"Kakak Zizi, kakak Zizi. Apa tugas matematikamu sudah selesai?" gadis kecil itu bertanya disela-sela sarapan mereka.
Zizi mengangguk, tanpa mengalihkan fokus dari menyendok nasi goreng di dalam kotak bekal.
Hari ini, Zizi mendengar teman kecilnya itu berkata ia sengaja meminta Mamanya membuat dua kotak bekal nasi, dan dua sendok untuk ia bawa ke Sekolah.
Tidak mendapat jawaban lelaki kecil di sampingnya, gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Kenapa kakak Zizi tidak mau berbicara? Kakak Zizi tidak suka sama Nana?" keluh gadis kecil itu wajah memelas.
Zizi menggeleng.
Bukannya ia tidak suka, tapi dia tidak terbiasa banyak berbicara selain kepada Ayahnya.
Merasa kesal, gadis itu meletakkan sendoknya dengan kasar. Lalu meraih lengan Zizi dengan tangan kecilnya yang gemuk. "Lalu kenapa? Suara kakak Zizi sangat bagus, Nana suka mendengarnya."
"Jangan berbicara saat makan," tegur Zizi galak sambil menepis tangan kecil yang memegang lengannya.
Gadis kecil ini sangat cerewet!
Jika bukan karena dia anak tante Yuna, sahabat Ayahnya yang baru kembali dari luar negeri. Dia tidak akan mau meladeni obrolan Nana yang tidak bermutu.
Sementara Zizi kecil tengah larut dalam renungannya, gadis kecil bernama Nana itu menatap Zizi dengan mata berair, raut wajahnya terlihat menyedihkan seolah dia mengalami penindasan besar.
"Kakak Zizi, maafkan Nana. J-jangan memarahi Nana," lalu menunduk dengan air mata menetes di pipinya.
Tertangkap basah, Zizi panik sekaligus merasa bersalah melihat gadis kecil itu menangis.
"J-jangan menangis! Uh, kenapa kamu sangat cengeng!" Karena kepanikan, Zizi kecil tanpa sadar menaikkan nada suaranya, membuat gadis kecil itu semakin terisak.
Beruntung ini jam istirahat, dan siswa-siswi lainnya tidak berada di Kelas.
Zizi menggosok kepalanya dengan bingung.
Dia tidak pernah menghadapi bocah kecil menangis sebelumnya, dan dia tidak pernah menangis, jadi ia hanya bisa menatap Nana dengan raut kesal dan bersalah.
"Berhenti menangis atau aku tidak mau bermain denganmu lagi!" ancam Zizi yang anehnya membuat Nana berhenti menangis.
Nana mendongak, memperlihatkan mata bulat dan pipinya yang basah oleh air mata. Meski begitu matanya berbinar seolah ia mengumpulkan ribuan bintang di langit, dan senyum cerah melayang di bibirnya.
"Kakak Zizi tidak marah sama Nana?"
Zizi mengangguk. "Jangan menangis!" tegur nya dengan nada memerintah.
Nana mengangguk. "Baik! Tapi kak Zizi tidak boleh mengabaikan Nana?" Lalu ia dengan tergesa-gesa menyeka air mata di pipi dan matanya.
Setelah itu, Nana kembali menatap Zizi dan kotak bekal di meja. "Kakak Zizi mau menemani Nana menghabiskan sarapan?" wawarnya.
Zizi mengangguk. "En."
Lalu mereka ber-dua menghabiskan sarapan dengan damai.
Meskipun suasanaa masih tenang dan sunyi, itu tidak menyebabkan suasana suram dan cangung seperti tadi.
Bel masuk berbunyi beberapa menit kemudian. Menutup kotak bekalnya yang kosong, Nana menatap Zizi dengan mata berbinar.
"Kakak Zizi, nanti sore apakah Nana boleh bermain ke rumah kakak?"
Zizi menggeleng.
"Kenapa?" Nana mengajukan pertanyaan dengan wajah memelas, seolah ia akan menangis di detik berikutnya.
Melihat itu, Zizi melihat siswa-siswi lain yang mulai berdatangan, lalu menatap gadis kecil di depannya dan mengangguk.
"Baik dan jangan menangis!"
Nana sontak berhenti menangis melihat persetujuan kakak Zizinya. Bersorak, gadis kecil itu mengucap selamat tinggal dan kembali ke tempat duduknya yang —
persis berada di samping meja Zizi. Uh.
"Kak Zizi, tunggu aku!" Nana kecil memalingkan wajah, menatap Zizi dengan senyum imut.