan mengintaiku! Hidup tenangku akan sirna, sudah!"
"Haaa? Hoax? Jadi cintamu itu hoax? Dan air mata tadi artinya apa?"
Nayla malah semakin menjadi-jadi. Dia kesal melihat Celine yang membohongi perasaannya.
"Sudahlah, bukan sesuatu hal yang penting. Ayo, kita ke kantin. Aku sangat lapar." Celine menarik tangan Nayla dengan asal.
"Woooo … Ada bekal. Siapa yang mengantarnya? Darren?" sosor Nayla saat melihat paper bag yang ditenteng Celine.
"Apaan sih! Darren, Darren, dan Darren terus yang selalu terucap dari bibirmu. Jangan-jangan kamu menyukainya, ya?"
"Eiii … Ha… Ha… Kamu cemburu?" goda Nayla.
Celine hanya memancungkan bibirnya.
"Ada yang perih tapi tidak berdarah," tambah Nayla.
Celine tidak menanggapi hal itu, dia terus berjalan. Walau sesekali menatap kesal pada Nayla yang selalu saja menggodanya.