Sein menatap selembar foto di tangannya dengan ekspresi kaku.
Satu tangan lelaki itu mengetuk-ketuk meja, sambil mengalihkan pandangn ke lelaki yang berdiri di depannya dengan kepala menunduk.
"Jadi, maksudmu dia sudah menikah dan memiliki anak?"
Di foto itu, Aerina duduk di suatu cafe dengan seorang lelaki besar kecil bersamanya.
Karena posisi kamera,Sein hanya bisa melihat siluet samping Aerina dan lelaki besar yang bersamanya. Sementara si kecil? Dia duduk membelakangi kamera.
Lelaki yang berdiri di depan Sein itu menggigil mendengar suaranya yang dingin dan kaku seolah itu es di kutub selatan. Dingin dan mencekam.
Lelaki itu dengan enggan mengakui. "Sepertinya seperti itu--"
"Sepertinya?!" Sein menyela tanpa perubahan ekspresi, meski begitu udara disekitarnya menjadi semakin dingin dan menekan.
Lelaki itu menggigil ketakutan.
"M-mereka terlihat sangat dekat dan —" dia ragu sejenak, menatap lelaki mengesankan di depannya melalui sudut matanya. "Lelaki itu memasuki rumah bersama Miss Aerina dan anak kecil itu —"
Pranggg!!!
Gelas di tangan Sein lagi-lagi menghantam lantai kantor perusahaannya.
Si lelaki yang melaporkan berita semakin menundukkan kepala untuk mengurangi rasa keberadaannya.
"Keluar." Sein memerintahkan dengan tenang, meski begitu buku-buku jarinya yang mengepal menunjukkan seberapa keras ia berusaha menahan emosi.
Seolah mendapat pengampunan, lelaki itu segera mengangguk dengan hormat dan
berpamitan, lalu keluar dari ruangan dengan langkah berhati-hati.
Di dalam ruang Kantor, Sein meremas selembar foto di tangannya dengan seringai di wajahnya.
Ingin melarikan diri darinya?
Baik. Lalu kita lihat apakah dia bisa!
Sementara itu, Aerina yang tidak mengetahui kekacauan apa yang diperbuatnya, dan lelaki macam apa yang dikacaukannya tengah tertawa dengan seorang lelaki di pojok toko roti miliknya.
"Jadi, lo beneran mau ke Paris?"
Lelaki itu mengangguk.
"Oh! Alvian sayangku, cinta ku, kasihku, kucingku! Jangan lupa bawain gue oleh-oleh dari sana, ok?" Aerina berkata dengan ekspresi yang dibuat-buat.
Lelaki yang dipanggil Alvian itu bergidik saat dia menatap Aerina geli. "Jangan sok imut woi! Geli gue!" keluh Alvian menegur dengan ekspresi jijik, meski begitu mata lelaki itu menunjukkan kelembutan langka.
Aerina mendengus, lalu menatap Alvian dengan mata almond yang berbinar. "Jadi gimana?"
Alvian menatap Aerina sejenak, lalu menunjukkan raut berpikir sebelum mengangguk dengan senyum lembut. "Oke, apapun buat princess gue!"
Binar di mata Aerina menjadi semakin terang.
Lalu, seolah mengingat sesuatu Aerina menjentikkan jari, lalu menatap Alvian. "Jangan lupa oleh-oleh buat little Riri juga!" Aerina mengingatkan.
Senyum di wajah Alvian semakin melembut mendengar nama itu.
Itu adalah nama panggilan lelaki kecil yang berada dalam satu foto bersama Aerina dan Alvian.
Mengulurkan tangan, Alvian menyapu lembut puncak kepala Aerina. "Pasti," jawabnya menyetujui.
Aerina mengangguk puas mendengar jawaban lelaki di depannya.
"Thanks, Vi!"
Alvian menggeleng, memegang bahu Aerina saat dia mencondongkan tubuhnya, menatap wanita itu tepat di pupil coklat madunya yang menawan. "Nggak ada kata makasih diantara kita. Ingat?"
Aerina menatap pupil Alvian dengan linglung saat dia mengangguk patuh. "Oke, aku ingat," yang membuat Alvian mengangguk puas, lalu kembali ke tempat duduknya meninggalkan Aerina yang mengerjap kebingungan.
"Bagus. Sekarang, aku ingin mencicipi menu terbaru di toko mu!" Sorak Alvian memecah kebingungan Aerina.
Dan selanjutnya, mereka masing-masing menikmati seporsi kue tanpa menyadari seseorang memotret 'kebersamaan' mereka.