Tangan Sein mengepal erat dengan buku jari memutih mendengar laporan dari bawahannya.
Wanita itu berani!
Sein mengumpat dalam hatinya. Perasaan berkobar dan tidak senang yang dia rasakan tidak memiliki tempat melampiaskan membuatnya sedikit kebingungan.
"Terus selidiki!" Suara membeku Sein kembali terdengar. Dia sekali lagi melirik sepasang manusia di dalam selembar foto di tangannya.
Itu mereka. Aerina dan Alvian yang tertangkap kamera saat Alvian mengusap puncak kepala Aerina dengan kelembutan di matanya.
Napas Sein memadat, seolah batu besar ditekan di jantungnya.
Wanita itu! Apa yang dia pikirkan? Apakah menurutnya 'lalat hijau' itu lebih tampan darinya? Lebih kaya darinya? Atau lebih memuaskan baginya?
Tidak mungkin! Sein menolak mentah-mentah usulan itu. Dia dengan percaya diri mengatakan baik fisik, materi, maupun stamina lelaki itu tidak akan ada apa-apanya dibanding dirinya. Lalu, apa yang dilihat wanita itu darinya? Apa yang membuat wanita itu bersama dengan lalat hijau itu dan melupakannya?
Lelaki dihadapan Sein kembali mengangguk patuh, lalu keluar ruangan setelah berpamitan dengan salam hormat.
Di luar ruang CEO, lelaki itu bertemu dengan lelaki kecil yang memiliki ekspresi tak kalah beku dengan lelaki di dalam ruangan.
Itu Zian.
Putra mahkota SN. Crop sekaligus putra satu-satu atasannya, Sein.
Menurut kabar yang beredar, putra kecil itu merupakan anak dari Sean dan tunangan masa kecilnya, Juwi. Tapi, tidak banyak orang yang tahu siapa sebenarnya anak itu merupakan anak dari Tuannya dengan seorang wanita pengganti, bukan Juwi.
"Ayah di dalam?" Lelaki kecil itu bertanya.
Lelaki itu mengangguk, "ya. Tuan muda."
Zizi mengangguk, lalu melambaikan tangan, "kamu bisa pergi!" Lalu berjalan memasuki ruangan tanpa menunggu jawaban lelaki itu.
Ketika Zizi memasuki ruangan, yang pertama kali dilihatnya ialah wajah kaku sang ayah yang tengah memegang pulpen di satu tangan ;membaca dokumen-dokumen penting yang samar-sama dia mengerti.
"Ayah!" Suara lembut dan kekanakan Zizi menggema di ruangan itu.
Sein mendongak, menatap lelaki kecil yang menatapnya dengan mata besar, "apa yang ayah pikirkan? Ayah terlihat sangat marah."
Bukannya menjawab, raut wajah Sein melembut saat bibirnya melengkungkan senyum lembut. "Kemari," dia memanggil.
Zizi mengangguk, berjalan menjauh dari ambang pintu dan mendekati Sein di kursi kebesarannya.
"Bukan apa-apa. Hanya masalah kecil," jawabnya meletakkan Zizi kecil ke pangkuannya.
Zizi mendongak, menatap dagu ayahnya dengan tidak percaya, "benarkah?"
"En."
"Apa yang kamu pelajari hari ini?" Sein bertanya, meletakkan perhatiannya pada pekerjaan dan fokus pada putra kecil di pangkuannya.
Bibir Zizi melengkung menbentuk senyum cerah, lalu mulai menceritakan apa yang terjadi hari ini pada Sein, termasuk kejadian dimana Nana mengajaknya sarapan bersama.
"Oh! Ayah! Zizi baru mengingat sesuatu!"
"Apa itu?"
Bibir Zizi cemberut saat dia menjawab, "Nana bilang dia mau datang sore ini," dengan semangat rendah.
Alis Sein terangkat saat dia menatap Zizi penasaran, "kenapa? Zizi tidak menyukainya?"
Zizi menggeleng, "dia sangat berisik! Dia terus mengoceh seperti burung beo paman Kai," keluhnya.
Sein tidak bisa tidak tertawa ringan mendengar itu. Memang, dia tahu persis Zizi mewarisi sebagian wataknya, dia tidak menyukai suasana berisik dan lebih menyukai ketenangan. Tapi, untuk perempuan kecil anak sahabatnya, Yuna, dia memiliki kesan baik pasa gadis manis dan imut itu.
"Ayah! Kenapa tertawa?" Zizi bertanya dengan raut penasaran.
Mencubit pipi gembil Zizi, Sein menatap lelaki kecil di pangkuannya lembut, "Zizi sangat imut!"
Dahi Zizi berkerut mendengar itu. Menurutnya, imut adalah hal yang tidak 'lelaki' sama sekali, dan dia benci di panggil imut.
"Ayah! Zizi itu tampan seperti ayah! Bukan imut!" Protesnya.
Sein mengangguk, menahan tawa saat dia menatap Zizi dengan serius, putranya, tentusaja mewarisi gen unggulnya!
"Benar, Zizi sangat tampan!" Puji Sein akhirnya.
Zizi bersorak, "Ayah juga sangat tampan! Zizi sayang ayah!" Lalu berhambur memeluk Sein.
Membalas pelukan putra kecilnya, Sein membalas, "ayah juga sayang Zizi."