Setelah lelaki kecil itu menjauh, senyum di wajah cantik Aerina membeku saat tangannya terangkat menyentuh jantungnya yang berdegub kencang. Kilasan siluet kecil melintasi matanya yang membuat jantungnya berdegub semakin tak beraturan.
Si kecil itu, dia----
Satu-satu Riri sayang mummy,
Dua-dua....
Suara kekanakan seorang anak menyadarkan Aerina. Menunduk kebawah, Aerina menemukan ponselnya berkedip saat layar panggilan menampilkan kata 'baby' di layarnya.
Senyum membeku di bibir Aerina segera melembut saat dia meraih ponsel dan menggeser tombol hijau di layarnya.
"Halo, baby!" Aerina menyapas saat panggilan terhubung.
Beberapa saat kemudian, suara kekanakan yang imut dan menyenangkan terdengar, "Ibu!"
"Ya, baby. Ada apa?"
"Kapan ayah Alvian kembali? Riri merindukannya!" Suara Riri menggema. Memang, ini sudah satu minggu sejak penerbangan Alvian.
Senyum Aerina semakin melembut saat dia menjawab, "segera, baby. Kenapa? Apa baby bosan? Kalau begitu kamu bisa datang ke sini."
"Benarkah?"
"Tentu,"
"Bu! Kalau begitu apa Riri boleh mengajak teman Riri kesana?"
Riri bertanya antusias. Aerina mengangguk menyetujui lalu mereka mulai bercanda beberapa waktu sebelum mengakhiri panggilan.
Sementara itu, Zizi kecil yang kembali dari kamar mandi melirik Aerina dalam perjalanan.
"Kakak cantik!" Zizi menyapa Aerina tanpa sadar saat kaki kecilnya berjalan mendekat.
Aerina menunduk, melihat lelaki kecil dengan wajah tampan yang akrab saat bibirnya melengkung membentuk senyum lembut tanpa sadar, "ada apa, adik kecil?" Karena lelaki kecil ini tidak mau memberitahu namanya, jadi, dia hanya bisa memanggilnya dengan itu.
"Kakak cantik, apa kakak mau berfoto dengan Zizi?" Zizi menatap Aerina penuh harapan saat dia mengulurkan tangan kecilnya yang memegang ponsel entah sejak kapan.
Aerina menatap lelaki kecil yang menatapnya penuh harapan seolah kucing kecil, "baik, ayo!" Aerina mengangguk dengan senyuman lalu berjalan memutar meja kasir dan berjongkok di depan Zizi.
"Ayo, berikan ponselmu!" Zizi mengangguk.
Aerina meraih ponsel dari ponsel Zizi, lalu menarik lelaki kecil itu ke dalam pelukannya dan mulai berfoto dengan berbagai pose dengan kamera depan.
"Terimakasih, kakak cantik!" Zizi berterimakasih setelah sesi foto mereka. Aerina mengangguk, lalu memikirkan sesuatu saat dia bertanya, "apa boleh aku memintamu mengirimkan foto itu padaku?"
Zizi menatap Aerina, lalu mengangguk. "Oke, tapi kakak cantik harus memberiku nomor WA kakak cantik! Nanti aku akan mengirimnya!" Aerina tertawa kecil, mengacak puncak kepala Zizi saat dia mengangguk.
"Da-da kakak cantik!" Zizi melambai setelah bertukar nomor whatsApp lalu kembali menemui aunty Yeri dan Mama Juwi yang menunggunya di meja di samping jendela.
"Sudah?" Juwi bertanya saat lelaki kecil itu kembali ke tempat duduknya. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
Zizi melirik Juwi, lalu mengangguk singkat. "En,"
"Bagus, kalau begitu lain kali izinkan Mama mengantarmu, oke?"
Alis Zizi sedikit berkerut mendengar panggilan "Mama" yang berulangkali Juwi sebutkan, entah kenapa dia sedikit kebetatan dengan sebutan itu, tapi, bagaimana dia bisa mengatakannya? Lagipula sedari kecil yang dia ketahui Juwi adalah Ibunya. Lagipula terlepas dari itu kebenaran atau tidak, Juwi memperlakukannya dengan cukup baik.
Jadi, bukankah itu terlalu kejam untuk menolak Juwi menyebut dirinya "Mama" hanya karena dia menemukan orang lain yang ingin dia sebut "Mama"?
Zizi menggeleng secara batin, mengingatkan dirinya sendiri tentang ajaran ayahnya bahwa "Lelaki terhormat adalah lelaki yang memperlakukan wanita dengan hormat." Selain itu, dia juga tidak ingin menjadi serigala bermata putih.
Zizi lagi-lagi menggeleng, keningnya berkerut saat dia berpikir. Sepertinya, dia haris menyelidiki masalah ini dengan benar!