Satu minggu berlalu setelah pertemuan mereka di perjamuan itu.
Sementara itu, Aerina kembali menjalani aktivitas sehari-harinya seperti biasa sebagai pemilik toko roti di Kabupaten G.
Toko roti ini berukuran sedang dengan plakat nama "Universe" yang menyediakan berbagai jenis roti, baik basah maupun kering.
Ia mendirikan toko ini bersama sahabatnya, Wendy, tiga atau empat tahun lalu. Saat itu, ini hanyalah kedai penjualan roti dan camilan.
Aerina duduk di depan kasir dengan linglung kembali mengingat malam itu. Perasaan yang ia rasakan saat lelaki itu menatap dirinya, saat bibir dingin lelaki itu melekat di bibirnya, dan saat —
lelaki itu memeluknya. Itu membuatnya merasakan detak jantung yang kuat dan stabil serta aroman maskulin khas dan familiar.
Siapa dia?
Aerina memijat keningnya merasa pusing.
Ah! Lagipula, kenapa dia memikirkan lelaki kurang ajar itu?
Tapi sejujurnya, lelaki itu cukup —tidak, tapi sangat tampan dan menggoda baik fisik maupun wajahnya. Di jaman ini, dia dapat menjamin jika lelaki kurang ajar itu bisa mencukupi hidupnya hanya dengan mengandalkan wajahnya yang tampan.
Sementara Aerina tenggelam dalam lamunan, Wendy yang baru selesai mengecek persediaan di Dapur menatap Aerina penasaran dengan kepala miring.
"Apa yang lo pikirin?"
Aerina tersentak kaget.
"G-gak mikirin apa-apa kok.... serius." gagapnya ragu.
Mata Wendy menyipit. "Oh —" ia dengan sengaja menarik 'oh' panjang, sambil mangut-mangut dengan ekspresi aneh yang membuat Aerina merasa bersalah.
"Tapi —" Wendy menyipit. "Kok pipi lo merah?"
Aerina tergagap, lalu buru-buru menutupi ke-dua pipinya dengan telapak tangan. "B-beneran?" Tanyanya ragu, lalu melirik Wendy melalui sudut matanya dengan kepala menunduk.
Bibir Wendy melengkung membentuk senyum licik saat dia mengangguk, membuat Aerina semakin salah tingkah.
"P-panas! Ya, disini panas banget! AC nya mati, ya?" Aerina buru-buru membuat alasan dan mengipas-ngipasi dirinya seolah perkataannya itu benar, padahal —
"AC nya hidup, dan ini musim hujan."
Aerina membeku.
Benar,
ini memang musim hujan dan AC dinyalakan. Jadi —
"Gue pakai jaket!" Kilah Aerina. Memang, saat ini dia mengenakan jaket tebal dengan bulu-bulu putih di leher membuatnya terlihat muda dan imut.
Mendengar alasan Aerina Wendy menyeringai. "Kalau kepanasan, lepas lah!"
"Gak!"
"Kenapa?"
"Dingin!" Aerina buru-buru menjawab.
Senyum di wajah Wendy semakin cerah saat dia menggoda. "Tadi katanya panas," dengan raut polos yang membuat Aerina tidak bisa menyalahkannya.
Aerina menatap Wendy, bibirnya membuka dan menutup beberapa kali, tapi tidak ada satu patah katapun keluar darisana.
Pada akhirnya, Aerina hanya bisa mendengus dan melarikan diri ke Kamar mandi untuk menghindari Wendy yang tertawa terpingkal karena kegugupannya.
Sementara itu, di salah satu Sekolah Dasar saat jam istirahat.
Zizi menatap bosan keluar jendela kaca dengan dagu bertumpu tangannya yang terlipat. Sesekali lelaki kecil itu menguap bosan.
Mengantuk,
batin si kecil.
"Kakak Zizi, kamu tidak ke Kantin sama teman-teman?" Seorang gadis kecil yang saat ini berdiri di depan mejanya mengajukan pertanyaan.
Gadis itu memiliki wajah imut dan manis, dengan rambut ikat dua yang disisipkan ke dalam jepit rambut jaring membentuk dua buntelan kecil. Lesung pipinya yang dalam terlihat saat dia tersenyum membuatnya terlihat jauh lebih imut dan manis.
Zizi menatap gadis kecil di depannya dengan malas, lalu menggeleng tanpa mengucap sepatah katapun.
"Ini ...." gadis itu mengeluarkan kotak bekalnya. "Mau saparan bersamaku? Ini Mama yang membuatnya."
Zizi menggeleng, tanpa melirik gadis itu untuk yang ke-dua kali. Terlalu malas menanggapi.
Bukannya pergi, gadis kecil itu malah duduk di samping tempat duduk Zizi, membuka kotak bekalnya dan berkata polos dengan suara kekanakan.
"Kakak Zizi, ayo sarapan bersama. Kata Mama, gak baik melewatkan sarapan!" Gadis kecil itu sekali lagi membujuk, menunjukkan kotak bekalnya yang berisi nasi dengan telur mata sapi dan berbagai sayuran warna-warni di potong berbagai bentuk karekter yang membuatnya terlihat lebih menarik.
Zizi melirik kotak bekal, mendesah. "Oke, sekali ini saja," jawabnya menyetujui membuat senyum di wajah gadis kecil itu semakin cerah.