Sekembalinya Sein dari Kantor, lelaki itu dihadapkan sepasang mata bulat yang duduk di sofa ruang tamu dan menatapnya penasaran.
"Ada apa?" Sein bertanya lembut ;melepas jas kerja yang dia kenakan.
Zizi mengerjap, mata bulat dan besarnya berkedip polos saat dia bertanya, "apa ayah sedang dalam suasana hati yang buruk?"
Sein mengangkat alisnya, "siapa yang mengatakan itu pada Zizi? Ayah baik-baik saja," jawabnya menyampirkan jas nya di lengan sementara dia berjongkok di depan Zizi.
"Wajah ayah tidak terlihat baik!"
"Benarkah?"
Zizi mengangguk, mulut kecilnya sedikit berkerut, "ayah tidak tersenyum."
Mendengar itu, Sein melengkungkan bibir. "Apa ayah terlihat baik sekarang?"
Zizi mengangguk, "jauh lebih baik dari sebelumnya!" Lalu seolah mengingat sesuatu lelaki kecil itu tersenyum imut, "apa ayah sudah makan? Apa ayah lapar? Bibi Mina memberitahu Zizi untuk memanaskan makanan kalau ayah lapar," lalu lelaki kecil itu akan berdiri ketika dia ditekan Sein kembali ke sofa.
Sein menatap Zizi, "kamu duduk tenang disini, ayah bisa melakukannya sendiri," jawabnya. Untuk sifat Zizi nya yang jauh lebih masuk akal dari teman seusianya dia merasa bersyukur sekaligus sedih.
Zizi mengangguk mendengar jawaban Sein.
"Baik, ayah!"
Sein menepuk pelan puncak kepala Zizi sebelum berjalan ke dapur untuk memanaskan makanan.
Lima belas menit kemudian, setelah memanaskan dan memakan makan malamnya Sein membawa Zizi kembali ke Kamar nya di Lantai atas.
"Sekarang ayo kita mandi!" Sein berseru pada bocah cilik di lengannya.
Zizi mengangguk antusias, meskipun dia sudah hampir berusia enam tahun, dia selalu menikmati mandi bersama ayahnya. Itu membuatnya merasa lebih dekat dengan ayahnya.
"Ayah, aunty Yeri bilang mama Juwi pulang besok pagi," Zizi tiba-tiba berkata di tengah rutinitas mandinya.
Tangan Sein yang menyabuni Zizi berhenti sejenak saat kilat tidak suka memancar di matanya. Itu sekejap sebelum kembali berganti senyum tipis.
"Benarkah?" Zizi mengangguk, Sein menatap wajah imut putranya, "apa Zizi ingin menjemput Mama Juwi?" Zizi mengangguk.
Sein mendesah, "apa kamu memerlukan ayah untuk mengantarmu menjemput Mama Juwi?" Sein bertanya tanpa antusias.
Untuk wanita itu, dia cukup menghargainya karena memperlakukan putranya dengan baik, tidak lebih.
Zizi menggeleng, "tidak! Zizi tau ayah sibuk. Besok, Zizi pergi bersama aunty Yeri dan paman Richan."
Sein berpikir sejenak. Memang, itu juga lebih baik baginya. Pikirnya lalu membilas Zizi sebelum mengangguk dengan "ya," dan menggendong si kecil setelah membungkusnya dengan handuk.
Setelah memakaikan set piyama pada putranya, Sein mengecup dahi lelaki kecil itu, "baik. Kamu tidur sekarang, ayah akan mandi dulu!" Lalu berjalan memasuki kamar mandi tanpa menunggu persetujuan Zizi.
Beberapa menit kemudian, Sein dengan piyama satin hitam keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Melirik ke tempat tidur, dia melihat lelaki kecil yang sudah meringkuk membentuk bola di tempat tidur sebelum berjalan menghampirinya, "selamat tidur!" gumamnya mengecup dahi Zizi lalu berjalan keluar kamar Zizi untuk kembali ke kamarnya sendiri.
Di dalam kamar, Sein baru meletakkan tubuhnya di ranjang, hendak menutup matanya ketika dia mengingat sesuatu.
Aerina.
Meraih ponsel diatas nakas, Sein menekan nama teratas dalam riwayat panggilan telepon itu, Chen.
"Caritahu dan laporkan jadwal wanita itu. Segera!" Perintahnya lalu kembali menutup panggilan tanpa memberi kesempatan Chen menyetujui atau menolak.
Yeah, lagipula kapan dia pernah mempertimbangkan orang lain? Tidak pernah!