Mr. Rochester memanggilku lagi keesokan paginya. Ia memberiku lampu hijau untuk melanjutkan laporan investigasiku pada Bill Kovach. Kali ini aku tidak merasa sesemangat sebelumnya karena aku tahu harga yang sudah kubayarkan untuk menyelesaikan investigasi ini.
Tapi setidaknya usahaku selama ini tidak akan sia-sia. Bill Kovach layak untuk dipenjara atas kejahatannya, entah bagaimana caranya Ia bisa menjadi calon walikota San Fransisco dengan tingkat pemilih tertinggi. Jika skandal korupsinya tidak dibongkar dan dihentikan sekarang, aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya di masa depan saat menjadi walikota.
Sejauh ini aku masih kekurangan bukti kredibel yang bisa dijadikan dasar untuk menjerat Bill Kovach. Tapi dengan bantuan Sebastian Moran hal itu tidak akan menjadi masalah besar untuk laporan investigasiku lagi.
Jadi siapa sebenarnya Sebastian? Bagaimana bisa Ia mempunyai kekuatan yang walaupun tidak terlihat tapi cukup kuat untuk menyembunyikan skandal korupsi Kovach? Ia bahkan bisa mengendalikan koran-koran yang berusaha membongkar kasus itu. Belum lagi menghentikan penyidik yang baru saja akan memulai investigasi.
Sebastian Moran sepertinya sudah bekerja keras untuk menyokong karir politik Kovach... tapi Ia berencana membuang semuanya hanya untuk tidur denganku? Apa itu masuk akal? Seluruh upayanya selama ini untuk menutupi, mengendalikan, dan menghentikan kasus korupsi itu hanya akan berakhir sia-sia. Dilihat dari sisi manapun rasanya tidak masuk akal.
Aku bukan siapa-siapa, wajahku juga tidak terlalu menarik dengan rambut coklat yang agak keriting dan mata coklat hazel yang terlihat biasa-biasa saja. Belum lagi pilihan style pakaianku yang selalu terlihat tomboy dan simpel karena pekerjaanku yang tidak terlalu menuntut penampilan yang sempurna.
Mengapa Sebastian memilihku... aku tidak tahu kenapa, dan tidak mengetahui alasannya hampir membuatku gila karena penasaran.
Ah... aku hampir melupakan bolpoin sekaligus alat perekam yang kuletakkan di kantornya. Baterainya hanya tahan selama beberapa hari sebelum harus diisi ulang. Aku harus mengambilnya sebelum Sebastian menyadari aku menyadap kantornya.
Kulihat jam tanganku yang menunjukkan pukul tujuh malam, sebagian rekan kerjaku sudah pulang sejak tadi jadi kantor The Daily Wire menjadi agak sepi. Aku memang menyukai suasana kantor yang sepi karena aku bisa fokus mengerjakan laporanku, biasanya aku baru kembali ke apartemenku pukul sembilan malam. Tapi hari ini ada hal yang tidak bisa ditunda lagi, aku harus segera mengambil alat perekam di kantor Sebastian yang berada di Magnus.
***
Aku mengira klub malam saat hari kerja tidak akan seramai saat akhir pekan... Tapi ternyata aku salah. Magnus tetap terlihat ramai walaupun ini baru hari Rabu. Hanya saja antriannya tidak sepanjang saat akhir pekan.
Langkahku terasa ringan saat melewati barisan antrian orang-orang yang sudah bersiap clubbing malam ini. Aku tidak perlu lama-lama berdiri di luar karena saat ini aku memiliki kartu sakti! Kurogoh kartu member Magnus berwarna hitam lalu melambaikannya pada sekuriti berbadan besar yang menjadai pintu utama Magnus.
"Tunggu dulu." katanya sambil memandangku dari ujung kepala hingga kaki. Pakaianku saat ini memang tidak terlihat seperti orang yang ingin pergi clubbing karena aku datang langsung dari kantor. Aku hanya mengenakan celana jeans dan sweater rajut tebal berwarna khaki.
