Airmataku dak lagi bisa dibendung mengalir deras, kenapa dia selalu memporak porandakan hidupku, aku hanya ingin sendiri. Aku berlari menjauh darinya. aku benci dia.
Dia menarikku dalam dekapannya, " aku akan membahagiakanmu sayang, " ucapnya semakin mempererat pelukannya. "biarkan aku memelukmu, sekali saja dengarkan aku, aku mencintaimu, aku ingin menikahimu, " Wajah lusi memerah menahan marah, " Apa yang kamu inginkan tidak mungkin terjadi, aku capek mas datang dan pergi sesuka hati, pergilah, " diraih wajahku, namun kutepis tangan kekar itu, "pergilah, ku mohon, mas sudah membuat pilihan, biarkan aku sendiri, " Aku menangis di depan pintu kamarnya.
"Kalo mas memang mencintaiku, biar tersimpan direlung hatiku," .
"Kenapa kau menjauh, tidakkah kau ingin bersamaku, " katanya dengan pandangan mata yang tidak beralih padaku, Janggan dak lagi mau mendengarku, "dari awal aku sudah cerita ke Jihan, dan dia setuju jika kau kembali padaku, " kedua tangannya memegang pundakku, " Kau mau menikahiku tanpa berpisah dengannya, solusi untukmu, bukan bagiku dan dirinya, wanita mana yang mau berbagi, tidak juga denganku, " dengan suara yang lemah, aku tetap menahan amarahku meskipun sangat terluka.
---------------
" Aku tahu kamu hanya merasa bersalah padaku, " ucap lusi, kalimat yang ampuh membangkitkan amarah seorang Janggan Pringgohadi, dia merasa sia sia selama ini memendam perasaannya, dia merasa tidak dihargai. Dicengkeramnya pundak lusi dengan kuat, " aku tidak mengerti denganmu, lus"
"Aku bahkan tidak pernah menyentuh istriku, aku tidak ingin mengkianatimu, kau tidak pernah tahu, aku mencarimu, kau selalu menghindariku, bahkan berpindah pindah kost, sejak malam itu, " Janggan menarik nafas panjang, " Kau ingin aku menjadi laki laki yang tidak bertanggung jawab, " Lusi menggeleng, dengan wajah yang sudah berurai air mata.
"Tanggung jawabmu sekarang pada istrimu mas, cukup sekali dosa besar yang aku lakukan, tidak lagi dengan menghancurkan keluargamu, " lusi memandang Janggan dengan wajah memelas, mengingat kembali peristiwa sakitnya, " tidak, biarkan aku menebus kesalahanku, " Janggan memeluk cintanya, kenapa harus sesakit ini, aku laki laki yang ingin bertanggung jawab atas perbuatanku. lusi melepas pelukan Janggan.
"Pulanglah mas, jangan membebaniku dengan rasa bersalahku, pada istrimu, aku dak ingin jadi pelakor" lusi tersenyum kecil mencoba menghibur dirinya sendiri, atas kenyataan pahit yang dihadapi.
"Tidak, hanya kau yang aku inginkan" Jika cinta sudah bicara, logika entah kemana.
Janggan menatap lusi mencari kebenaran katanya. Dan tangan Janggan yang akan mencari jawaban.
Kemudian dia mengepalkan tangan dan dihantamkannya ke tembok depan kamar sambil berteriak " aaaach" lagi, dan lagi, tangannya merah memar, " dasar bodoh " segera kuraih tangannya dan kusentuh dengan lembut. aku berlari ke dalam kamar mencari obat merah yang kuingat ada di laci meja, dengan cepat kuambil untuk mengobati lukanya, dan... dia sudah ada di dalam kamarku berdiri menatapku tanpa berkedip. Aku lemah di depannya, mata hitam yang membuatku terpesona, dia mendekatiku, kupegang tangannya yang memar, kubersihkan lukanya memakai air yang mengandung alkohol ringan, ku olesi dengan betadin obat antiseptik pada bagian tangan yang terluka, " biar dak infeksi, " ucapku.
Saat akan kutarik tanganku dibelainya dengan lembut, dan dikecupnya mesra. Kami berdua tak lagi bisa menahan kerinduan yang terpendam lama, dikecupnya kening turun ke mata, hidung dan tak bisa berhenti di sesapnya bibir mungil terasa manis, terus dilumatnya, Lusi gak tinggal diam dikalungkan kedua tangannya, menikmati sentuhan tangan Janggan, mereka terbawa suasana, tidak ada yang ingin berhenti. Tangan janggan semakin berani mengusap punggung lusi, dari belakang tangannya meraih pengait untuk melepas pelindung dua gundukan indah yang sudah pernah dilihatnya, tangan satunya sudah meraba menyentuh bagian sensitif yang lain.
Janggan dak bisa lagi berhenti, " mas" desahan lusi semakin membuyarkan semua akal sehatnya, " menikahlah denganku, " Janggan berhenti menarik nafas panjang, " aku tahu kau juga menginginkanku, " ucapan Janggan mengembalikan kesadaran lusi.
Lusi malu dengan dirinya dengan rambut dan pakaian yang berantakan, malu karena masih menginginkan sentuhan Janggan. Lusi berlari ke kamar mandi menyembunyikan wajahnya, dan diguyurkan air dingin di kepalanya, sambil berteriak meminta Janggan untuk pergi.
" pergi, "
" pergilah dari hidupku, " hik hik hik