"Aku punya kartu member." protesku padanya saat Ia menahanku. Sekuriti itu mengambil kartu hitam itu dari tanganku lalu membolak-baliknya. Apa karena warnanya berbeda? pikirku dengan sedikit rasa gugup. Kartu membership pinjaman yang kupakai sebelumnya berwarna merah.
"Dari mana kau mendapatkan ini?" tanyanya dengan curiga.
Aku mendengus tersinggung saat Ia menatapku lagi. "Itu milikku."
"Bukan." balasnya masih dengan nada curiga, "Karena kartu ini milik Mr. Moran. Apa kau mencurinya?"
Kali ini giliranku yang terkejut, "Bagaimana kau mengetahuinya? Namanya tidak ada di kartu itu."
"Hanya Mr. Moran dan sepuluh orang lainnya yang memiliki kartu membership berwarna hitam seperti ini." gerutunya. "Masing-masing memiliki nomor." Ia menunjuk ke arah pojok kartu yang ternyata memang bernomor hanya saja karena warnanya sama-sama hitam jadi hampir tidak terlihat. "Nomor 00 adalah milik Mr. Moran... Jadi darimana kau mendapatkan kartu ini?"
Kuhela nafasku lalu menatapnya dengan sedikit tersinggung, "Aku tidak mencurinya. Mr. Moran memberikannya padaku. Kalau kau masih tidak mengijinkanku masuk paling tidak tolong kembalikan kartu itu."
"Tidak bisa, kartu ini milik Mr. Moran." balasnya dengan tegas.
"Tapi Ia sudah memberikannya padaku." protesku lagi dengan frustrasi.
Tiba-tiba seorang pria berstelan jas menghampiri kami, Ia terlihat seperti manajer Magnus. "Ada apa?" tanyanya pada sekuriti di depanku.
"Ia bilang aku tidak bisa masuk padahal aku memiliki kartu membership!" kataku sebelum si sekuriti bisa menjawab. Pria barusan menatapku dengan sopan sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada kartu hitam di tangan sekuriti.
"Nona ini mempunyai kartu milik Mr. Moran." timpal sekuriti itu masih dengan suara curiga.
"Tapi Mr. Moran sendiri yang sudah memberikannya padaku." terangku untuk membela diri.
Beberapa saat kemudian ekspresi pria berjas berubah. "Ah, maafkan kesalahan staff kami Miss Benson." katanya tiba-tiba hingga membuatku terkejut. Bagaimana Ia tahu namaku?
Dengan terburu-buru Ia meminta si sekuriti kembali menjaga tempatnya lalu berbalik padaku dan tersenyum ramah. "Sekali lagi saya minta maaf untuk perlakuan tidak menyenangkan barusan. Kalau anda tidak keberatan saya akan mengantar langsung ke dalam." tawarnya dengan sikap sangat sopan yang terang-terangan hingga membuat pengunjung yang sedang mengantri memandang kami.
"Tidak perlu..." balasku dengan tidak enak. "Aku hanya ingin kartunya kembali."
"Tentu saja." jawabnya masih dengan senyuman lebar sebelum menyerahkan kartu di tangannya. "Selamat menikmati Magnus. Anda juga bisa memesan semua makanan dan minuman yang bisa di pesan di dalam Magnus, anda hanya perlu memperlihatkan kartu ini. Kalau anda memerlukan sesuatu silahkan panggil saya." ujarnya sebelum mempersilahkanku masuk.
Jadi kartu ini benar-benar kartu sakti. Kubalas senyuman si pria berjas sebelum melirik kesal ke arah sekuriti barusan yang kini terlihat kebingungan.
"Apa Mr. Moran ada di kantornya?" tanyaku pada manajer Magnus yang berjalan di depanku.
"Mr. Moran hanya mengunjungi Magnus setiap akhir pekan, Miss Benson."
Ahhh... sempurna. Aku berterima kasih padanya lalu langsung menuju lantai VIP Magnus. Kuamati sekitarku sebelum memasuki pintu hitam bertuliskan 'dilarang masuk', setelah memastikan tidak ada yang memperhatikan aku menyeliap ke balik pintu itu dan berjalan memasuki lorong merah yang sama. Tanpa membuang waktu aku menuju ruangan kantornya yang gelap lalu mengambil bolpoin perekam yang masih berada di tempat yang sama.
Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, hanya dalam waktu kurang dari lima menit aku berhasil keluar dari lorong merah itu lagi. Aku tidak ingin mengintip kantornya dan mengambil resiko dipergoki oleh Sebastian atau staff Magnus yang pasti akan melaporkanku padanya.
Saat turun ke lantai satu yang dipenuhi orang-orang yang sedang clubbing di lantai dansa, kedua mataku tidak sengaja menangkap pandangan manajer tadi. Sial, aku tidak bisa langsung pulang. Kulemparkan senyumku sebelum berbalik dan menuju bar agar tidak terlihat mencurigakan. Orang normal mana yang datang ke klub malam hanya untuk menghabiskan waktu selama lima belas menit di dalamnya?
Kupesan segelas Pina Colada yang terdiri dari rum, krim kelapa manis, dan jus nanas. Sesuai anjuran manajer tadi kutunjukkan kartuku saat memesannya dan voila! aku tidak perlu membayar minumanku. Bahkan aku mendapatkan esktra buah nanas dan hiasan payung kecil di minumanku.
Ooohhh... aku jatuh cinta pada kartu sakti ini.
Bibirku menyesap Pina Colada dinginku sambil mengamati keramaian di sekitarku. Beberapa orang terlihat menikmati berjoget di lantai dansa, cahaya warna warni dari lampu disko menyinari penjuru ruangan yang remang-remang. Desain interior futuristik Magnus yang sangat menarik membuat pandanganku betah melihat kesana kemari.
Terakhir kali aku mengunjungi klub malam untuk clubbing adalah 6 tahun yang lalu saat aku masih kuliah. Selama beberapa waktu lamanya pandanganku tetuju pada lantai dansa, lalu kuputuskan untuk bergabung setelah menghabiskan Pina Coladaku. Dentuman bass musik membuatku larut berdansa bersama orang asing yang tidak terlalu jelas wajahnya dalam keremangan. Beberapa kali tangan yang tidak dikenal menyentuh pinggangku tapi aku selalu berhasil menghindar dan menjauh. Ini adalah salah satu alasan aku enggan pergi ke klub malam walaupun aku menyukai suasananya.
Tiba-tiba sepasang tangan menarik pinggangku hingga punggungku menabrak dada seseorang di belakangku. Dengan kesal kubalikkan badanku untuk menegurnya tapi kedua tangannya menahanku, malahan detik berikutnya bibir dan nafasnya yang hangat menggelitik telingaku.
"Bukankah kita seharusnya baru bertemu hari Sabtu?" tanyanya sambil meremas pinggangku dan menarikku semakin menempel pada dadanya. Dengan terkejut sekaligus panik kutarik tubuhku menjauh darinya lalu berbalik menatapnya.
Sebastian Moran berdiri menatapku dengan senyuman kecil di wajahnya. Ia mengenakan setelan celana formal berwarna abu-abu dan kemeja putih yang dua kancing teratasnya sudah terbuka, sedangkan lengan kemejanya dilipat hingga ke siku. Tubuhnya yang tinggi dan besar terlihat mencolok di tengah kerumunan orang-orang yang sedang berjoget, beberapa wanita yang bergoyang si dekatnya menoleh untuk mengaguminya.
Sebastian berjalan mendekatiku lalu menarik tanganku dan membawaku ke bagian bar untuk mengambil tasku dan jasnya yang dititipkan disana. Jantungku berdebar tidak karuan saat tahu kemana Ia bermaksud membawaku. Saat pandanganku menangkap wajah manajer yang sedang tersenyum ke arah kami, aku jadi ingin mengumpat padanya.
Dasar pengkhianat!